Posted by : Sara Amijaya Tuesday 19 June 2012


Setiap daerah memiliki keunikan bahasa masing-masing. Jika pulau jawa terkenal dengan bahasa Jawanya, Pulau Sulawesi terkenal dengan dialek bugisnya, dan pulau Sumatra terkenal dengan logat Melayunya. Maka Kalimantan tentu terkenal dengan bahasa Banjarnya. Oh ya, tentu itu hanya kesimpulan saya semata. Karena kebetulan saja itulah bahasa yang dipergunakan teman-teman saya yang berasal dari 4 pulau besar tersebut

Saya sendiri merupakan penduduk Indonesia yang merupakan asil perpaduan berbagai daerah. Ayah saya keturunan Bugis-Dayak Paser, Ibu saya keturunan Madura-Banjar. Saya???????? Saya lebih senang mendeklamasikan diri sebagai WNI Asli. Saya yang sudah merupakan keturunan berbagai campuran suku itu ternyata memiliki taqdir menikahi  seorang keturunan Palembang-Sunda. Jadi ya….darah keempat pulau besar di Indonesia dengan tenang berasimilasi di keluarga kami. 


Tapi jika kemudian kalian mengira saya menjadi sangat ahli dalam berbagai bahasa daerah tersebut, ooo sayang sekali tebakan anda itu tidak tepat kawan. Sebenarnya hanya kurang tepat. Karena pada dasarnya saya mengerti kesemua bahasa tersebut, hanya saja lidah saya kagok jika  harus melapalkan setiap bahasa daerah tersebut. Maka, jadilah saya hanya sangat fasih berbahasa Indonesia.
Tahukah kalian kawan, setiap bahasa memiliki keunikan tersendiri. Hanya saja saya lebih suka mengangkat kisah tentang bahasa Banjar. Mengapa? Karena saya merasa sebagai bagian yang cukup bertanggung jawab atas tidak familiarnya bahasa ibu yang satu itu. Anggap saja tulisan ini membayar rasa bersalah saya atas suatu masa di mana saya merasa malu menggunakan bahasa tersebut.

Picture powered by google
Bagaimana tidak, saya, kakak saya, adik saya, sepupu-sepupu saya memilih untuk sama sekali tidak kuliah, jika ternyata harus kuliah di Banjarmasin. Alasannya bukan karena universitas di sana tidak bagus, tidak sama sekali tidak. Justru Universitas Lambungmangkurat di Banjarmasin adalah salah satu Universitas Negri yang cukup bagus di daerah Kalimantan. Alasan kami menolak ke sana semata-mata kekhawatiran atas dialek banjar yang akan cepat menular bahkan hanya dengan sehari keberadaan kami di sana. 

Ya saat itu saya dan juga kesemua saudara-saudara, serta masih banyak pemuda-pemudi lainnya sangat malu jika kedapatan berbahasa Banjar. Entah apa yang salah, saya juga tidak mengerti. Pokoknya adik saya menyimpulkannya sebagai sesuatu yang tidak keren. Jika toh menggunakan bahasa tersebut, kami menggunakannya untuk saling mengolok satu sama lain. Bahkan Ibu saya yang meski sejak menikah tidak lagi tinggal Di banjar namun bahasa Indonesianya masih sangat kental dengan bahasa Banjar, seringkali menjadi bahan candaan kami, anak-anaknya. Bagaimana tidak lucu, beliau yang guru Bahasa Indonesia kerap kali mengatakan telor menjadi talur, radio jadi radiu, terong menjadi tarung. Dan banyak lagi kata-kata lucu lainnya.

Padahal, taukah kalian kawan bahwa bahasa Banjar merupakan salah satu bahasa dominan di Indonesia. Sekaligus merupakan turunan bahasa yang bermuara dari bahasa melayu. Mmmm….bagaimana ya, bahasa Banjar itu sebenarnya sangat mudah untuk ditiru cukup dengan menguasai bahasa Indonesia, karena kemudahannya itulah logat Banjar ini juga cepat sekali menyebar, atau menular. Begitu Istilah kami. Dan kami saat itu merasa bahwa logat banjar itu jauh dari keren. Bagaimana tidak bahasa banjar itu tidak punya Vokal “e” dan “o”. Ya seperti perubahan kata-kata oleh ibu saya tadi. Plus dengan logat yang agak melayu-melayu gimana gitu.

Sepengatahuan saya bahasa Banjar dipergunakan oleh Suku Banjar yang mendiami hampir seluruh Wilayah Provinsi Kalimantan Selatan. Yang kemudian tersebar secara luas sampai ke daerah – daerah pesisir Kalimantan Tengah , Kalimantan Timur, Sumatera seperti di Muara Tungkal, Sapat dan Tembilahan juga di daerah – daerah Negara Malaysia. Bahasa Banjar ini menyebar dibawa oleh para perantau dari  Banjar, yang sebagian besar merupakan pedagang ulung.

