Sebagai ibu 3 orang anak, aku sangat
menyadari masa kanak-kanak adalah masa bermain. Bagi kanak-kanak permainan
merupakan pekerjaan serius. Karenanya sebisa mungkin aku mendidik mereka dengan
permainan yang menyenangkaan. Maka aku mengajarkan mereka tentang kewajiban
dengan kesenangan bermain sebagai salah satu reward.
Saat ujian tengah semester kemaren,
di hari pertama aku menungguinya belajar. Melarangnya menonton TV, juga
mengambil ipad-nya. Saat itu ia hanya diam dan masih bersemangat belajar. Di
hari kedua, ia memasang wajah perang. Menolak belajar sama sekali. “Capeeek
tau, apa-apa harus ada syaratnya. Gak boleh main keluar, ipad juga diambil, mau
nonton aja harus pake belajar dulu” akhirnya keluhan itu keluar juga.
Aku hanya tersenyum, mengembalikan
ipad-nya, dan mengizinkannya menonton TV atau bermain ke luar. Sesaat rasanya
ingin tertawa melihat ekspresi tak percayanya. “Ummi ingin kaka belajar dengan
kesadaran kaka sendiri, Ummi gak mau liat kaka jutek melulu” ujarku padanya
saat itu. Dan begitulah UTS kemaren sukses dilaluinya dengan hanya belajar di
hari pertama.
Saat pembagian rapot, dengan antusias
ia menunjukkan nilai-nilainya padaku. Nilai yang beragam dari 100 hingga 76.
Maka kami pun membahas nilai-nilai tersebut.
“Kaka liat nilai 100 ini, yang
sebelumnya kita belajar bersamakan? Yang lainnya kaka belajar gak?”
“Mmmm…gak sih mi, Amma lupa jawaban
soalnya pas ujian itu”
Sambil tersenyum aku berkata “Rasanya
lebih senang mana dapat nilai 100 atau cuman 80 atau 76?”
“Ya lebih senang dapat 100 dong mi…”
jawabnya cepat.
“Berarti….” Aku tak meneruskan kalimatku karena
dengan lugas ia meneruskannya “Kaka harus belajar dulu baru nonton TV, harus
ngaji dulu baru main ipad, setoran hafalan jangan lupa…. Ya…ya…ya…”. Mau tak
mau aku tersenyum lebar, sebenarnya ummi tidak membutuhkan nilai 100-mu sayang,
Ummi hanya ingin kamu mengerti akan kewajiban dan tanggung jawab.