“Kebaikan itu ibarat sebuah
lingkaran. Jika kita memulai sebuah lingkaran dari suatu titik maka ujung dari
lingkaran itu adalah titik awalnya. Demikian pula dengan kebaikan jika kita
memulai sebuah kebaikan, maka ujung dari kebaikan itu akan kembali pada diri
kita sendiri”.
Sejak awal pernikahan, aku dapati suamiku adalah
seorang pria sholeh yang sangat pemurah. Dalam kondisi berkecukupan maupun
kekurangan ia selalu siap sedia menolong orang-orang yang membutuhkan. Ia tak segan-segan
meminjamkan uang kepada orang-orang yang memerlukan tanpa harus
mengembalikannya. Terkadang, ia meminjamkan modal pada teman-temannya yang akan
memulai usaha, jika tidak bisa membantu dalam hal keuangan maka ia akan
membantu mereka dengan tenaganya.
Terkadang yang dilakukannya hanyalah hal-hal remeh
temeh yang seringkali kuanggap tak bernilai seperti menyingkirkan kayu di
jalan, merawat tanaman yang sudah layu, atau sekedar membagi senyuman pada
orang-orang yang ditemuinya di jalanan.
|
powered by google |
Meski tak
pernah terucap tanya dari bibirku, seolah paham suamiku menjelaskan. “Bisa melakukan kebaikan itu juga salah satu
rezeki. Ada masanya kita ingin membantu orang lain tapi kita tak menemukan
orang yang akan kita bantu. Atau ada orang yang meminta bantuan tapi kita
sedang tidak bisa membantunya. Jadi, selagi ada kesempatan membantu orang lain
lakukanlah. Insyaallah akan ada balasannya, jika tidak di dunia maka jadilah
itu sebagai tabungan kita di akhirat.”
Adapun sisi
lain dari suamiku yang pemurah adalah bahwa ia juga sosok yang pembosan.
Syukurlah hingga detik ini ia belum menunjukkan tanda-tanda kebosanan terhadap
aku, istrinya.
Sifat bosannya lebih pada urusan pekerjaan. Maka jadilah ia sosok yang resignholic.
Setiap kariernya mulai menanjak ia akan dengan segera mengajukan surat resign.
Dan untuk sementara ia akan sibuk dengan impiannya menjadi seorang wiraswasta
yang sukses. Meski takdir masih menuntunnya menjadi pegawai hingga berkali-kali,
hal itu tetaplah tidak menyurutkan impiannya untuk menjadi pure pebisnis,
bos atas dirinya sendiri. Jadi, jangan tanyakan berapa kali ia telah mengajukan
resign.
Sebagai seorang istri, maka kewajibankulah untuk
terus mendampinginya seberat apapun pilihan yang telah dijatuhkan oleh suamiku.
Bukannya tak pernah protes, aku justru kerap menumpahkan ketidakmengertianku
atas pilihannya yang seolah anti kemapanan. Namun, pembicaraan itu akan terus
berlanjut dengan riak-riak pertengkaran yang sama sekali tidak aku sukai.
Seiring waktu aku mulai belajar menerima semua kekurangan dan kelebihan suami
tercintaku. Meski perjalanan untuk bisa lebih mengenal dan saling mengerti itu
tidaklah melulu manis, aku merasa bangga tatkala bisa memaknainya sebagai the reviving moments.