Bahasa Banjar mempunyai dua dialek, yaitu :

1. Dialek Bahasa Banjar Kuala, yang umumnya dipakai oleh penduduk sekitar Banjarmasin, Martapura dan Pelaihari.
2. Dialek Bahasa Banjar Hulu, seperti di daerah – daerah Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Balangan dan Tabalong. (ibu saya biasa menggunakan dialek ini karena berasal dari daerah HSU)

Saya memberikan contoh Perbedaan kedua dialek tersebut dari beberapa kosa kata seperti berikut:

 Banjar Kuala                     Banjar Hulu
kawa .................................. hingkat                       = dapat
mau ................................... hakun                          = mau, ingin
gasan ............................... . hagan                          = untuk, buat
jalan .................................. lalah, jaap                   = jalan
pingkut .............................. cakut                          = pegang
gusang ............................. . hangit                         = hangus
pangasit ............................ pamalar                       = kikir
unda .................................. aku                            = saya
nyawa ............................... ikam                           = kamu

Sebahagian besar perkataan dalam Bahasa Banjar sama dengan Bahasa Melayu. Begitu pula penggunaan awalan seperti di, ber, ter, men, meng, dan akhiran seperti kan, an dan sebagainya. Perbedaan yang nyata hanyalah dari segi pelapalan. Bahasa Banjar menggunakan vocal “a” untuk menggantikan “e” seperti kalihatan(kelihatan), handak(hendak) dsb. Juga mengganti vocal “o” menjadi “u”, seperti kata saya di awal tulisan, bahasa ini tidak memiliki vocal “e” dan “o”. 

Bahasa Banjar juga menggunakan awalan 'ber' , 'ter' , 'me, men, meng' yang kemudia berubah  menjadi 'ba', 'ta', 'ma' seperti 'bersedih' disebut 'basadih', 'memberi' disebut 'mambari' , sementara akhiran 'kan' kadangkala disebut 'akan' contohnya 'mendengarkan' jadi 'mandangarakan'. Duh, alangkah hancurnya bahasa Indonesia kami, ya begitulah pemikiranku dulu.

Kemudian aku menjadi tersadarkan ketika seorang Widya Iswara yang kebetulan menjadi traineer kami dalam suatu diklat dengan lincahnya berbahasa Banjar, padahal ia adalah seorang asli Jawa. Memahami ketidakpercayaan kami Ia berkata: “Kenapa kaget???? Saya heran dengan orang muda di sini, mengapa malu berbahasa Banjar? Coba lihat kami orang Jawa sangat bangga dengan bahasa Jawa, bahkan anak-anak kecil kami di rumah selalu di ajari bahasa ibu kami. Dan kalian liatlah berapa banyak orang Jawa yang berada di Kalimantan ini, di manapun dan kapanpun mereka dengan bangga menggunakan bahasa Jawa. Saya ingin semangat orang-orang Jawa ini juga menular bagi pemuda-pemudi Kalimantan. Hidup bahasa banjar!!!” Ia mengucapkannya dengan berapi-api dan diselingi bahasa Banjar yang tentu terdengar semakin aneh dengan logat jawanya yang sengaja dimunculkannya. “Jika saya yang orang Jawa saja merasa bangga menggunakan bahasa Banjar? Mengapaka kalian yang asli Kalimantan justru malu menggunakan bahasa ini?”

Dengan berbekal kata-kata tersebut saya tergerak mencari tahu, mengapa sih bahasa Banjar itu tidak punya vocal “e” dan “o” sehingga terdengar sanggat janggal. Ternyata urang banjar sejak dulu kala dalam menulis menggunakan Arab gundul, sehingga bahasa sehari-hari merekapun menyesuaikan dengan penuturan Arab gundul itu. 

Saya tertegun karena baru menyadari hal ini. Saya kemudian merasa iseng mengambil buku-buku lama milik ibu saya. Buku-buku bertuliskan dengan huruf Arab gundul. Berlahan-lahan saya mulai membacanya, duh ternyata itu sama sekali bukan bahasa arab saudara-saudara. Itu adalah buku syair nasihat dalam bahasa banjar. Hanya saja orang dulu, kai nene saya juga buyut-buyut di atasnya tak bisa menulis dengan alphabet seperti masa kita kini. Mereka hanya bisa membaca dan menulis huruf Arab gundul tersebut.

Akhirnya mau tak mau saya tersenyum ketika membaca tulisan seorang kawan di salah satu blognya”
“Pakayian dan paninian kami dalam data kaluarga 50 tahun nang lalu disabutakan buta hurup, tapi  amun sidin membaca tulisan arab gundul … wah … harat dan hancap pang sidin … nang anum-anum  kada bisa mambaca nang gundul itu … Jadi siapa nang buta huruf pang ?
Transletnya kira-kira begini: “Para kai-kai dan nenek-nenek kami dalam data keluarga 50tahun lalu disebutkan buta huruf. Tapi ternyata jika beliau membaca tulisan arab gundul wah hebat dan cepat sekali mereka. Yang muda-muda ternyata tidak bisa membaca yang gundul itu. Lalu siapa yang sebenarnya buta huruf?”

Bahasanya tampak mirip dengan bahasa Indonesia bukan? hanya saja dialek khasnya itu yang kata adik saya membuat kita tampak tidak keren. Tapi kini saya berhasil meyakinkan adik saya bahwa bahasa banjar itu juga keren. Bahasa Banjar juga tak kalah gaul dengan bahasa ibu manapun. Dan yang pasti bahasa Banjar juga merupakan salah satu asset negara yang paling Indonesia.

Tapi, lama tak pulang ke kampung Ibu di banjar, terus terang saya kagok harus menggunakan dialek banjar lagi. Sekali-kalinya saya menggunakan dialek itu, adik saya terpingkal-pingkal. Katanya, dialek saya sudah kental dengan nuansa Palembangnya. Duuuh……saya cuman bisa nyegir deh.
****

tulisan ini diikutkan pada lomba blog paling Indonesia yang diadakan oleh angingmammiri.org


- Copyright © Sara's Talk - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -