Ibu itu bukan manusia sempurna, tapi beliau wanita
istimewa. Madrasah pertama yang mengenalkanku pada dunia, dan mengajarkanku
menghadapi suka duka. Ibu itu bukan manusia tanpa salah, tapi beliau wanita
yang siap mengasuh dengan merasai lelah dan payah. Ibu itu adalah kebesaran
cinta, yang mengantarkanku hingga dewasa…..
“Mama sengaja nggak pernah mengingatkanmu
untuk belajar atau memberi jam khusus untuk belajar. Karena mama ingin kamu
paham, bahwa belajar itu untuk kamu sendiri bukan untuk mama. Belajar itu nggak
semata untuk rangking 1 tapi agar kamu mengetahui banyak hal. Agar kamu lebih
siap menjalani hidup dan mengatasi berbagai permasalahan yang mungkin kamu
hadapi kelak.”
Mama berkata santai seolah tahu aku sedikit
menyalahkannya saat posisi juara satu yang biasa kudapatkan bergeser ke posisi
dua di salah satu masa ketika aku masih berseragam biru putih. Aku iri melihat
teman-teman yang dikawal ketat proses belajarnya oleh orang tua mereka. Sementara
mamaku yang justru seorang guru, sekalipun tak pernah bertanya atau peduli
apakah aku sudah belajar ataukah banyak bermain setiap harinya.
Kata-katanya berlahan-lahan meresap ke sudut
hatiku. Membuatku entah mengapa tiba-tiba terbayang proses kehidupan mama yang sulit.
Aku tahu perjuangan mama untuk bisa sekolah.
Ikut bekerja dan tinggal dalam keluarga tentara yang berbaik hati menampungnya.
Ayahnya yang sudah tiada dan ibunya yang papa tak pernah menyurutkan tekadnya
untuk belajar. Sebagai seorang siswa,mama adalah siswa yang biasa-biasa saja. Tapi
ia bersekolah tak semata mencari gelar juara, ia sedang menimba ilmu kehidupan.
Ilmu yang menopangnya menjalani hari-hari yang tak bisa dibilang mudah.
Menikah
dengan putra sulung dari keluarga yang cukup berada dan di segani dari daerah
berbeda, suku berbeda, adat dan budaya berbeda, bukan hal mudah. Sama sekali
bukan.
Aku tumbuh, dengan melihat mama yang berjuang
keras beradaptasi di tengah-tengah keluarga besar ayahku. Mengurusi kelima adik
ayahku dan juga orang tuanya. Melayani mereka, memasak, mencuci, dan semua
pekerjaan rumah tangga lainnya, bahkan di tengah-tengah kesibukan beliau
sebagai seorang guru di salah satu SMP Negeri di kota kecil kami.
Mama yang tidak hanya sekali dua kali
kujumpai menangis menghadapi perkataan dan sikap beberapa keluarga yang “memandangnya
sebelah mata” menjalani hari-hari beratnya dengan ikhlas. Tak banyak mengeluh,
tak pernah membalas, dan seringkali justru masih sanggup tersenyum tulus. Hal
yang masih terus berlanjut meski satu persatu adik-adik ayahku pada akhirnya
berkeluarga dan memeberi 5 menantu wanita lainnya di keluarga besar tersebut.
Mama tetaplah menjadi “tumpuan” dan mendapati dirinya lebih banyak menghabiskan
waktu untuk menjaga, menemani, dan memenuhi keinginan orang tua suaminya yang kian
uzur.
Adalah aku, yang menghabiskan masa kecil
dengan bahagia. Mengenyam pendidikan hingga bangku sarjana dengan mulus dan
tanpa banyak usaha mendapatkan beasiswa prestasi di sana sini. Mengenal cinta,
dan qodarullah menikah dengan seorang pria dari luar pulau, suku berbeda,
budaya berbeda.
Aku sempat menjalani masa hidup bersama
keluarga suamiku. Dan sungguh aku teringat mama. Baru aku tahu betapa luar
biasanya mama. Betapa beliau memiliki hati seluas samudera tatkala menjalani
proses adaptasi budaya yang begitu berbeda.
Beradaptasi dengan suami tak terasa begitu
sulit karena dengannya lah aku berkomitmen membagi sisa kehidupanku. Tapi
beradaptasi dengan keluarga besar, dengan semua perbedaan adat dan budayanya,
bagiku itu luar biasa. Aku tak siap dengan sikap dan perkataan spontan mereka
yang seringkali menyesakkan hati dan menggulirkan titik-titik bening di sudut pipi.
Aku kesulitan, sangat kesulitan menyesuaikan gaya hidupku yang kampungan dan
apa adanya dengan mereka yang sangat “kota” dan menilai produktifas dengan
materi.
Maka kucari-cari kemanapun dari setiap sudut
literasi pembelajaran formalku, aku tak menemukan solusi atas kepahitan yang
kujalani.
Tapi, pada mama, mengingat hari-hari berat
yang pasti juga pernah dilalui mama aku mengambil ibroh. Meski menangis, tak
menyimpan dendam dan amarah adalah kunci kebahagiaan. Tak peduli sebanyak apa
kesedihan dan kepahitan yang terjalani, berhasil memenangi rasa sakit hati
adalah kemenangan terbesar yang insyaallah menjadikan kita lebih bijak dalam
menyikapi berbagi situasi.
Ketika akhirnya pulang ke kampung halaman,
aku menemui ibuku masih dengan rutinitasnya yang tak berbeda jauh. Ia masih
dengan setia memenuhi ini itu kemauan
nenek yang kini semakin uzur dan tentu semakin rewel, terlebih sepeninggal kai.
Dan, padaku mama berucap, “Mama berharap, kelak tua tak akan
menyusahkan kalian. Tapi jika Allah masih memberi waktu hingga pikun dan lemah menyerang
mama, semoga kebaikan tak seberapa ini akan kembali pada mama lewat kalian,
anak-anak mama…”
Duh mama, keikhlasanku jauh tertinggal dari mama, kasih sayangku padamu tentu
tak akan sanggup menyamai sedikitpun kasih sayangmu padaku. Karenanya mama,
izinkan aku menutupi semua kekuranganku dengan lantunan doa-doaku untukmu. Semoga Allah senantiasa memberkahi sisa usiamu
dan mengampuni setiap khilaf dan salahmu.
Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan: Hati Ibu Seluas Samudera.