Berbanding
terbalik dengan penampilannya yang tinggi besar, dan jenggotnya yang kadang
berantakan. Bahkan dengan suaranya yang keras dan seolah seperti berteriak,
suamiku tetaplah idola bagi anak-anakku.
|
Dede rofi |
Suamiku asli putra Palembang. Keras dan tegas demikian sifatnya.
Suamiku sangat tidak suka jika mendapati anak-anakku, Amma dan Rofi menangis bombay
tidak jelas. Enyek-enyek begitu
istilahnya. Adapun aku seringkali terperdaya tangis bombay si kaka, Amma.
Sedari kecil, jika berhadapan dengan aku uminya yang tidak sabaran,
kaka selalu mengeluarkan jurus tangis bombaynya jika menginginkan sesuatu, atau
jika keinginannya lambat kupenuhi. Demikianlah jiwa emak-emak, aku sering kali tak tega, sering pula tidak sabaran
menghadapi tangisannya. Dan…taraaa, dapatlah ia dengan apa yang diinginkannya.
Terang suamiku amat sangat tidak setuju dengan sikapku itu. Itu tidak mendidik anak,
malah menjerumuskannya menjadi anak manja. Demikian keras ujarnya. Dan herannya
baik Amma maupun adiknya memang tidak pernah menangis lama-lama jika berhadapan
dengan abinya. Semula kupikir oleh takut mereka demikian. Belakangan kusadari
bagaimana suamiku memperlakukan mereka tatkala heboh menangis.
Pertama, dengan suara tegas namun tidak berteriak suamiku memanggil
dengan menyebut nama lengkapnya. “Ammatullah”. Efek dari menyebut nama lengkap
itu ternyata besar, Amma akan sedikit meredakan tangisnya “apa?” katanya. Dan
ya jalan untuk bernegosiasi terbuka. “Ingat ya, dengan menangis kaka gak akan
dapat apa-apa, sekarang berhenti menangis dan cerita yang jelas apa dan kenapa
kaka nangis” .
Kata-kata itu diucapkan dengan lembut tapi tegas. Yang bagaimanapun
mencoba, aku tak pernah bisa menirunya. Suara cemprengku lebih sering terdengar
laksana omelan menyebalkan ketimbang suara lembut nan menenangkan. Kurasa
kharismanya itu bawaan orok. Tak bisa ditiru. Hufff….
Haa, herannya dengan segera Amma akan berlari ke pelukan abinya. Dan
dengan manja bercerita ini itu, atau meminta ini itu. Semua permintaannya tidak
melulu dipenuhi. Tapi selalu percakapannya dengan abinya memberinya kepuasan.
Bahkan hal ini berlaku pula pada adiknya, Rofi yang bahkan belum genap berusia
2 tahun. Suamiku mengajaknya bicara seolah-olah menghadapi anak yang sudah
besar. Benar-benar di ajak bicara. And
its work….!
Lain lagi jika menyangkut kekerasan. Amma, putriku yang bertangan
ringan. Ringan memukul orang lain maksudnya. Aku yang sudah kehabisan ide dan
akal untuk menanganinya, terbelalak kaget. Bagaimana tidak, setiap aku
bercerita kepada suamiku tentang kelakuan Amma di hari itu yang berkaitan
dengan tangan ringannya. Dengan tertawa suamiku akan memanggil Amma. “Kenapa
kaka? Mau goco-gocoan ya? Sini sama
abi”. Maka, dengan heboh mereka akan bermain tinju-tinjuan. Sambil tertawa
terkekeh-kekeh yang tak akan berhenti sebelum aku mengomel panjang lebar.
“Ingat ya kak, kalau mau main begini sama abi aja, jangan sama yang
lain. Kalau abi gede jadi kuat. Gak semua orang suka main tinju-tinjuan.
Apalagi umi, pasti langsung ngomel kalau kaka tinju-tinjuan” Mereka tertawa
bersama, dan dengan lantang Amma akan berteriak
“Iya bi…”. Huh….. alangkah manisnya Ia di depan abinya.
