Pagi
masih mengembun. Anak-anak masih berjibaku dengan aktivitas pagi, memakai
seragam dan menghabiskan sarapan mereka. Ponselku yang tiba-tiba berdering nyaring, membuatku dan suami saling
menatap. Yang menelpon di pagi hari biasanya pastilah kerabat atau sahabat.
Dan
benar saja, telpon itu dari salah satu sahabatku dari masa kuliah. Sebut saja
dia Ai. Suara salamnya di seberang sana terdengar basah. Dan, rasa-rasanya aku
tahu apa penyebabnya.
“Salahkah
jika seorang perempuan menggugat cerai suaminya?” pertanyaan itu terlontar jua
darinya. Jujur saja aku terdiam sesaat. Meski sering menjadi tempat curhatan berbagai
permasalahan kawan-kawanku, sekali pun aku tak pernah menyarankan sebuah
perpisahan, bahkan terbersit untuk menyarankannya saja tidak.(Maaf deh jika
ternyata aku masuk nominasi manusia kolot yang masih mengagungkan ikatan suci
pernikahan).
Saat
itu dalam pikiranku, aku merunut cepat peristiwa demi peristiwa yang terjadi
dalam rumah tangga Ai sejauh pengetahuanku berdasarkan curhat-curhat langsung
Ai beberapa tahun belakangan ini. Kuingat-ingat juga apa yang sudah kusarankan
dan apa yang sudah diusahakannya serta apa hasil dari setiap usahanya itu.
KDRT?
Sejauh yang kutau tidak ada.
Perselingkuhan?Mmmm…pernah,
dan kurasa sempat teratasi.
Keluarga?Aduuh,
complicated deh.
Komunikasi?
Nol besar.
“Seingatku,
kapan waktu kamu dah pernah sidang n disidang kelima memutuskan untuk menarik
gugatan? Kamu yakin gak akan menyesal?” tanyaku padanya.
Sebenarnya
kali ini pun Ai sudah menjalani sidang kedua atau ketiganya, hanya saja
keragu-raguan menghantuinya dan ia bertanya padaku melanjutkan gugatan cerainya
atau lagi-lagi menarik gugatan.
Sebenarnya
aku takut memberi saran, khawatir jika saranku ternyata merubah hidupnya ke
arah yang justru tidak lebih baik.
Saat
gugatan cerai pertama kukatakan padanya “Timbanglah berapa banyak manfaat dan
mudharatnya jika kalian terus bersama atau jika kalian berpisah. “
Saat
itu aku berdoa dengan tulus agar Ai menemukan kebahagiaan dengan apapun pilihan
yang dijalaninya. Rasanya setahun berlalu, aku tau hidupnya tak menjadi lebih
mudah, cobaan demi cobaan masih terus berakrab ria dalam hidupnya.
Dan
pagi itu, ketika ia mencurahkan kisahnya aku tau, sekali ini aku harus keluar dari
zona nyaman saran-saranku. “Jangan berbalik Ai, terus saja melangkah, lanjutkan
apa yang sudah kamu mulai. Ritme hidupmu rasanya terus berulang, tak ada
perubahan apa-apa. Kamu selalu kembali di titik awal. Bagaimanapun,
rekonsiliasi itu dari kedua belah pihak. Jika kamu berjuang sendirian sampai
kapanpun gak bakal sampai diposisi balance. Seberapa lelahnya kamu, selesaikan
hingga tuntas. Setelahnya bangunlah hidupmu dari awal. Insyaallah kamu bisa
beribadah lebih tenang dan hidupmu menjadi lebih baik.”
Aku
benar-benar berharap aku tak mendorong Ai pada suatu keburukan. Pun aku sudah
menyarankannya meminta nasihat pada pihak ketiga yang bisa menjembatani mereka
berdua, atau datang saja ke BP4.
Dari
kisahnya aku belajar, bahkan pernikahan yang dibekali cinta, jika tak diiringi
peningkatan keimanan akan kandas tergerus ujian.
Ai
dan suaminya memulai kehidupan rumah tangganya dari garis start yang sama. Dalam perjalanan yang tak
luput dari sandungan batu ujian itu, Ai memilih mendekat pada Tuhan dan
memperbaiki kualitas hidupnya, sayangnya tidak begitu halnya sang suami.
Ai
mulai merindukan rumah tangga yang islami, mulai merindukan imam yang bisa
membimbing dan mengarahkannya, minimal bersedia bersama-sama memperbaiki diri dan
mendekatkan diri pada Tuhan.
Ai
mengusahakannya, mengusakan perbaikan dirinya juga suaminya. Sayangnya Ai
hanyalah manusia. Hidayah itu semata milik Allah, dan saat ini hidayah itu
belum lagi sampai pada suaminya.
Mempertahankan
rumah tangganya, tidak hanya menggerus kesabarannya, Ai lebih khawatir jika
keimanannya ikut pula tergerus habis.
Sungguh
pernikahan itu tempatnya ujian dan cobaan, jika ingin bertahan tak hanya cinta
yang harus dipupuk, pun keimanan perlu senantiasa ditingkatkan. Wallahu a’lam