Ada sebuah masa, ketika suamiku mulai merintis sebuah
usaha sendiri. Proyek dengan nilai ratusan juta bahkan sudah mulai
dikerjakannya. Namun, karena satu dan lain hal suamiku memutuskan melepas
perusahaan tersebut dan menyerahkan lanjutan proyek yang dikerjakannya pada
rekan kongsinya selama ini. Saat itu suamiku mengajakku hijrah ke kota lain
untuk memulai hidup baru. Sekali lagi aku
merasa diuji. Dengan seorang putri yang kami miliki saat itu, aku sungguh
menyesalkan banyak hal yang menjadi keputusan suamiku. Keputusannya untuk
resign padahal kesempatan menjadi Officer di sebuah Bank terkenal sudah
menantinya. Aku juga menyesalkan keputusannya saat memilih melepas proyek yang
sudah didapatkannya. Namun suamiku hanya berkata “Aku mampu memberikanmu
rumah mewah ataupun mobil mewah dari apa yang sudah kulepaskan, tapi aku takut
jika sedikit saja harta haram mengalir di tubuhmu ataupun buah hati kita,
bahkan jika itu sekedar keraguanku semata”. Dan, jika ia membenturkanku
pada masalah yang terkait halal haram aku sungguh tak bisa protes, selain
mendukungnya dan melewati semua yang akan terjadi kemudian.
Sebuah hal yang begitu mengharukan dan sama sekali
tidak pernah kuduga terjadi di hari kepergian kami dari kota tersebut. Subhanallah….
teman-teman yang dulu pernah dibantu suamiku berkumpul dan beramai-ramai
mengantar keberangkatan kami. Mereka juga bergantian memeluk suamiku sambil
membisikkan doa dan kata-kata penyemangat…..”insyaallah kita akan bertemu lagi”
begitu kata mereka.
“Kau lihat dek, meski tak berupa materi hangatnya persaudaraan itu memberikan kekuatan
dalam setiap langkah…” suamiku tersenyum dan perjalanan panjang kami saat itu
terasa ringan dan menyenangkan. Bahkan kami masih bisa bercanda di sepanjang perjalanan,
meski kami tak tahu setebal apa kabut masa depan yang menghadang kami.
Di tempat baru, tentu kehidupan kami tak senyaman
saat-saat dulu. Ada masa-masa jatuh bangun yang menguras air mata, dimana para
kerabat dekat tidak memberikan bantuan sama sekali, meski kamipun tak mengharap
uluran tangan mereka. Terlebih ketika mereka justru mencemooh setiap hal yang
kami usahakan.
Sungguh, aku rindu teman-teman di tempat lama. Meski
tak ada hubungan darah dan di kelilingi kehidupan yang sederhana, mereka begitu pandai mensyukuri setiap nikmat
yang mereka terima. Mereka begitu bersabar atas setiap kesulitan yang menimpa.
Hal ini
sungguh berbeda jauh dengan keadaan kami saat ini. Kami berada di tengah-tengah
keluarga, tapi tanpa rasa kekeluargaan. Kehidupan mereka yang berkecukupan
membuat mereka menilai seseorang berdasarkan materi yang mereka miliki. Dan
bagi mereka kami hanyalah sekelompok orang yang telah gagal.
Saat aku membagi kesedihan pada suamiku, ia
membawaku berkeliling dan masih tetap tersenyum suamiku berkata “jangan melihat
ke atas dek, tapi lihatlah ke bawah…”. Ia menunjuk sekolompok anak-anak yang
sedang bergelung di bawah jembatan, dengan baju lusuh dan robek-robek.
“Dibanding mereka kita masih jauh lebih beruntung, kita masih bisa makan 3 kali
sehari, punya tempat bernaung yang layak, dan punya bidadari kecil yang
menyejukkan mata kita tatkala letih menyapa”.
Sungguh, aku
tersentuh melihat pemandangan di bawah sana. Kupeluk erat buah hatiku, Ya Allah…ampuni
aku yang telah berkeluh kesah di tengah semua nikmat yang masih Engkau anugerahkan.
Di masa-masa itu silih berganti mereka, orang-orang
yang pernah dibantu suamiku bergantian menelepon, dari yang sekedar menanyakan
kabar, berbagi cerita, dan saling menguatkan bahkan yang mengejutkanku beberapa
dari mereka yang telah berhasil dengan usahanya mentransfer uang ke rekening
suamiku. Ketika suamiku berkeras menolaknya mereka berkata “ Jangan membuat
kami kehilangan kesempatan untuk membalas kebaikanmu, kami tau engkau dulu
ikhlas membantu kami tapi anggaplah ini sebagai pembayar utang kami yang dulu”.
