“Cantik-cantik,
sayang orang Kalimantan…” Kalimat pujian yang diiringi nada penyesalan mendalam
itu meluncur dari bibir salah satu kawan priaku, seolah lupa bahwa sosok yang sedang
diajaknya bicara juga gadis dari Kalimantan.
“Heii….kalimat
apa itu? Memang kenapa kalu orang
Kalimantan?” Karena kesal tak tanggung-tanggung sebuah buku berat nan tebal
kulayangkan ke pundaknya. Punya pengalaman buruk dengan konflik SARA, aku memang
sensitif mendengar pernyataan-pernyataan yang berbau diskriminasi seperti itu.
“Ahahai…..sabar
ding, itu loh… jujurannya berat bo.”
terbahak kawanku tadi, sambil mengusap-ngusap bahunya. Mendengar alasannya, mau
tak mau aku turut pula tertawa.
Jujuran
memang kerap menjadi olok-olokan sekaligus momok tersendiri bagi kawan-kawan
yang berasal dari luar Kalimantan. Bagaimanapun gadis-gadis Kalimantan yang
dulunya terkungkung di daerahnya sendiri, seiring perkembangan zaman kini sudah
diperbolehkan menempuh pendidikan tinggi hingga ke seberang pulau. Sebuah
langkah yang menyebabkan bertemunya budaya-budaya berbeda di berbagai institusi
pendidikan ataupun lapangan pekerjaan. Perbedaan
ini tidak hanya terkait masalah seni budaya khas masing-masing daerah, tapi
mencakup pula perbedaan bahasa, cara bergaul, perjamuan tamu, pengurusan
jenazah, hingga urusan bertemunya sepasang manusia yang serius berencana
membangun rumah tangga bersama, yakni pernikahan.
Terkait
masalah pernikahan inilah jujuran mencuat dan dikenal hingga ke berbagai daerah
lainnya. Ya, Jujuran, istilah yang tidak hanya dikenal di Kalimantan. Beberapa
daerah lain seperti Nias, dan Bugis juga mengenal istilah serupa. Meski memiliki beberapa bagian berbeda dalam prosesi
dan persyaratannya, jujuran adalah sebuah adat yang merupakan bagian dari
prosesi panjang sebuat adat perkawinan .
Di
Kalimantan sendiri, jujuran seringnya disangka serupa dengan mahar atau mas
kawin. Tahun-tahun belakangan ini kisaran jujuran di daerah Kalimantan sudah
mencapai puluhan hingga ratusan juta. Tak menjadi heran, banyak pria yang
memilih mengundurkan diri dengan teratur
jika sudah berhadapan dengan gadis Kalimantan, tak peduli seberapa besar
ketertarikan kaum adam tersebut pada sang gadis.
Konon katanya jujuran itu biaya membeli “anak
gadis” orang Kalimantan. Semakin terpandang keluarganya, semakin cantik parasnya,
semakin berpendidikan dan bagus karirnya maka semakin besar pula nilai
jujurannya.
Mmm,
benarkah besarnya jujuran merupakan
prestise sosial bagi masyarakat Kalimantan???
Sebenarnya,
penetapan besarnya jujuran tidaklah serta merta seolah-olah ada standar
bakunya, atau tidak pula semata-mata melihat kondisi pihak perempuan yang
dilamar. Sebelum sampai pada tahapan “Meantar
jujuran” pada awalnya ada masa “Basasuluh”.
Dulu,
ketika nilai-nilai ketimuran belum bergeser akibat adanya infiltrasi budaya
Barat, di Kalimantan sama sekali tak dikenal istilah “pacaran”. Karenanya seorang pria yang sudah mapan dan merasa siap
menikah, lazimnya oleh keluarga terdekatnya diadakanlah apa yang disebut Basasuluh. Yakni upaya mendapatkan
keterangan tentang perempuan yang diingininya, dan upaya mendapat persetujuan
dari pihak keluarga perempuan tersebut.
Dalam acara Basasuluh, pihak pria mencari tahu tentang hal-hal yang ingin
diketahuinya, terutama tentang agama si perempuan,
keturunannya, kemampuan rumah tangganya, serta kecantikan parasnya. Sebaliknya
keluarga pihak perempuan akan memperhatikan pula hal yang sama dan menambahkan penekanan pada pekerjaan si pria.
Hal ini sangat penting, karena bagi orang tua
pihak perempuan menyetujui pernikahan anak perempuannya berarti siap
menyerahkan sang anak dalam pertanggung
jawaban sang pria. Diharapkan calon suami dapat memberikan perlindungan dan penghidupan
minimal sebagaimana yang telah diberikan orang tua si perempuan.
Setelah
sama-sama merasa cocok, baik antara calon mempelai maupun keluarga besarnya maka
dilanjutkan dengan acara “badatang”.
Kedatangan calon mempelai pria beserta orantua dan keluarga besarnya akan diterima
pihak keluarga perempuan dengan cara tradisional. Biasanya akan lahir dialog
yang menyerupai prosa liris dalam bahasa daerah.
Masing-masing pihak boleh meminta bantuan kepada mereka yang memang pandai bersilat
lidah dan merangkai pantun. Karena dalam masa inilah selain saling berbalas
pantun, ditetapkan tanggal pernikahan dan tetek bengek yang mengikutinya, juga
diadakan ”negosiasi” besarnya jujuran dari pihak calon suami.
Jujuran,
bukanlah biaya ganti rugi apalagi biaya membeli seorang wanita dari
keluarganya. Jujuran juga tidak sama dengan mahar atau mas kawin. Jujuran sama sekali tidak untuk dinikmati
oleh orang tua pihak perempuan. Jujuran akan digunakan untuk membiayai
walimahan dan sebagian lagi akan digunakan sebagai modal awal untuk kehidupan
pasangan yang baru menikah itu sendiri.
Jujuran
juga memiliki makna bahwa dalam sebuah perkawinan diperlukan kesiapan lahir
batin, artinya jujuran merupakan simbol kemapanan secara ekonomi.
Karenanya
menjadi penting dalam acara Badatang untuk menyepakati besarnya pesta
walimahan, berapa undangan, dan lain sebagainya. Keluarga pihak perempuan
biasanya memang akan memberi start
bidding besaran jujuran sesuai standar jujuran dengan menilik kondisi sang
calon mempelai perempuan dan pekerjaan si pria.
Jangan khawatir, jika di acara basasuluh sudah
mendapatkan persetujuan orang tua pihak perempuan secara penuh maka besaran
jujuran jelas bisa dinegosiasikan sesuai kemampuan. Terlebih dengan
perkembangan zaman dan meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap agama, maka
budaya-budaya yang menyelisihi syariat sudah mulai ditinggalkan. Tak jarang
dijumpai, pihak keluarga perempuan yang menawarkan membantu atau membagi dua
biaya walimahan tersebut. Artinya jika memang sudah disetujui, maka besaran
jujuran pastilah akan disesuaikan dengan kemampuan pihak lelaki.
Lain
halnya jika dari awal pihak keluarga wanita sudah ada keberatan atau
ketidaksukaan tertentu pada pihak pria. Maka proses negosiasi jujuran biasanya akan
sangat berjalan alot, dan jarang sekali besaran jujuran bisa bergeser dari
angka yang sudah ditetapkan oleh pihak orang tua perempuan. Dalam hal ini,
jujuran juga berfungsi sebagai cara penolakan halus oleh orang tua pihak
perempuan. Yakni dengan meminta besaran jujuran yang diketahui pihak keluarga
tidak akan sanggup atau sulit dipenuhi oleh pihak pria. Dengan mematok jujuran
di luar kesanggupan pihak pelamar, diharapkan si pelamar akan mundur dengan
sendirinya.
Setelah
disetujuinya besaran jujuran pada saat acara badatang, maka di tanggal yang disepakati prosesi Meantar Jujuran pun dilaksanakan. Dalam
tradisi, pihak pria yang mengantar jujuran ini, biasanya juga disertai berbagai
perlengkapan yang dibawa oleh iring-iringan rombongan yang panjang.
Hal
mendasar yang perlu dibawa yakni pohon pinang dan pohon pisang. Tanaman ini
nantinya akan ditanam berdampingan di rumah mempelai wanita. Penanaman kedua
pohon ini merupakan simbol dimulainya kehidupan baru bagi kedua mempelai.
Diharapkan dalam membina rumah tangga, keduanya meski berbeda dapat hidup rukun
berdampingan.
Selain
membawa tanaman, dibawa pula perbekalan lain yang rupa-rupanya bisa beragam,
namun diantaranya selalu terdapat perlengkapan sholat dan keperluan paket
lengkap untuk calon mempelai perempuan dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Calon suami yang lebih mapan akan melengkapi iring-iringan tersebut dengan
perlengkapan tidur sampai perabot rumah tangga. Dimana barang-barang tersebut
nantinya akan digunakan di rumah mereka pasca pernikahan. Semua hal tersebut
mencerminkan itikad baik pihak pria yang sudah siap mengarungi rumah tangga dan
mengambil alih tanggung jawab si wanita dari orang tuanya.
Prosesi
mengantar jujuran diiringi berlangsungnya akad nikah. Tentunya jujuran dan perlengkapan
lainnya tersebut bukanlah mahar. Mahar adalah permintaan pribadi calon istri
kepada calon suaminya, untuk urusan mahar biasanya diserahkan langsung sesuai
keinginan pihak pengantin perempuan. Setelah akad nikah, pesta walimahan bisa
dilangsungkan pada hari itu juga atau sesuai tanggal yang telah disepakati.
Kalimantan,
yang merupakan pulau terbesar di Indonesia, sering menjadi tujuan transmigrasi.
Hal ini menyebabkan banyaknya pendatang yang tentunya memiliki adat dan budaya
yang jauh berbeda termasuk dalam urusan pernikahan. Perbedaan kultural inilah
yang menyebabkan para pendatang seringkali
masih terkaget-kaget dengan budaya jujuran yang hingga kini masih
melekat kuat dalam masyarakat Kalimantan.
Perbedaan
kultural ini pula yang sering menyebabkan munculnya stigma negatif terhadap
budaya jujuran tersebut. Terkadang, masyarakat luar cenderung melihat apa yang nampak
di mata dan mengabaikan nilai-nilai kearifan yang sebenarnya termaktub dalam
sebuah adat istiadat. Maka tak heran beragam stigma negatif bermunculan, sebut
saja jujuran yang dianggap biaya membeli seorang perempuan dari orang tuanya.
Jujuran yang besarannya dianggap sebagai prestise sosial, semakin besar jujuran
semakin mewah pula perhelatan yang diselenggarakan. Padahal semua itu adalah
hasil kesepakatan kedua belah pihak. Pihak keluarga perempuan dan pihak sang
calon mempelai pria. Atau sering pula kita mendengar opini, bahwa tradisi
jujuran mengkasta-kastakan manusia. Namun demikian, dipungkiri atau tidak
pelestarian tradisi jujuran ternyata menjadi daya pikat tersendiri bagi
perempuan-perempuan Kalimantan.
Masyarakat
Kalimantan, umumnya memaknai jujuran sebagai symbol kemapanan ekonomi dan itikad baik serta bentuk tanggung jawab seorang
pria yang akan menjadi kepala keluarga ketimbang memandangnya sebagai bentuk
prestise sosial.
Bukankah
tidak jarang kita menjumpai pria-pria tak bertanggung jawab yang setelah
menikah melimpahkan tanggung jawab untuk menghidupi perekonomian keluarga di
pundak istrinya? Bahkan sering pula kita melihat pria-pria pemalas yang lebih
suka tidur-tiduran di rumah sementara istrinya terpaksa membanting tulang
bekerja keras di dalam dan di luar rumah?
Maka,
adat jujuran secara turun temurun memberikan pandangan pada setiap orang tua agar hanya menikahkan
putri-putri mereka pada pria yang sudah mapan secara ekonomi. Tanpa bermaksud
berorientasi pada kehidupan dan kemewahan duniawi, jujuran membantu orang tua
untuk memberikan masa depan yang lebih baik kepada putri-putri mereka,
sekaligus mendidik putra-putra mereka menjadi pekerja keras dan siap
bertanggung jawab atas hidup anak istrinya kelak.
Meski
selalu ada kearifan dibalik sebuah adat istiadat, tidak berarti serta merta
seluruh masyarakat Kalimantan memahami makna kearifan tersebut. Kasuistik,
memang terdapat beberapa keluarga yang mematok jujuran dengan nominal yang
super tinggi, selain karena pendidikan dan pekerjaan si perempuan yang memang
sudah baik, pihak keluarga memang bermaksud menyelenggarakan perhelatan mewah
untuk putrinya. Tentu hal semacam ini justru menimbulkan kesulitan bagi pihak
perempuan untuk memperoleh suami. Karena itulah kebanyakan perempuan-perempuan berumur
di Kalimantan yang belum menikah justru berparas cantik dan berpendidikan
tinggi serta memiliki karir yang cemerlang.
