Search This Blog

Powered by Blogger.

Archive for November 2014

Pada Mama, aku mengambil ibroh...

Ibu itu bukan manusia sempurna, tapi beliau wanita istimewa. Madrasah pertama yang mengenalkanku pada dunia, dan mengajarkanku menghadapi suka duka. Ibu itu bukan manusia tanpa salah, tapi beliau wanita yang siap mengasuh dengan merasai lelah dan payah. Ibu itu adalah kebesaran cinta, yang mengantarkanku hingga dewasa…..

“Mama sengaja nggak pernah mengingatkanmu untuk belajar atau memberi jam khusus untuk belajar. Karena mama ingin kamu paham, bahwa belajar itu untuk kamu sendiri bukan untuk mama. Belajar itu  nggak  semata untuk rangking 1 tapi agar kamu mengetahui banyak hal. Agar kamu lebih siap menjalani hidup dan mengatasi berbagai permasalahan yang mungkin kamu hadapi kelak.”

Mama berkata santai seolah tahu aku sedikit menyalahkannya saat posisi juara satu yang biasa kudapatkan bergeser ke posisi dua di salah satu masa ketika aku masih berseragam biru putih. Aku iri melihat teman-teman yang dikawal ketat proses belajarnya oleh orang tua mereka. Sementara mamaku yang justru seorang guru, sekalipun tak pernah bertanya atau peduli apakah aku sudah belajar ataukah banyak bermain setiap harinya.

Kata-katanya berlahan-lahan meresap ke sudut hatiku. Membuatku entah mengapa tiba-tiba terbayang proses kehidupan mama yang sulit.

Aku tahu perjuangan mama untuk bisa sekolah. Ikut bekerja dan tinggal dalam keluarga tentara yang berbaik hati menampungnya. Ayahnya yang sudah tiada dan ibunya yang papa tak pernah menyurutkan tekadnya untuk belajar. Sebagai seorang siswa,mama adalah siswa yang biasa-biasa saja. Tapi ia bersekolah tak semata mencari gelar juara, ia sedang menimba ilmu kehidupan. Ilmu yang menopangnya menjalani hari-hari yang tak bisa dibilang mudah.

 Menikah dengan putra sulung dari keluarga yang cukup berada dan di segani dari daerah berbeda, suku berbeda, adat dan budaya berbeda, bukan hal mudah. Sama sekali bukan.
Aku tumbuh, dengan melihat mama yang berjuang keras beradaptasi di tengah-tengah keluarga besar ayahku. Mengurusi kelima adik ayahku dan juga orang tuanya. Melayani mereka, memasak, mencuci, dan semua pekerjaan rumah tangga lainnya, bahkan di tengah-tengah kesibukan beliau sebagai seorang guru di salah satu SMP Negeri di kota kecil kami.

Mama yang tidak hanya sekali dua kali kujumpai menangis menghadapi perkataan dan sikap beberapa keluarga yang “memandangnya sebelah mata” menjalani hari-hari beratnya dengan ikhlas. Tak banyak mengeluh, tak pernah membalas, dan seringkali justru masih sanggup tersenyum tulus. Hal yang masih terus berlanjut meski satu persatu adik-adik ayahku pada akhirnya berkeluarga dan memeberi 5 menantu wanita lainnya di keluarga besar tersebut. Mama tetaplah menjadi “tumpuan” dan mendapati dirinya lebih banyak menghabiskan waktu untuk menjaga, menemani, dan memenuhi keinginan orang tua suaminya yang kian uzur.

Adalah aku, yang menghabiskan masa kecil dengan bahagia. Mengenyam pendidikan hingga bangku sarjana dengan mulus dan tanpa banyak usaha mendapatkan beasiswa prestasi di sana sini. Mengenal cinta, dan qodarullah menikah dengan seorang pria dari luar pulau, suku berbeda, budaya berbeda.

Aku sempat menjalani masa hidup bersama keluarga suamiku. Dan sungguh aku teringat mama. Baru aku tahu betapa luar biasanya mama. Betapa beliau memiliki hati seluas samudera tatkala menjalani proses adaptasi budaya yang begitu berbeda.

Beradaptasi dengan suami tak terasa begitu sulit karena dengannya lah aku berkomitmen membagi sisa kehidupanku. Tapi beradaptasi dengan keluarga besar, dengan semua perbedaan adat dan budayanya, bagiku itu luar biasa. Aku tak siap dengan sikap dan perkataan spontan mereka yang seringkali menyesakkan hati dan menggulirkan titik-titik bening di sudut pipi. Aku kesulitan, sangat kesulitan menyesuaikan gaya hidupku yang kampungan dan apa adanya dengan mereka yang sangat “kota” dan menilai produktifas dengan materi.

