Setiap daerah memiliki keunikan bahasa masing-masing. Jika
pulau jawa terkenal dengan bahasa Jawanya, Pulau Sulawesi terkenal dengan dialek
bugisnya, dan pulau Sumatra terkenal dengan logat Melayunya. Maka Kalimantan
tentu terkenal dengan bahasa Banjarnya. Oh ya, tentu itu hanya kesimpulan saya
semata. Karena kebetulan saja itulah bahasa yang dipergunakan teman-teman saya
yang berasal dari 4 pulau besar tersebut.
Saya sendiri merupakan penduduk Indonesia yang merupakan asil
perpaduan berbagai daerah. Ayah saya keturunan Bugis-Dayak Paser, Ibu saya
keturunan Madura-Banjar. Saya???????? Saya lebih senang mendeklamasikan diri
sebagai WNI Asli. Saya yang sudah merupakan keturunan berbagai campuran suku
itu ternyata memiliki taqdir menikahi
seorang keturunan Palembang-Sunda. Jadi ya….darah keempat pulau besar di
Indonesia dengan tenang berasimilasi di keluarga kami.
Tapi jika kemudian kalian mengira saya menjadi sangat ahli
dalam berbagai bahasa daerah tersebut, ooo sayang sekali tebakan anda itu tidak
tepat kawan. Sebenarnya hanya kurang tepat. Karena pada dasarnya saya mengerti
kesemua bahasa tersebut, hanya saja lidah saya kagok jika harus melapalkan setiap bahasa daerah
tersebut. Maka, jadilah saya hanya sangat fasih berbahasa Indonesia.
Tahukah kalian kawan, setiap bahasa memiliki keunikan
tersendiri. Hanya saja saya lebih suka mengangkat kisah tentang bahasa Banjar.
Mengapa? Karena saya merasa sebagai bagian yang cukup bertanggung jawab atas
tidak familiarnya bahasa ibu yang satu itu. Anggap saja tulisan ini membayar
rasa bersalah saya atas suatu masa di mana saya merasa malu menggunakan bahasa tersebut.
|
Picture powered by google |
Bagaimana tidak, saya, kakak saya, adik saya, sepupu-sepupu
saya memilih untuk sama sekali tidak kuliah, jika ternyata harus kuliah di
Banjarmasin. Alasannya bukan karena universitas di sana tidak bagus, tidak sama
sekali tidak. Justru Universitas Lambungmangkurat di Banjarmasin adalah salah
satu Universitas Negri yang cukup bagus di daerah Kalimantan. Alasan kami
menolak ke sana semata-mata kekhawatiran atas dialek banjar yang akan cepat
menular bahkan hanya dengan sehari keberadaan kami di sana.
Ya saat itu saya dan juga kesemua saudara-saudara, serta
masih banyak pemuda-pemudi lainnya sangat malu jika kedapatan berbahasa Banjar.
Entah apa yang salah, saya juga tidak mengerti. Pokoknya adik saya
menyimpulkannya sebagai sesuatu yang tidak keren. Jika toh menggunakan bahasa
tersebut, kami menggunakannya untuk saling mengolok satu sama lain. Bahkan Ibu
saya yang meski sejak menikah tidak lagi tinggal Di banjar namun bahasa
Indonesianya masih sangat kental dengan bahasa Banjar, seringkali menjadi bahan
candaan kami, anak-anaknya. Bagaimana tidak lucu, beliau yang guru Bahasa
Indonesia kerap kali mengatakan telor menjadi talur, radio jadi radiu, terong
menjadi tarung. Dan banyak lagi kata-kata lucu lainnya.
Padahal, taukah kalian kawan bahwa bahasa Banjar merupakan
salah satu bahasa dominan di Indonesia. Sekaligus merupakan turunan bahasa yang
bermuara dari bahasa melayu. Mmmm….bagaimana ya, bahasa Banjar itu sebenarnya
sangat mudah untuk ditiru cukup dengan menguasai bahasa Indonesia, karena
kemudahannya itulah logat Banjar ini juga cepat sekali menyebar, atau menular.
Begitu Istilah kami. Dan kami saat itu merasa bahwa logat banjar itu jauh dari
keren. Bagaimana tidak bahasa banjar itu tidak punya Vokal “e” dan “o”. Ya
seperti perubahan kata-kata oleh ibu saya tadi. Plus dengan logat yang agak
melayu-melayu gimana gitu.
Sepengatahuan saya bahasa Banjar dipergunakan oleh Suku Banjar yang mendiami
hampir seluruh Wilayah Provinsi Kalimantan Selatan. Yang kemudian tersebar
secara luas sampai ke daerah – daerah pesisir Kalimantan Tengah , Kalimantan
Timur, Sumatera seperti di Muara Tungkal, Sapat dan Tembilahan juga di daerah –
daerah Negara Malaysia. Bahasa Banjar ini menyebar dibawa oleh para perantau dari
Banjar, yang sebagian besar merupakan
pedagang ulung.
Bahasa Banjar mempunyai dua dialek, yaitu :
1. Dialek Bahasa Banjar Kuala,
yang umumnya dipakai oleh penduduk sekitar Banjarmasin, Martapura dan
Pelaihari.
2. Dialek Bahasa Banjar Hulu, seperti di daerah – daerah Tapin, Hulu Sungai
Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Balangan dan Tabalong. (ibu
saya biasa menggunakan dialek ini karena berasal dari daerah HSU)
Saya memberikan contoh Perbedaan kedua dialek tersebut dari beberapa kosa kata seperti
berikut:
Banjar Kuala Banjar Hulu
kawa .................................. hingkat = dapat
mau ................................... hakun =
mau, ingin
gasan ............................... . hagan =
untuk, buat
jalan .................................. lalah, jaap = jalan
pingkut .............................. cakut =
pegang
gusang ............................. . hangit =
hangus
pangasit ............................ pamalar
= kikir
unda .................................. aku
= saya
nyawa ............................... ikam
= kamu
Sebahagian
besar perkataan dalam Bahasa Banjar sama dengan Bahasa Melayu. Begitu pula
penggunaan awalan seperti di, ber, ter, men, meng, dan akhiran seperti kan, an dan
sebagainya. Perbedaan yang nyata hanyalah dari segi pelapalan. Bahasa Banjar
menggunakan vocal “a” untuk menggantikan “e” seperti
kalihatan(kelihatan), handak(hendak) dsb. Juga mengganti vocal “o” menjadi “u”,
seperti kata saya di awal tulisan, bahasa ini tidak memiliki vocal “e” dan “o”.
Bahasa
Banjar juga menggunakan awalan 'ber' , 'ter' , 'me, men, meng' yang kemudia berubah menjadi 'ba',
'ta',
'ma'
seperti 'bersedih'
disebut 'basadih',
'memberi'
disebut 'mambari'
, sementara akhiran 'kan' kadangkala disebut 'akan'
contohnya 'mendengarkan'
jadi 'mandangarakan'. Duh,
alangkah hancurnya bahasa Indonesia kami, ya begitulah pemikiranku dulu.
Kemudian aku menjadi tersadarkan ketika seorang Widya Iswara
yang kebetulan menjadi traineer kami dalam suatu diklat dengan lincahnya
berbahasa Banjar, padahal ia adalah seorang asli Jawa. Memahami
ketidakpercayaan kami Ia berkata: “Kenapa kaget???? Saya heran dengan orang
muda di sini, mengapa malu berbahasa Banjar? Coba lihat kami orang Jawa sangat
bangga dengan bahasa Jawa, bahkan anak-anak kecil kami di rumah selalu di ajari
bahasa ibu kami. Dan kalian liatlah berapa banyak orang Jawa yang berada di
Kalimantan ini, di manapun dan kapanpun mereka dengan bangga menggunakan bahasa
Jawa. Saya ingin semangat orang-orang Jawa ini juga menular bagi pemuda-pemudi
Kalimantan. Hidup bahasa banjar!!!” Ia mengucapkannya dengan berapi-api dan diselingi
bahasa Banjar yang tentu terdengar semakin aneh dengan logat jawanya yang
sengaja dimunculkannya. “Jika saya yang orang Jawa saja merasa bangga
menggunakan bahasa Banjar? Mengapaka kalian yang asli Kalimantan justru malu
menggunakan bahasa ini?”
Dengan berbekal kata-kata tersebut saya tergerak mencari
tahu, mengapa sih bahasa Banjar itu tidak punya vocal “e” dan “o” sehingga
terdengar sanggat janggal. Ternyata urang banjar sejak dulu kala dalam menulis
menggunakan Arab gundul, sehingga bahasa sehari-hari merekapun menyesuaikan
dengan penuturan Arab gundul itu.
Saya tertegun karena baru menyadari hal ini. Saya kemudian
merasa iseng mengambil buku-buku lama milik ibu saya. Buku-buku bertuliskan
dengan huruf Arab gundul. Berlahan-lahan saya mulai membacanya, duh ternyata
itu sama sekali bukan bahasa arab saudara-saudara. Itu adalah buku syair
nasihat dalam bahasa banjar. Hanya saja orang dulu, kai nene saya juga
buyut-buyut di atasnya tak bisa menulis dengan alphabet seperti masa kita kini.
Mereka hanya bisa membaca dan menulis huruf Arab gundul tersebut.
Akhirnya mau tak mau saya tersenyum ketika membaca tulisan
seorang kawan di salah satu blognya”
“Pakayian dan paninian kami dalam data kaluarga 50 tahun nang lalu
disabutakan buta hurup, tapi amun sidin
membaca tulisan arab gundul … wah … harat dan hancap pang sidin … nang
anum-anum kada bisa mambaca nang gundul
itu … Jadi siapa nang buta huruf pang ?
Transletnya
kira-kira begini: “Para kai-kai dan nenek-nenek kami dalam data keluarga
50tahun lalu disebutkan buta huruf. Tapi ternyata jika beliau membaca tulisan
arab gundul wah hebat dan cepat sekali mereka. Yang muda-muda ternyata tidak
bisa membaca yang gundul itu. Lalu siapa yang sebenarnya buta huruf?”
Bahasanya
tampak mirip dengan bahasa Indonesia bukan? hanya saja dialek khasnya itu yang
kata adik saya membuat kita tampak tidak keren. Tapi kini saya berhasil
meyakinkan adik saya bahwa bahasa banjar itu juga keren. Bahasa Banjar juga tak
kalah gaul dengan bahasa ibu manapun. Dan yang pasti bahasa Banjar juga merupakan salah satu asset negara yang paling Indonesia.
Tapi, lama tak
pulang ke kampung Ibu di banjar, terus terang saya kagok harus menggunakan
dialek banjar lagi. Sekali-kalinya saya menggunakan dialek itu, adik saya
terpingkal-pingkal. Katanya, dialek saya sudah kental dengan nuansa
Palembangnya. Duuuh……saya cuman bisa nyegir deh.
****
tulisan ini diikutkan pada lomba blog paling Indonesia yang diadakan oleh angingmammiri.org