Posted by : Sara Amijaya Tuesday 11 September 2012


Kau…
Layaknya bintang
Kukagumi sepenuh hati
Meski tak berharap memiliki,
Dan ketika, awan-awan harapan
Menyampaikan pendarmu padaku
Aku cair oleh kemilaumu
Karena aku,
Hanyalah setetes embun
Yang bersembunyi di rimbun bayang-bayang
***

Melihatmu kali pertama saat pertemuan lintas cabang, terpukau aku atas semua gerak-gerikmu. Begitu apa adanya, sederhana tapi penuh pesona. Hatiku langsung terjerat pendarmu. Sayangnya, bukan hanya aku yang berpikir demikian, tapi juga hampir  semua wanita yang berada di sekitarmu. 

Pagi itu, langit baru membuka mata,  ketika Mba Ovi tiba-tiba membawamu ke hadapanku, “Dek, kenalin teman satu timku…Odi”.
Masih setengah terpaku aku berusaha tersenyum….”Syaza….”ucapku pelan.
“Oh ini, yang sering diceritain Ovi” Ujarmu tersenyum lucu. Berkerut keningku, entah cerita apa yang kau dengar dari Mba Ovi tentangku.
 “Anak kodok yang menjelma jadi putri embun, maskot komisariat  yang gak bisa diam”.  Ujarmu dengan wajah yang tak mampu menyembunyikan tawa.

Kontan aku mendelik gemas ke arah Mba Ovi yang sudah setengah berlari sembari cengar-cengir ”Di, nitip Syaza ya. Aku ada perlu ma bang iwan” .

Tak sempat berkata atau bertanya apa-apa,  karena tak sampai semenit Mba Ovi pergi beberapa gadis manis yang kutahu adalah para seniorku di organisasi  datang merubungmu, Seperti lebah yang mengerubungi bunga. Huff…..menutupi gelisah hati, kakiku melangkah ke rimbunan dedaunan yang masih menyimpan segarnya embun. Anak kodok…tetaplah anak kodok, bermainlah bersama embun tak perlu berharap bintang jatuh merubahmu menjadi putri jelita. Kubasuh pendar bintang yang masih tersisa di hatiku dengan segarnya embun di pucuk dedaunan pagi itu. 

Dan ya…bukankah embun hanya bertahan sesaat di pagi hari, untuk kemudian luruh menguap bersama terangnya mentari…..

Kegiatan antar cabang, memang berbeda. Kita jadi mengenal rekan organisasi dari kampus yang  berbeda-beda. Di komisariatku, aku cukup dikenal karena memang aku salah satu pengurus aktif di organisasi ini. Pembawaanku yang ceria dan aktif, juga kecerewetanku serta usiaku yang paling muda membuahkan gelar sebagai anak kodok. Belakangan setelah tahu akan kecintaanku pada embun mereka menambah julukanku menjadi putri embun. 

Aku tak keberatan dengan semua itu, karena teman-teman komisariat terasa bagai keluarga bagiku. Hanya saja aku tak menyangka bahwa Mba Ovi menceritakannya pula padamu, salah satu pengurus cabang yang terkenal karena kesederhanaan dan pesona bintangnya. Awalnya aku tak mengerti apa maksud pesona bintang itu, sampai aku bertemu langsung denganmu. Kau sungguh-sungguh seperti bintang, terlalu tinggi hingga hanya bisa di kagumi tapi tak bisa dimiliki.
“Dasar ya, anak kodok maen loncat aza ke semak-semak….” Suaramu memecah cengkramaku bersama embun. “loh, dah selesai ya jumpa fansnya?” tanyaku yang menggoreskan senyum di wajahmu.
***

Kegiatan demi kegiatan yang mengintenskan perjumpaan kita, memasung cahayamu di hatiku. Tapi bintang tetaplah sebuah bintang, indah di pandang,tapi musykil  untuk di sandang.
“Bang Odi lagi deket ma Ina anak HI…”
“Masa??? kudenger malah deket ma Mba sandy anak filsafat UGM”
Celoteh teman-teman di cabang, yang sempat tertangkap indra pendengaranku.
Aku berlalu, dengan getir akut di hatiku. Duhai hati, berhentilah bermimpi. Pria sepertimu, pantas bersanding dengan Ina ataupun Mba Sandy, wanita-wanita “sejati” yang bahkan membuatku sesama wanita terpukau oleh keanggunan mereka. Aku??? Akh jangan ingatkan aku tentang diriku sendiri, gadis  urakan yang manja, dan masih kekanak-kanakan. Aku yang terbiasa menyerap panas sepanjang hari untuk kemudian meluruhkannya menjadi embun ketika dingin malam sudah menjelma.

 “Mengapa begitu menyukai embun?” tanyamu tiba-tiba di jeda kegiatan yang masih begitu padat.
“Karena embun itu aku…..” jawabku pelan dan berlalu.
 “Maksudnya…?” aku hanya menjawabnya dengan lambaian tangan. Munculnya tetes-tetes embun mungkin tak pernah disadari oleh bintang, Bahkan jikapun bintang  sempat tersadar, cahaya mentari keburu benderang dan meluruhkan embun itu. Jadi percuma saja berharap. Waktu yang berlalu, menyimpankan asaku dalam diam. Tapi, hatiku tak pernah bisa berhenti untuk mengagumi sang bintang.
Dan ya, embun itu luruh lebih cepat dari hari-hari biasanya….
***

Setelah lama mengistrahatkan diri dari semua aktivitas organisasi, tepatnya mengistrahatkan hati. Karena tanpa kusadari sosok bintangmu terlanjur berpendar terang di hatiku. Aku butuh jeda sebelum aku betul-betul menjadi embun beku karena cerahnya malam yang penuh pendar oleh bintangmu.
“Dek, titipan dari Odi” Mba Ovi muncul tiba-tiba di kostku. “Gih, diambil, serius dari Odi neh” Yakin Mba Ovi sembari meletakkan kotak bermotif kodok di tanganku.
“Apaan mba?” tanyaku bingung. “Katanya sih bukan apa-apa, sekedar buah tangan. Dia dari mudik”. 

Ternyata, benar-benar sekedar buah tangan. Buah tangan yang mengharu birukan hatiku….
“Bagiku embun bukan sekedar tetesan bening tak berarti yang bisa kunikmati sebelum hangatnya mentari,
Bagiku, bening tetes-tetes embun itu selalu memberi kesegaran yang berbekas sepanjang hari….
Dan tahukah kamu, sepanjang panasnya hari, betapa  aku merindukan embun yang baru akan berproses di malam hari, meski hanya setetes….
Dan kamu bagiku, adalah  embun itu…..”                                
Kata-kata itu tertoreh di sebuah buku yang kau hadiahkan untukku. Aku takut salah mengartikan kata-katamu, sehingga lama aku hanya terdiam tak tahu harus berbuat apa. Pun aku tak berani untuk sekedar meneleponmu menanyakan langsung tentang semua ini.

Aku melihatmu lagi  sebulan kemudian, pertemuan yang mengkristalkan hatiku. Ya, aku melihatmu tengah berbincang serius dengan Mba Sandy. Aku tersenyum sekilas, senyum tak tulus saat tak sengaja mata kita bertemu pandang. Dan kamu hanya mengangguk tak penting, mengaduk-aduk dasar hatiku.
***
Menghirup aroma pagi, kesegaran embun yang tersisa lagi-lagi melegakan dadaku setelah gejolak emosi menguras air mataku di kemarin hari.
“Maukah menikah denganku?” sosokmu mengagetkanku dengan pertanyaan yang lebih membuatku terkaget-kaget.
“Kenapa aku….?” Tanyaku saat itu.
“Karena semua keapa-adaanmu, sikapmu yang tanpa polesan, keceriaanmu yang melegakan, dan kemanjaanmu yang menggemaskan…lebih dari itu semua, embun di matamu meluruhkan hatiku….”
“Tapi embun, tak akan cukup memadamkan api. Embun itu hanya serapan panas siang yang tak lagi tertampung udara di malam hari, embun itu hanya tetesan bening yang akan segera menguap begitu hangat mentari menyapa. Mengapa harus memilih embun, jika engkau bisa bersanding dengan matahari?”
“Karena matahari akan memudarkan cahayaku…” senyummu menggoda
“Kalau begitu bersandinglah dengan sang bulan…..begitu semestinya bulan dengan bintang, iya toh?” hatiku belum lega meminta sebuah keyakinan.
“Semua itu diciptakanNya dengan porsi sesuai, taklah bumi meminta kontribusi di luar kemampuan embun, sekecil apapun bentuknya, masing-masing bagian semesta sudah melaksanakan tugasnya masing-masing. Begitupun dengan embun, kesahajaannya yang menguap di pagi hari sudah cukup untuk perputaran sempurna jagat raya ini”
“Jadi bersediakah kamu  menjadi embun hatiku di sepanjang sisa hidupmu?”
“Mmmm…tentu, selama bintang sepertimu bersedia kehilangan cahaya jika bersanding denganku….anak kodok…” jawabku tertawa.
“Ya anak kodok yang bermata sebening embun….” Balasmu juga tertawa.
***
Dan ketika bintang menyerahkan kemilaunya pada seekor kodok, jangan salahkan awan, angin, atau bahkan  mentari tapi sungguh sang bintanglah yang memilih luruh oleh bening embun dimata sang kodok

- Copyright © Sara's Talk - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -