Posted by : Sara Amijaya Tuesday 25 December 2018


"Kenapa aku disebut pelakor? Padahal kami menikah secara sah menurut agama? Aku bukan pelakor, hanya istri kedua! "
Pertanyaan dan pernyataan tersebut diposting dalam salah satu grup tertutup di Facebook. Jangan tanya berapa ramai komentarnya. Pro dan kontra tentu.




Fenomena pelakor seolah tak ada habisnya. Terlebih ditunjang semakin maraknya beragam media sosial dan kemudahan mengaksesnya.
Faktanya, dalam banyak kasus pihak yang paling bersalah adalah pihak lelaki, mendapatkan keuntungan seksual tentu saja, dan beberapa yang lain seringnya juga mendapat keuntungan materiil, seperti harta. Namun tetap saja, yang lebih banyak dihujat adalah pihak wanita. Sang pelakor, Perebut laki orang.
Jujur saja, saya sedikit geli ketika mendengar akronim pelakor pertama kali. Dalam benak saya, laki-laki itu adalah sosok maskulin,dan tentu saja memiliki kekuatan lahir batin di atas wanita, bukankah itu alasan mengapa lelaki dijadikan pemimpin bagi para wanita?
Jadi mendengar kata perebut, bagi saya hal tersebut terdengar absurd. Apakah lelaki ini sudah serupa seonggok barang yang tak punya daya upaya sehingga bisa begitu saja diperebutkan?
Saat seorang lelaki berstatus suami tergoda oleh wanita lain, maka hal tersebut pastilah bukan dengan paksaan. Saya percaya ia tergoda karena lemahnya iman dan komitmen terhadap ikatan perkawinannya. Pun dari banyak kasus pelakor, yang terjadi adalah perzinahan diluar perkawinan, perselingkuhan. Proses perceraian dengan istri syah, ataupun pernikahan dengan sang pelakor seringnya terjadi belakangan, setelah perselingkuhan tersebut terungkap.
Adapun kasus suami menikah lagi tanpa meninggalkan atau menceraikan istri pertama, tentu saja tidak bisa dipukul rata setara dengan kasus pelakor. Sebagai muslimah, saya tunduk dan taat pada syariat poligami yang seyogyanya merupakan bukti keadilan Allah azza wajalla.

Tapi tentu keadilan suami adalah hal terpenting dalam hal ini. Menikah lagi atau lebih spesifik menikahi janda kemudian membuat janda istri pertama tentu bukanlah bentuk keadilan. Dalam kasus seperti ini istri kedua tentu tak jauh beda dengan pelakor.
Poligami memang tak membutuhkan izin istri pertama, tapi tanpa diketahui oleh istri pertama tak akan pernah ada keadilan dalam kehidupan poligami. Tentu kita menyayangkan wanita-wanita yang bersedia menjadi istri kedua tanpa sepengetahuan istri pertama, dan tidak melakukan pernikahan yang sah secara hukum negara ini. Hal tersebut merupakan dukungan pada ketidakadilan suami.
Padahal, negara kita tercinta ini telah menyediakan mekanisme untuk pernikahan poligami secara alegal. Namun, karena rasa keadilan para lelaki belum sampai 'maqom'nya maka beragam alasan bermunculan, "nanti diurus belakangan", "Aduh ribet, yang penting sah dululah, ketimbang zina", dan alasan apalah-apalah yang lainnya.
Duhai, jika memang mampu berlaku adil maka mulailah dengan melegalkan pernikahan poligami anda secara syariat dan negara!


Artikel ini telah terbit pertama kali di UC News pada akun Sara Amijaya dengan judul: Aku Bukan Pelakor, Hanya Istri Kedua!

- Copyright © Sara's Talk - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -