Posted by : Sara Amijaya Wednesday 5 August 2015

Di sebuah grup, saya berkomentar:  "soal ekspresi keberislaman seseorang selama masing-masing punya hujjah sesuai Alqur'an Sunnah, yuk ah nggak usah saling mengomentari terlebih dengan komentar yang bertanda kutip."

Komentar saya tersebut terlontar lantaran si empunya grup memosting sebuah wacana terkait "hijrah"nya seorang artis berinisial TW. Sebagian postingannya begini:

kiki emoticon"Omong-omong soal hijrah, memang bisa dalam berbagai macam bentuk. Tetapi melihat hijrah ala TW saya malah merasa aneh. Kenapa? Karena hijrah yang hakiki itu soal akhlakul karimah (perilaku yang baik) dan hati (kejernihan jiwa). Ilustrasinya begini, laki-laki bisa saja memakai jubah sebagaimana orang Arab dengan maksud meneladani Nabi Saw, tetapi di saat yang sama Abu Jahal yang jahat pun juga memakai jubah. Jadi memakai jubah, berjenggot dan lainnya bisa berpotensi baik dan buruk.

Saya memahami Islam dari keluarga, madrasah dan pesantren. Dari segala sumber itu saya mendapatkan ilmu, kalau Islam datang ke bumi Nusantara itu lewat para saudagar alias para pedagang, kemudian menyambung kepada Wali Songo. Wali Songo turun temurun kepada para ulama Nusantara, dan sampailah pada ulama (kiai) pesantren. Maka bagi saya, kalau mau belajar Islam yang hakiki ya ke pesantren.
Saya mesantren di Pesantren Babakan, Ciwaringin, di wilayah Cirebon berdiri juga pesantren lain yang besar, di antaranya pesantren Kempek, Buntet, Gedongan, Arjawinangun dan lainnya. Selain Al-Qur’an dan hadits, kami belajar dari kitab kuning; sumber ilmu yang berbentuk kitab berwarna (kertas) kuning berbahasa Arab gundul (tanpa harakat). Dalam berpakaian, para kiai dan santri putra memakai sarung, baju biasa dan peci, di pesantren tidak mentradisi memakai jubah. Para nyai dan santri putri pun sama, memakai sarung, baju biasa dan kerudung, tidak malah memakai pakaian serba lebar, panjang dan apalagi sampai memakai cadar."

Saya, sejauh ini Alhamdulillah jarang sekali terpancing mengomentari segala macam postingan di grup ini atau itu. Tapi, Qodarullah, pada postingan tersebut jari saya latah mengetik komen. Saya mengikuti postingan-postingan penulis muda ini, terutama karena ia sendiri yang memasukkan saya di grup tersebut. Selama ini, saya menyadari bahwa penulis ini menulis dengan sense yang sedikit menggelitik dan menggiring opini. Ya, emang demikian sih kerjanya penulis. Menggiring opini pembaca pada nilai yang diyakininya.

Saya percaya, penulis tidak memiliki niat buruk. Demikian halnya semua pendakwah (sebagaimana ia menyebut dirinya) mereka tentu mengajak pada kebaikan sesuai dengan apa yang dipahami dan diyakininya. Maka sampai di titik inilah, saya merasa "gatel" dan latah menulis komentar sebagaimana di atas.

Berkomentar dengan niat berdiskusi untuk kemudian menemukan kebenaran, itu hal yang patut dipuji. Tapi, mengomentari ekspresi keberagamaan orang lain dengan perasaan paling benar, maka diskusi yang mengular sepanjang apapun tidak akan memberikan pencerahan apa-apa baginya.
 Saya tidak pernah mempermasalahkan seperti apa seseorang mengekspresikan keyakinannnya selama memiliki hujjah yang shohih. Mau memakai jubah ataupun sarung, it's okay. Mau memakai jilbab apa cadar sekalian, it's okay. Mau belajar pada kyai di pesantren atau justru langsung pada asatidz dari Makkah Madinah, it's okay. Selama yang dipelajari sama-sama merujuk AL Qur'an dan Al Hadist. 

Kesimpulannya apa? ya itu tadi saya cuman mau bilang "Yuk ah, nggak usah mengomentari ekspresi keberagamaan orang lain dengan komentar yang bertanda kutip!!!"

Terkadang, komentar dengan niatan berdiskusi untuk mendapatkan pencerahan sekalipun bisa memancing semakin terpecah belahnya persatuan umat Islam, Apalah lagi berkomentar dengan perasaan paling benar. Semoga umat islam yang besar ini bisa hidup berdampingan dengan saling menghormati tanpa meng"hajr" umat islam lainnya di luar golongan sendiri. Allahu' Musta'an...

Wallahu' a'lam 

- Copyright © Sara's Talk - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -