Based On True Story:
Kisah seorang sahabat di kota Gudeg.
Tulisan ini meraih
Juara III pada audisi Woman Miracle yang diadakan IIDN Kaltim
-------------------------------------------------
Miracle in Seven Days
“Dek, aku butuh suami
dalam seminggu ini, tolong cariin ya!” kulihat raut terkejut menghias wajah Syaza. “You must need some miracle sista…” . “Hei…I am serious” balasku cepat. “ Yea I’am very…very serious too” balasnya lagi. Tapi, seperti biasa semampunya
Ia akan memenuhi permintaanku. Ia segera mengangkat telepon dan mulai
menghubungi ustadzah-ustadzah yang dikenalnya.
![]() |
gambar dari sini |
Aku menghela nafas panjang sekaligus berdoa semoga pencarian ini berujung manis. “Jadi, tak ada yang ingin diceritakan padaku?” Tanyanya lagi. Aku hanya tersenyum dan mengendikkan bahu, kemudian membaringkan diri di kamar kost Syaza. Syaza pasti bisa menunggu untuk sebuah penjelasan, sementara itu aku perlu waktu untuk menenangkan diri. “Istrahatlah Mba, aku ke kampus ya?” Syaza berlalu dengan pengertian yang besar. “Terimakasih dek….”
Dalam kesendirian,
gelora kesedihan kian meliputi hatiku. Ayah, wajah marahnya yang memerah
terekam jelas dimataku saat ia menyampaikan keputusan finalnya, dan juga wajah
ibu yang menangis mencoba menengahi pertikaian kami.
Sungguh aku tak
bermaksud menjadi anak durhaka, kepergianku sudah bulat aku akan mencari suami
secepatnya karena itulah satu-satunya cara untuk menyelamatkan keyakinanku.
Cara untuk bisa hidup mandiri tanpa harus terus saling menyakiti dengan ayah.
Beliau masih
terus memaksaku untuk bekerja di sebuah
perusahaan asing yang mengharuskanku melepas jilbab syar’iku. Aku tak mungkin
menurutinya, setelah hidayah ini jatuh bangun baru bisa merasuki sendi-sendi
hatiku.
Apakah begitu memalukan, memelihara seorang anak gadis yang tidak
bekerja? Tanya itu kerap memenuhi benakku. “Untuk apa aku menyekolahkanmu
hingga sarjana, jika sekarang jilbab besar ini menghalangimu untuk bekerja”
kata-kata ayah masih membekas di luka hatiku, setelah pilihanku untuk
berwiraswastapun di tolaknya mati-matian. Duhai…mengapa tak bisa memahami pilihan anak sendiri. Atau
apakah karena itu adalah pilihanku? Ya, Aku…
Tumbuh sebagai anak ke dua dari tiga bersaudara yang kesemuanya adalah
perempuan membuatku tak memiliki nilai plus sama sekali di mata kedua orang
tuaku. Kakakku, wanita istimewa dengan semua kecerdasan dan kemandiriannya.
Langganan jawara kelas yang kini telah sukses menjadi wanita karier dengan gaji
belasan juta tiap bulannya. Hidupnya makin sempurna dengan seorang pria tampan
yang tak kalah suksesnya. Juga seorang putri kecil yang kian melengkapi
kebahagiaan mereka. Hei…aku tak cemburu, sungguh aku menghargai pilihan hidup
masing-masing saudaraku.
Adapun adikku, gadis manis dengan wajah innocent. Fisiknya yang lemah membuatnya dilimpahi banyak kasih sayang
dan perhatian berlebih dari orang-orang
di sekitarnya terutama orang tuaku. Hmmm…jangan salah aku juga sama sekali tak
merasa iri pada adikku ini. Kerapuhannya seolah menjadi magnet cinta bagi
siapapun yang mengenalnya, tak terkecuali aku.
Aku? Ah ya…masih ada aku, aku hanya wanita biasa yang sedari kecil
terbiasa mendapat perlakuan biasa-biasa saja. Aku tak secemerlang dan secerdas
kakakku, yang membuatku tak terbiasa di puji dan di puja. Aku juga bukan gadis
lemah yang perlu dijaga dan diperhatikan setiap saat.Ya...aku hanyalah aku yang
biasa, yang terjebak di tengah-tengah saudara-saudara yang tak biasa (aku tak
ingin menyebutnya luar biasa).