Subhanallah…Maha
suci Allah. Sungguh kebaikan yang kita perbuat akan kembali kepada kita dalam
keadaan yang tak pernah kita sangka-sangka Lebih dari sekedar materi, bagiku dan juga
suami kebaikan yang tak seberapa ternyata mempertemukan dan mengumpulkan kami dengan saudara-saudara
seiman yang begitu berharga.
Hari-hari yang sulitpun tak lagi terasa berat, aku
mulai terbiasa dengan kehidupan baruku. Terlebih Allah tak pernah meninggalkan
kami. Selang beberapa waktu usaha kami mulai berkembang dan suamiku lagi-lagi mendapat
panggilan kerja dengan posisi baik di salah satu Islamic Bank di Indonesia.
Kerabat yang dulu menjauh dan mencemooh kini kembali
bermanis muka dan datang memuji-muji. “Sekarang kau tau dek, yang mana teman
sejati dan yang mana sekedar teman? Keluarga itu bukan seberapa kentalnya
hubungan darah, tapi keluarga adalah mereka yang menopangmu saat suka maupun
duka” suamiku berkata sambil tersenyum. Tentu sekarang aku paham kata-kata
suamiku, sama seperti kata-kata yang dulu diucapkannya saat kami akan
meninggalkan kota kami yang lama.
Kini, 6 tahun lebih kami bersama. Allah telah
menganugerahi kami 2 bidadari penyejuk mata. Sifat dan sikap suamiku masih sama
seperti dulu, bahkan beberapa waktu lagi ia akan segera resign kembali dari
tempat bekerjanya selama 2 tahun belakangan ini. Sekali lagi aku mencoba
bernegosiasi, namun suamiku masihlah sosok yang dulu dengan setiap detil
idealismenya yang terkadang mudah diucapkan namun terasa berat dilaksanakan
bila tanpa keikhlasan.
Sampai detik inipun, aku masih terus berusaha
berdamai dengan hatiku sendiri. Mendukung sepenuh hati pilihan seorang suami
yang terkadang tak sejalan dengan keinginan hati bukanlah sebuah perkara mudah.
Namun sekali lagi aku memaknainya sebagai the reviving moments.Sedikit
banyak pemaknaan tersebut membuatku bisa tersenyum lebih manis. Aku merasa jauh
lebih siap menjalani apapun surat takdir yang membentang di hadapanku. Sebuah keyakinan mulai tumbuh di hatiku, keimanan membuat kita mampu menjalani setiap hal dengan tanpa keluh.
Yang
pasti perjalanan biduk rumah tanggaku hingga hari ini memberi banyak ibrah
bagiku dan juga suami. Mendewasakan cara berpikir kami, dan membuat kami lebih
menghargai arti sebuah kebaikan seberapa kecilpun kebaikan itu.
Apapun
dan bagaimanapun kisah hidupku terjalin, hatiku meyakini bahwa setiap
detik kehidupan kita selalu membawa hikmah, dan tatkala kesyukuran telah
meniti setiap nadi kita, maka percayalah apapun itu adalah hal terbaik
yang telah ditetapkan Allah untuk hamba-hamba-NYa yang beriman.
Let's move on friends......!!!!
Ya
Allah…berkahilah keluarga kecilku, eratkan cinta di hati kami dan jadikanlah
kami hamba-hambamu yang saling mencintai semata-mata karena kecintaan kami
terhadapMu
Ya
Allah…kumpulkanlah kami dalam kebaikan yang berlipat-lipat dan jadikanlah kami
hamba-hambaMu yang pandai bersyukur atas setiap nikmatMu…
Aamiin…Allahumma
aamiin.
********