Maka kucari-cari kemanapun dari setiap sudut literasi pembelajaran formalku, aku tak menemukan solusi atas kepahitan yang kujalani.

Tapi, pada mama, mengingat hari-hari berat yang pasti juga pernah dilalui mama aku mengambil ibroh. Meski menangis, tak menyimpan dendam dan amarah adalah kunci kebahagiaan. Tak peduli sebanyak apa kesedihan dan kepahitan yang terjalani, berhasil memenangi rasa sakit hati adalah kemenangan terbesar yang insyaallah menjadikan kita lebih bijak dalam menyikapi berbagi situasi.

Ketika akhirnya pulang ke kampung halaman, aku menemui ibuku masih dengan rutinitasnya yang tak berbeda jauh. Ia masih dengan setia memenuhi ini itu  kemauan nenek yang kini semakin uzur dan tentu semakin rewel, terlebih sepeninggal kai.

Dan, padaku mama berucap, “Mama berharap, kelak tua tak akan menyusahkan kalian. Tapi jika Allah masih memberi waktu hingga pikun dan lemah menyerang mama, semoga kebaikan tak seberapa ini akan kembali pada mama lewat kalian, anak-anak mama…”

Duh mama, keikhlasanku jauh tertinggal dari mama, kasih sayangku padamu tentu tak akan sanggup menyamai sedikitpun kasih sayangmu padaku. Karenanya mama, izinkan aku menutupi semua kekuranganku dengan lantunan doa-doaku untukmu.  Semoga Allah senantiasa memberkahi sisa usiamu dan mengampuni setiap khilaf dan salahmu.

Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan: Hati Ibu Seluas Samudera.
Tag : , , ,

Waktu

"Ummi maaf ya, nanti besar Rofi akan meninggalkan ummi karena Rofi akan memiliki suami sendiri...."

Kalimat panjang itu diucapkannya dengan meminta perhatian penuh dariku. Ia dengan sengaja memegangi kedua pipiku dan memintaku menatap tepat ke matanya.

Kalimat yang ketika ia selesai mengucapkannya membuatku tak tahu harus menjawab apa.

Perasaanku tiba-tiba menjadi absurd. Entah harus tertawa ataukah menangis. Ia putriku. Baru berusia 4 tahun 4 bulan. Tak ada angin tak ada hujan, tak ada tanda-tanda yang mengindikasikan bahwa ia akan melontarkan kalimat yang demikian cetar membahana.

Kakaknya, putri pertamaku yang berusia 7,5 tahun menanggapinya dengan beristighfar nyaring.

"Ayo rofi, istighfar. Kamu itu masih kecil. Sekolah aja belum. sudah ngomong kayak begitu. Malu-maluin aja." lanjutnya pula.

Saat itu, aku hanya tersenyum dan melerai mereka yang bersiap adu mulut. Kemudian menyatukan mereka dalam pelukanku.

Bersaat-saat setelahnya, bahkan hingga detik aku menuliskannya aku masih terngiang-ngiang perkataan putri kecilku itu.

Awalnya aku seolah diingatkan bahwa anak-anakku tak selamanya menjadi anak-anak yang membutuhkanku dalam banyak hal. Perlahan-lahan namun pasti waktu merangkak mengantarkan mereka menjadi putri-putri dewasa yang akan menjalani kehidupan mereka sendiri.

Aku seolah tertampar, betapa aku menyia-nyiakan waktu kecil mereka dengan semua omelan dan kemarahanku yang tidak semestinya. Toh, mereka tak akan lama menjadi anak-anak yang mengerubutiku kemana-mana.

Suatu waktu  di masa depan kelak, aku pasti akan merindukan saat-saat dimana mereka merecokiku dengan permintaan dan kemanjaan ini itu.

Dan pada akhirnya aku menyadari, waktu memang tak bisa terulang namun ia membangun siklus  serupa. Seketika aku memahami  arti air mata di wajah mama saat melepasku pergi bersama suamiku. Sebuah moment yang kelak sangat mungkin kujalani pula,

Yah, cinta memang membuahkan rindu. Rindu yang menjadikan setiap waktu bersama menjadi lebih berharga...







- Copyright © Sara's Talk - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -