Judul :
Kisah cinta Insan dan Kamil
Penulis :
Kinoysan
Penerbit :
Mutiara Media
Tahun terbit :
2011
ISBN : 979-878-109-0
Sinopsis buku:
"Kamu benar-benar keterlaluan, Insan. Saya tidak
bisa tolerir perbuatan kamu. Mulai malam ini kamu saya skors satu bulan!"
teriak Kamil dengan kemarahan yang meluap. Bintang dan Bella terlihat puas
mendengar keputusan Kamil. Insan sampai menangis menerima keputusan yang
sepihak itu. "Saya tidak melakukan kesalahan, Pak Kamil..."
Sebuah
novel ringan yang sangat menghibur, khas Kinoysan, dengan cerdas meramu
rangkaian cerita menjadi menarik untuk ditelusuri lembar demi lembar.
Menggambarkan lika-liku kehidupan cinta Insan dan Kamil. Menyajikan dengan
cantik sebuah pertanyaan yang selalu menggelayut dalam sanubari kita: Pada sisi
mana takdir Allah akan berpihak?
=====================================
“Dengan
lincah dan cekatan Insan memoles wajahnya yang segar. Dia mengoleskan lipstick
merah ceria. Gerakan tangannya pasti dan terampil. Ia memasangkan seluruh
aksesoris yang ada pada tempatnya. Terakhir, mengenakan cincin berlian di kedua
jari manisnya. Tak lama jemari lentiknya menyambar syal sutra yang lembut dan
cantik…” (hal 8)
Membaca paragraf
di atas, seperti apa kawan membayangkan sosok Insan??? Kalau aku jelas
membayangkan sosok wanita karier yang gaul, trendy, stylist, high class gitu deh. Dan jika ternyata
belakangan disebutkan bahwa Insan adalah seorang hafidzah. Hafal 30 juz
Al-Qur’an. Wow….sejujurnya entah aku harus takjub atau geleng-geleng kepala,
luar biasa sekali imajinasi penulisnya ya.
Jadi
singkatnya, novel ini mengisahkan lika-liku kisah cinta Insan, seorang desainer
jenius yang mengepalai tim kreatif dan Kamil, big boss Insan di perusahaan
tersebut. Di perusahaan tersebut ada pula Bintang, pacar Insan selama 5 tahun
yang akhirnya berselingkuh dengan Bella, rekan kerja Insan yang selalu iri
dengan pencapaian karier Insan.
Ketika
Insan patah hati, Kamil mulai tertarik pada Insan yang smart dan santun. Insan
yang masih belum bisa melupakan Bintang, dan terhantui bayangan Pingkan (mantan
tunangan Kamil) merasa belum mantap
sehingga terus menunda pinangan Kamil.
Pada
dasarnya novel ini asyik untuk dinikmati. Gaya bertuturnya lincah, ceria.
Ringan dan menghibur. Persaingan keras di tempat kerja, persahabatan dan
pencarian cinta sejati, dikisahkan dengan cukup menghibur. Seharusnya novel ini
bisa menjadi novel yang “dalam”, ketika berlahan-lahan para tokoh utamanya
digambarkan merindukan kehidupan yang lebih baik secara spiritual. Insan yang
akhirnya memutuskan berhijab. Kamil yang ternyata dulunya “ikhwan” dan kini
merindukan kembali masa-masa itu dan ingin membaktikan dirinya pada dakwah.
Yang akhirnya membangun masjid di desa sebagai pusat dakwah dan
menguatkan perekonomian masyarakat setempat dengan bantuan modal terhadap
pengusaha-pengusaha kecil.
Yang
sungguh-sungguh kusayangkan adalah “paksaan” penulis untuk membuat para
tokohnya benar-benar menjadi “islami”.
Bayangkan
saja, meski seorang desainer yang berkiblat pada mode di italia dan paris yang
juga memiliki butik lingerie ternyata Insan ini seorang hafidzah.
Hafidzah
itu bukankah seorang penghafal Qur’an, orang yang harus senantiasa menjaga
hafalan Qur’annya. Jadi bagaimana mungkin bisa seseorang menjaga hafalannya
dengan beban kerja yang dikejar deadline, yang mengharuskannya lembur hingga
malam. Waktu luangnya dipakai menonton kartun, membaca buku, atau membuat
sketsa desain. Baru berhijab saat sudah hafal 30 juz, berpacaran hingga 5
tahun, berdua-duaan dengan muhrimnya, dll. Begitulah hafidzah yang digambarkan
penulis dalam buku ini? Bagaimana membuat tidak miris….
Demikian
pula dengan Kamil, bos perusahaan fashion besar. Yang hidupnya dikelilingi para
model, yang patah hati karena ditinggal tunangannya, yang sholat seingatnya
saja (diterangkan dalam novel) ternyata ujung-ujungnya adalah seorang hafidz.
Bagaimana mungkin sodara-sodara?????
Pun para
hafidz/hafidzah di novel ini bekerja di bidang fashion yang berkiblat pada mode
di Itali dan Paris, bisa dibayangkan baju-baju seperti apa yang mereka produksi
dan pasarkan.
Terkaitan
hafidz/hafidzah inilah novel ini terasa menjadi dangkal dan dipaksakan. Sungguh
aku khawatir jika para kawula muda membacanya dan menangkap pesan moral dalam
novel ini sebagai: boleh saja tidak
menutup aurat, boleh saja berpacaran, asal kelakuan tetap baik, syukur-syukur
bisa jadi hafidzah.
Tetapi
mungkin saja, maksud penulis adalah : “Semua orang, siapapun dia asal ada kemauan bisa
jadi hafidz/ah. Dan jangan lupa Hafidz/ah itu juga manusia”.
Tetapi yang dilupakan penulis adalah, sesungguhnya menjadi hafidz Qur’an itu
tidak mudah sekaligus memiliki konsekuensi moral yang berat
Meskipun
fiksi, sungguh mengecewakan jika bergeser terlalu jauh dari fakta. Terkecuali
jika fiksi tersebut sekaligus fiksi fantasi, maka no offense deh…