Meski mulai banyak muslimah bercadar di Indonesia, tak sedikit pula yang masih memandang sinis dan menjadikan cadar sebagai bahan ejekan atau candaan. Yang lebih menyakitkan muslimah bercadar dikait-kaitkan dengan teroris atau ajaran sesat yang menyimpang.
Allahu Musta'an.
Referensi pihak ketiga
Adalah Mambaus Sholihin, salah satu pesantren NU yang diasuh oleh KH Masbuhin Faqih, di Kabupaten Gresik. Ada pemandangan tak lazim di kalangan pesantren NU yang ternyata berlaku di sana. Para santriwatinya diwajibkan bercadar saat keluar pondok untuk menghindari fitnah.
Tentu saja, pada saat aturan ini baru-baru diterapkan para santriwati merasa sedikit keberatan dan tak biasa. Namun, setelah memahami adanya kebaikan dalam aturan tersebut, mereka bisa menerimanya. Tapi tidak dengan Laila (bukan nama sebenarnya).
Laila tidak mau memakai cadar. Ia dengan berani beradu argumen dengan para ustadz dan ustadzahnya apa gunanya memakai cadar. Menurutnya wajah bukan aurat yang harus ditutupi. Jika kemudian wajahnya menjadi fitnah bagi laki-laki yang memandangnya, maka itu urusan laki-laki tersebut yang tidak menundukkan pandangan dan menjaga hatinya.
Maka, hingga hari kelulusan dari pesantren, Laila tetap menentang kebijakan bercadar yang diterapkan pondok pesantrennya. Sebenarnya teman-teman Laila yang lain pun memahami cadar sebatas kebijakan pesantren untuk lebih menjaga mereka. Maka tak heran, sepulangnya mereka ke kampung halamannya, mereka tak lagi memakai cadar seperti sebelumnya.
Referensi pihak ketiga
Beberapa tahun kemudian, pesantren menggelar temu alumni. Para santriwati berdatangan dan saling melepas kangen, tak terkecuali teman-teman Laila. Meski bertahun berlalu, mereka masih saling mengenali, tentu saja mereka kini tak lagi mengenakan cadar. Namun, di antara reuni itu terdapat seorang wanita bercadar, yang membuat mereka bertanya-tanya, siapa gerangan dia.
“Aku Laila” jawab suara dari balik cadar. Suara itu tidak asing bagi mereka, benar-benar suara Laila yang mereka kenal dulu sangat keras menentang cadar. Tentu saja mereka sangat terkejut, “Masya Allah, Laila! kamukan dulu menentang cadar, sekarang malah memakainya.”
“Ya, aku dulu menentang cadar karena bertentangan dengan pemahamanku. Sekarang aku memakai cadar karena aku memahami hikmahnya.” ujar Laila.
Rupanya, selepas pondok. Laila berjodoh dengan seorang ikhwan dengan pemahaman yang baik. Mereka menikah, dan ikhwan ini berhasil mengubah pandangan Laila terhadap cadar. Maka, jika ia dulu membencinya, Laila kini justru menjadi satu-satunya alumni pesantren yang memakai cadar dalam kehidupan sehari-harinya.
“Berarti kamu ini kualat, dulu suka menentang cadar. Ustadz dan ustadzah mendoakanmu mendapatkan hidayah dan kini kamu akhirnya cinta sama cadar,” kata salah seorang teman Laila dengan nada bercanda.
Referensi pihak ketiga
Mengenai cadar dan penutup wajah sejenisnya, ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya, antara mubah, sunnah, dan wajib. Namun, kisah ini saya tuliskan bukan untuk memperdebatkan pendapat mana yang paling rajih.
Melalui kisah ini, kita bisa mengambil hikmah bahwa Allah maha membolak-balikkan hati. Wanita yang dulu sangat keras menentang cadar, akhirnya mencintai cadar. Hal ini tentu berlaku pada hal-hal lainnya.
Lepas dari perbedaan setiap muslim memandang hukum cadar, hendaknya kita saling menghormati perbedaan pendapat yang diyakini masing-masing orang. Mengedepankan toleransi dan saling berlapang dada atas perbedaan pada masalah khilafiyah.
Semoga kita mengambil hikmah.
---
Artikel ini terbit pertama kali di UC News Pada akun
Sara Amijaya