Tak terasa sudah
setahun lebih, kami bermukim di tempatku lahir dan tumbuh besar. Sebuah kecamatan kecil di ujung Kalimantan
Timur. Adalah tadir yang menetapkan aku diterima bekerja di tanah kelahiranku
setelah 5 tahun berkeliling mengikuti suamiku mutasi dari satu daerah ke daerah
lainnya. Maka, kali ini menjadi giliran suamiku yang mengurus mutasinya untuk
pindah mengikutikuJ.
Suamiku berasal
dari kota besar Palembang. Dan tentu bukan hal mudah baginya ketika ikhlas
menyertaiku ke pelosok Kalimantan. Sebuah daerah kecamatan yang jelas sangat
berbeda dengan hiruk pikuk kota Palembang. Kota kecilku minim hiburan ataupun
tempat rekreasi. Dengan cepat Kejenuhan
melanda suamiku yang memang dari
sononya
berwatak
moody.
Tahun ini kami sepakat
memutuskan untuk tak pulang ke Palembang. Selain karena aku tak mendapat cuti,
biaya pulang pergi jelang lebaran tentu meroket tinggi. Sebagai konsekuensinya
suamiku memintaku membuatkannya mpek-mpek, salah satu jajanan khas Palembang
yang menjadi pavoritnya.
Dengan senang
hati kuterima konsekuensi itu. Apalah susahnya membuat mpek-mpek pikirku saat
itu. Terlebih 2 tahun bermukim di Palembang membuatku mendapat warisan resep
dari ibu mertua. Maka tanpa banyak kesulitan suatu sore aku berhasil
menghidangkan mpek-mpek pada suami dan anak-anakku. Setelah mencicipinya suamiku terdiam lama,
tentu aku menjadi deg-deg plas apa
segitu tidak enaknya pikirku. Dengan tak sabar aku mengguncang lengannya
“gimana bang?” tanyaku was-was. Jawabannya sungguh tidak pernah aku duga “Dek
mulai Ramadhan kita buka warung mpek-mpek”. Dueeeng….masih mencerna aku
bertanya lagi “ itu artinya mpek-mpek buatanku enak?” Tak menjawab suamiku dan
anak-anak asyik memakan mpek-mpek tersebut sampai tak bersisa.
Waktu berlalu,
aku melupakan pernyataan suamiku saat itu. Beberapa hari menjelang ramadhan
suamiku tampak sibuk sekali, memesan lemari kaca, membuat meja dan lain-lain.
“Untuk apa?” tanyaku kemudian. “Ya untuk jualan mpek-mpek lah “ jawabnya
santai.
Huaaa….ternyata
ia bersungguh-sungguh, harusnya aku sudah menduga karena memang seperti itulah
suamiku. Sejujurnya aku sedikit keberatan, membayangkan setiap kerepotan
membuat mpek-mpek ditengah jadwal kantor yang tidak libur di saat Ramadhan. Wah
benar-benar nggak deh. Tambah lagi di
daerahku mana ada ikan giling yang siap olah seperti saat di Palembang dulu.
Untuk membuat
mpek-mpek tentu aku harus membersihkan ikan, memisahkan daging, kulit dan
tulangnya sendiri untuk kemudian menggiling daging ikan tersebut. Bagian yang
memamakan waktu dan tidak aku sukai, terlebih ketika sedang berpuasa. Dengan mode on cemberut aku menyatakan
ketidaksetujuanku.
Akhirnya suamiku,
sebagai pencetus ide yang tetap kukuh dengan idenya itu mengambil alih penanganan ikan hingga
menjadi ikan giling yang siap olah. Cemberutku mengurai, aku tak keberatan jika
sekedar membuatnya. Maka Ramadhan ini kesibukanku bertambah, syukurnya
pekerjaan kantorku berakhir setelah dzuhur. Aku masih punya waktu leluasa untuk
membuat berbagai varian mpek-mpek untuk dijual sore harinya. Dengan bantuan
seorang karyawan kami mulai membuka warung mpek-mpek di Ramadhan kali ini.
Hasilnya, Alhamdulillah menggembirakanJ
|
aneka varian mpek-mpek (image from google, gak sempat moto jualan sendiri tapi ya begini ini rupanya...hehehe) |
Awalnya aku
sempat meminta pada suamiku untuk memulai berjualan setelah Idul Fitri berlalu,
namun suamiku bersikeras untuk tetap memulainya saat bulan Ramadhan.
“Insyaallah ada berkah Ramadhan yang tertuai dalam jerih payah kita. Pun
berjualan makanan itu membantu orang-orang yang sedang tidak sempat membuat
makanan untuk berbuka sendiri”. Suamiku juga kerap membagi-bagi secara gratis
mpek-mpek tersebut pada orang-orang sekitar. Alhamdulillah, Allah senantiasa
mencukupkan dan bahkan menambahkan rezeki untuk keluarga kami.
Saat ini aku
mulai terpikir, bahwa sesuatu yang awalnya terasa berat namun setelah dijalani
Alhamdulillah penuh berkah dan tak lagi memberatkan. Oh ya dengan berjualan
mpek-mpek tidak saja aku mendapat rezeki lebih tapi juga ternyata ampuh untuk
mengobati rasa kangen suamiku kepada kota kelahirannya. Bagaimana tidak, suamiku
tak lagi berkesempatan untuk merasa jenuh ataupun kangen ditengah-tengah
kesibukan kami yang baru.