Namun, keadaan itulah yang membuatku memutuskan untuk mendalami agamaku. Paling
tidak jika tak bisa menyenangkan orang tuaku secara duniawi, aku akan mencoba
jalur ukhrawi. Menjadi anak sholehah yang akan menjadi amalan tak terputus bagi
orang tuaku kelak.
Jadilah keluar masuk kelompok pengajian adalah hal rutin yang kulakukan.
Tentu saja hal ini terus memicu pertikaian dengan orangtuaku terutama ayah. Beliau
menginginkanku serius mendalami bidang akademis agar kelak bisa sesukses
kakakku. Tapi, dengan keteguhan hati, qodarullah
Allah menuntunku menuju sebuah manhaj
yang pada akhirnya menjadi pelabuhan terdamai dan paling rasional yang kucari
selama ini. Selalu dan hanya menggunakan dalil-dalil shahih yang mendasari
setiap ilmu yang ditausyahkannya.
Berkah menuntut ilmu di manhaj
ini, membuatku merubah total penampilanku, rambut panjangku yang biasa hanya
tertutup ala kadarnya, kini tertutup rapat dengan jilbab lebar yang mencapai
lututku. Hatiku yakin seyakin-yakinnya. Inilah yang aku cari. Hanya saja
keyakinanku tak sepaham dengan keluargaku sehingga menimbulkan perseteruan
hebat yang tak berujung dengan ayahku.
Setelah penolakan kali kesian yang
kulontarkan, baik terhadap idenya bekerja di perusahaan asing ataupun menikah
dengan pria perlente pilihannya. Beginilah akhirnya, aku terlunta-lunta mencari
suami. Aaargh…..
Aku mengerti maksud ayahku, jika aku tak ingin bekerja di perusahaan
bergengsi maka cukuplah menikahi seorang pria yang bergengsi, itu akan cukup
untuk menaikkan gengsi kedua orang tuaku. Tapi kedua pilihan itu sama sekali
tak bisa kupilih, karena akan sangat bertentangan dengan prinsip yang telah
kuyakini hingga mengakar dalam tiap aliran darahku.
Ketika aku memilih pergi dan
mencari calon suami yang mengerti dan sepemahaman denganku. Ayahku mentolerir
keinginanku itu dengan limit 7 hari. Ya 7 hari, jika tidak aku harus memilih
kembali pilihan yang ditawarkan beliau.
Hmmmfff…kemana harus kucari pria sholeh yang bisa menaikkan gengsi orang tuaku.
“Yaa
hayyu yaa Qoyyum, birahmatika Astaghitsu Ashlihlii sya’nii kullahu walaa
takilnii ila nafsii thorfata a’in…..”
Melalui perantara
Syaza, aku menempuh jalan Bunda Saudah. Memintanya mencomblangiku dengan
pria-pria sholeh di luar sana, tentu saja dengan cara-cara syar’i. Tapi semua
ustadzah yang dihubunginya hanya menjanjikan akan segera mengabari, tapi akupun
paham mencari suami tak semudah membeli buah di pasar.
Sementara menunggu
perkembangan informasi dari Syaza, limit waktu yang ditentukan ayahku sudah
berjalan setengahnya. Maka, akupun menempuh cara bunda Khadijah, menawarkan
diriku pada seorang Ustadz muda yang sedang mencari istri. Tapi, ternyata kriteria
ustadz itu terlalu jauh untuk kujangkau,
boro-boro hafalan 5 juz yang menjadi standar Ustadz tersebut, juz 30 baru
beberapa bulan lalu kuhafalkan.
Hari ke-6 sejak aku
tiba di kostnya, semangat dan keyakinanku berkurang setengahnya. “Semangat Mba,
berdoa terus kita sudah cukup berusaha biar Allah yang menentukan taqdir Mba
selanjutnya” Kata-kata Syaza ternyata cukup ampuh untuk sedikit menopang
semangatku.
Selama 6 hari itu
belum sedikitpun tanda-tanda kebahagiaan akan mendekatiku. Tak ada dering
telpon, atau kabar yang memberi harapan. Yang ada hanyalah telpon dan sms dari
ibuku yang terus membujuk untuk menyetujui menikah dengan pilihan ayah.