Jujuran
juga bisa berarti menuntut kesepadananan, suatu hal lumrah, bukan?
Bahkan syariatpun menitahkan menikahi pasangan
yang sekufu, sepadan. Dalam syariat, kesepadanan berniat memudahkan pasangan
untuk saling berinteraksi dalam rumah tangganya kelak. Demikian pula budaya
jujuran.
Bisa dibayangkan seorang wanita yang berasal
dari keluarga terpandang ketika menikah dan harus hidup dalam kondisi yang tak
biasanya, tentu memerlukan adaptasi dan proses pembelajaran yang tak singkat.
Bisa jadi keharmonisan rumah tangga keburu merenggang sebelum pembiasaan pola
hidup baru terpenuhi. Begitu pula jika seorang pria yang kehidupannya pas-pasan
menikahi wanita yang jauh lebih berada, dikhawatirkan sang pria akan merasa
kurang percaya diri sehingga mempengaruhi kualitas kepemimpinannya dalam rumah
tangganya kelak. Hal-hal semacam inilah yang sebenarnya termaktub dalam adat
jujuran.
Menjadikan
kemapanan ekonomi sebagai tolak ukur pernikahan kerapkali di cemooh sebagian
masyarakat. Kebanyakan orang sering berdalih bahwa agama dan keturunan itulah
yang utama. Benar, bahkan di prosesi Basusuluh
mengetahui agama dan keturunan calon pasangan adalah hal yang utama. Namun, mari kita renungkan jika sebagai orang
tua anda di hadapkan pada dua orang pelamar, yang pertama baik agama dan
keturunananya serta berpendidikan tinggi, mapan pula kehidupannya. Sedangkan
pelamar kedua baik pula agama dan keturunannya, namun kehidupannya biasa-biasa
saja. Tentu sebagai orang tua condong pada pelamar pertama.
Namun,
sebuah fenomena menyedihkan dan melenceng dari kearifan yang diusung adat
jujuran masih kerap terjadi. Ya, karena kalangan pemuda pemudi dewasa ini sudah
tak lagi mengandalkan “basusuluh” untuk menentukan pilihan hidupnya, melainkan
melakukan jalan pintas dengan apa yang disebut pacaran, maka hasil yang didapat
dari penerapan tradisi jujuran justru tidak sesuai dengan nilai-nilai kearifan
dalam tradisi tersebut.
|
image powered by Google |
Terlebih saat ini pernikahan antar suku dan
seberang pulau sudah demikian kerap terjadi. Terkadang para orang tua dipaksa
percaya begitu saja dengan pilihan anak perempuannya. Orang tua tak lagi
dilibatkan secara penuh untuk menyetujui atau tidak menyetujui si calon suami.
Maka, tak jarang terdapat keluarga pria yang memalsukan latar belakang
kehidupan dan pekerjaannya. Jujuran memang terpenuhi namun didapat dengan cara
berhutang. Maka tentu saja kehidupan pengantin baru yang diharapkan akan cukup
mapan dengan sisa uang jujuran sebagai bekal memulai hidup baru justru sudah
melilit, terbelit hutang yang tidak sedikit.
Bagi
masyarakat Kalimantan sendiri yang mayoritas masyarakatnya kini telah melakukan
afiliasi budaya antara warga pendatang dan warga asli, jujuran tidaklah lagi
merupakan suatu keharusan. Namun, sebagai sebuah adat yang mengandung
nilai-nilai kearifan budaya Indonesia,
jujuran tetap dipertahankan dan dilestarikan.
Demikian
halnya pada semua budaya yang masih dilestarikan hingga kini tentu menuai pro
dan kontra. Dan jujuran pun tak luput dari hal tersebut. Selaku warga Negara
Indonesia pada umumnya dan warga Kalimantan pada khususnya, menurut hemat saya lebih
utama tentu adalah mengadaptasi kearifan budaya jujuran tersebut. Karena di
balik budaya jujuran yang sering ditentang banyak pihak ini terdapat nilai-nilai
yang menginspirasi.