“Yang sabar dek, Amma gak
jahat kok, itu caranya ingin bermain. Diluruskan aja pelan-pelan” petuah
suamiku lembut, Haaa…kusadari yang kurang bukan Amma tapi kesabaranku yang ternyata
sangat terbatas. Tak mampu mengikuti semua keaktifannya.
Eit, jangan dikira dengan semua kelembutan dan ketenangannya itu Suamiku
tak bisa marah. Hohoho, justru saat marahnya adalah saat–saat jarang yang
begitu dihindari anak-anakku.
Ada suatu waktu, keletihan begitu mendera suamiku setelah
perjalanan panjang dari tugasnya. Setibanya di rumah kerusuhan yang ditimbulkan
Amma menyambutnya. Amma baru saja berulah yang menyebabkan sepupunya benjol
biru dan lebam. Saat aku menasehatinya, Amma justru marah dan mengamuk-ngamuk.
Di moment itulah abinya datang. Dan suamiku paling tidak suka jika anak-anak mengamuk hingga menyakiti aku, uminya. Dengan wajah memerah menahan amarah, suamiku
melipat koran bekas. Dengan Koran itulah Ia memukul kaki Amma. Tidak keras,
tidak meninggalkan bekas “Kalau bermain tidak begitu caranya, kalau melukai
orang lain itu jahat namanya. Abi tidak suka. Allah lebih tidak suka”. Demikian
kata-kata suamiku.
Sambil menangis tersedu-sedu dan menahan takut menurutku, Amma mengangguk kuat-kuat. “Dengerin umi, sayangin
umi, gak boleh pukulin ummi lagi’ ujar abinya lagi. Akulah yang pada akhirrnya
tak tega, maka dengan cepat aku melerainya dan memeluk Amma. “Tuh liat, betapa
umi menyayangi Amma” ujarnya lagi. Sambil menangis sesenggukan dalam pelukanku Amma
meminta maaf.
|
Kaka Amma |
Lebih dari itu semua, kemarahan abinya adalah shok terapi baginya.
Dibandingkan aku yang setiap saat marah-marah, tentu kemarahan abinya yang
sangat langka itu begitu membekas di hatinya. Amma bahkan tak bisa tidur
sebelum yakin bahwa abinya sudah tak marah lagi padanya. Dengan takut-takut ia
kan mendekati abinya dan mengulurkan tangan meminta maaf.
Suamiku tak langsung memaafkannya. Suamiku akan bertanya “Amma tau
kenapa abi marah?”. “Iya bi….” Maka Amma akan melakukan sebuah pengakuan dosa.
Jika sudah demikian barulah abinya akan memeluk dan menciuminya. Tentu saja
dengan petuah lembut untuk tak lagi mengulanginya. Mmmm...lagi-lagi aku belajar kapan harus bersikap lembut dan kapan harus menunjukkan kemarahan.
***
Dalam bincang-bincang ringan aku dan suamiku, barulah aku tahu
alasan di balik semua sikap lembut namun tegasnya. Tumbuh dalam lingkungan dan
adat yang keras, membuatnya tidak asing dengan kekerasan. Suamiku bahkan pernah
membuat bocor kepala teman bermainnya saat seusia Amma.
Menurutnya, ibunya yang saat itu memarahinya habis-habisan membuat
perasaannya terluka. Tanpa bertanya apa dan mengapa Ia berlaku demikian.
Padahal anak kecil juga punya hati dan perasaan. Dan ayahnya lah yang berlaku
adil dan membelanya. Bukan kesalahan yang harus dibela. Tapi tidak menyudutkan
anak sehingga Ia mau mengakui sebuah kesalahan, itu poin pentingnya.
Aku mengangguk-angguk paham. Dan dari suamikulah aku belajar
kekuranganku sebagai ibu dalam mendidik anak-anakku. Bagaimana memadukan
kelembutan dan ketegasan dalam pola pengasuhan. Ternyata, tidak hanya bagi
anak-anak, namun bagikupun suamiku adalah sosok idola yang membanggakan.
He is really a great dad!!!