“Menikahlah nduk, Pria itu baik dan tampan. Hidupnya pun mapan. Meski
tak bekerja kau tak akan kekurangan dan akan merasa bahagia, Ayahmu pun tak
akan terus memaksamu bekerja”
Bagaimana harus
kujelaskan duhai ibu, aku tak butuh pria tampan bin mapan tapi kuragukan Ia
beriman. Sungguh, aku mengenal pria itu, pria yang dekat dengan kehidupan malam
dan hampir tak pernah menginjakkan kaki bahkan di sekadar beranda masjid.
Dan ketika hari ke-7
menyapa, aku terkurung oleh rasa putus asa. Pikiran nekad hampir menguasaiku,
aku memutuskan untuk kabur dan tak lagi pulang ke rumah orang tuaku. “Jangan
Mba, dien ini mengajarkan kita berbirul walidain. Jika bersikap
begini orang tua Mba, akan semakin mengkambing hitamkan ajaran dien yang
mulia ini” kata-kata Syaza menyentakku dan mengembalikanku ke sebuah pikiran
sehat.
“Bersikaplah lemah
lembut Mba, cairkan kekerasan hati mereka dengan hikmah”. Aku tak tahu, harus
bagaimana menghadapi orang tuaku, juga calon yang mereka tawarkan. Yang aku
tahu, Allah selalu bersamaku. Dan cukuplah Dia sebagai penjagaku.
“Sya, aku pulang ya…”
putusku siang itu. “Tunggulah sebentar Mba, Jangan pernah meragukan
pertolonganNya. Hari masih siang. Bukankah deadline ayah mba baru berakhir
tepat tengah malam nanti?”. Aku tertawa mendengarnya “ Sya, kau kira ini
dongeng Cinderella?”. Syaza menatapku lagi dengan sedih, “Aku tak pernah
meragukanNya. Justru karena itu aku memutuskan pulang, mencoba sekali lagi mendiskusikan
hal ini dengan ayahku. Limit 7 hari ini terdengar konyol sekarang” syaza tampak
serba salah. Mungkin ia merasa bersalah karena tak berhasil mencarikanku
seorang suami. “jangan khawatir Sya, aku akan baik-baik saja, dan tetap
istiqomah, insyaallah”. “Aku pamit Sya, makasih untuk semua” lama aku
memeluknya dalam diam, mungkin aku tak akan kembali lagi, mungkin ini
perjumpaan terakhir kami. Syaza adikku sayang, saudara yang kutemukan di
samudera pencarian dien. Semoga
ukhuwah ini abadi…
Hampir 10 meter aku
berjalan dari kost Syaza, lamat-lamat aku mendengar suara terengah-engah Syaza
berteriak sembari berlari menyusulku.
“Mba…Mba…Alhamdulillah….subhanallah…Allahu Akbar…”
“Tenang dek,
pelan-pelan aja. Ada apa?” tanyaku penasaran melihat binar-binar bahagia di
matanya. “Mba, ada ikhwan lulusan Libya teman suami ummu Aisyah baru datang, sekarang kita ke
rumahnya mba?”
“Mmm…gak usah Sya,
dia Lc. Pasti syaratnya berat. Aku gak sanggup” aku sudah memutus mimpi
mendapatkan suami dalam 7 hari ini. Niatku fokus untuk kembali berdiskusi
dengan orang tuaku saja. Itu lebih masuk akal ketimbang berharap mendapatkan
suami dalam sisa waktu beberapa jam ini.
“Gak Mba, aku sudah
menelpon Ummu Aisyah, beliau berkenan mendampingi Mba untuk proes ta’aruf.
Sekarang ikhwan itu ada di sana” Setengah tak yakin aku mengikuti langkah Syaza
yang terus menggandeng erat tanganku.
***
Sekarang sudah 8
tahun pernikahan kami, aku sungguh tak menyangka ikhwan yang melakukan proses
ta’aruf denganku pada hari itu, sungguh-sungguh bersedia menikahiku dan
membuatku berbahagia hingga kini. Bahkan
dengan kelembutannya, Ia berhasil memahamkan keluargaku akan kebenaran dien
yang sempurna.
Jangan pernah
meragukan kebesaran Allah, karena sesungguhnya tak ada yang tak mungkin jika
Allah sudah berkendak. I found it, how about you????