Posted by : Sara Amijaya Thursday, 26 July 2012



Sudah mahfum, jika di Negara kita ini awal Ramadhan dan perayaan Idul Fitri seringkali tidak dirayakan secara serentak.  Mengapa harus berbeda???? Itu tanyaku dan mungkin tanyamu juga.

Tahun-tahun sebelumnya, aku merayakan idul fitri hanya bersama suami dan anak-anakku, maklumlah kami tinggal di perantauan jauh dari sanak keluarga. Saat itu perbedaan perayaan idul fitri tidak terlalu menggangguku,karena silaturrahim hanya terjalin lewat telephone dan kartu-kartu lebaran. Ya…meski pada dasarnya bukan hanya aku, tapi seluruh rakyat di Negeri ini berharap agar perbedaan-perbedaan itu bisa segera di atasi sehingga hari kemenangan akan kembali menemukan makna kemegahannya.


Namun sejak tahun lalu semuanya berbeda, karena saat itu aku dan suami kembali ke kota kelahiranku, Kalimantan. Otomatis, sejak menikah, tahun kemaren merupakan tahun pertama aku merayakan idul fitri bersama keluarga besarku. Orang tua, kakek, nenek, paman, bibi, dan juga saudara-saudara kandungku.  Besar harapanku tahun tersebut tak ada lagi perbedaan-perbedaan ketika merayakannya. 

 Pada awalnya aku merasa hampir yakin keinginanku akan terwujud. Jadilah jauh-jauh hari kami sudah mempersiapkan jamuan yang cukup “wah” untuk merayakan hari kemenangan sekaligus merayakan berkumpulnya keluarga besar kami.  Bahkan disela-sela jadwal kantor yang tetap padat aku menyempatkan diri membuat aneka kue-kue yang seyogyanya akan kami santap bersama ketika merayakan hari kemenangan itu.

Namun, tampaknya taqdir berkata lain. Ketika kami yakin malam itu adalah malam kemenangan, pemerintah menetapkan lain. Jadilah keluarga kami berpecah pendapat, ada yang tetap merayakan Idul fitri keesokan harinya termasuk aku dan suamiku, dan sebagian yang lain memilih mengikuti keputusan pemerintah bahwa Idul fitri jatuh pada hari selanjutnya. Keceriaan dan kebahagiaan malam itu surut seiring pilihan hati kami masing-masing.

Pagi itu, ketika aku, suami dan anak-anakku serta sebagian keluarga bersiap untuk sholat Ied, suasana muram meliputi kami.  Sebab tampak oleh kami saudara-saudara kami yang masih berpuasa hanya tersenyum kecut ketika kami menyantap hidangan lebaran. Tak lagi terasa sedap masakan yang sebenarnya menyedapkan pandangan itu.  Bahkan takbir yang kami gemakan seperti symponi kelabu yang mengaburkan mataku. 

Tak terasa air mataku mengalir, bukankah kita merayakan hari kemenangan tapi mengapa dengan begini sedihnya. Acara sungkeman kepada orang tua pun terasa tak lengkap, dan seolah kehilangan makna. Karena dihadiri secara tak lengkap oleh saudara-saudaraku. Kurasa demikian pula mereka, ketika harus sungkem keesokan harinya tentulah tak sama jika kami melakukannya bersama-sama seperti waktu dulu.

Memasuki ramadhan tahun ini, aku sudah menyiapkan hati untuk menjalani Idul fitri yang lagi-lagi tak serentak. Bagaimana tidak, para tetua di keluarga termasuk ayah dan ibuku memulai awal Ramadhan pada hari Kamis tanggal 19 Juli 2012. Jangan tanya mengapa dan bagaimana, karena akupun tak mengerti. Sejak bertahun-tahun silam ayah ibuku mengikuti sebuah perguruan. Dan dalam kacamata awamku, Beliau berubah menjadi sosok yang taqlid pada apa kata gurunya, termasuk masalah kapan berpuasa ataupun berhari raya. Ayahku tak akan mau repot-repot menunggu hasil sidang itsbat, ataupun menunggu hasil ruqyat. Ia cukup menelpon kepada gurunya menanyakan kapan harus berpuasa dan dengan patuh ia akan menjalankannya. Katanya mereka menggunakan metode hisabtertentu, apalah namanya yang tidak begitu aku pahami.
Adapun aku dan suamiku Alhamdulillah berpuasa pada hari Jum’at tanggal 20 juli 2012. Bukan hanya oleh sebagian besar Negara menetapkan awal ramadhan pada tanggal tersebut, seperti yang dilansir Voa dalam “Penetapan Awal Ramadhan di Sebagian Besar Negara Jatuh Hari Jum'at”, bukan pula oleh hegemoni keluarga suamiku yang notabene merupakan pengurus “Muhammadiyah”. Tidak sama sekali tidak, kami sendiri cukup dengan “Islam” tanpa embel-embel Muhammadiyyah, NU, apalagi aliran-aliran tertentu.
 Kami melaksanakan puasa di hari jum’at  semata oleh keyakinan. Bukankah islam itu tegak dalam koridor iman, ilmu, dan amal. Bagaimanapun aku dan suamiku sependapat dalam hal ini.
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“… Maka, barangsiapa di antara kalian yang menyaksikan bulan, hendaknya ia berpuasa ….” [Al-Baqarah: 185].

Sebenarnya sebagai salah satu pegawai di Kementeriaan Agama aku cukup mengerti perbedaan penetapan awal Ramadahan dan awal Syawal  semata oleh metode yang digunakannya, hisab ataukah rukyat.   

 Aku pribadi cenderung pada metode rukyat, karena inilah yang lebih utama dan terus dilaksanakan pada masa Rasulullah SAW (dalil mengenai masalah ini bisa dilihat lebih lanjut disini ) . Hanya saja yang kusayangkan adalah,  meski tenaga terlatih dalam hal hisab rukyat sudah bersaksi melihat hilal, toh kesaksian mereka seringkali diabaikan dalam sidang itsbat, berita ini ramai dilansir oleh media salah satunya oleh VOA pada tanggal 19 juli 2012 “Tim hisab rukyat Cakung bersaksi melihat hilal" juga  “Hilal sudah terlihat, malam ini tarawih, besok puasa Ramadhan”.  Padahal seyogyanya di zaman Rasulullah barang siapa yang melihat Hilal dan ia bersaksi atasnya maka Rasulullah segera memerintahkan puasa pada seluruh umat islam. 

جَاءَ أعْرَبيٌّ إلىَ النَّبيِّ .ص. فَقَالَ إنِّى رَأيْتُ الهِلاَلَ قَالَ: أتَشْهَدُ أن لآَإِلَهَ إِلاَّ اللّه؟ قالَ نَعَمْ. أتَشْهَدُ أنَّ محُمَّدًا رَسُولُ اللّهِ؟ قالَ نَعَمْ , قالَ: يَا بِلالُ أذِّنْ فى النَّاسِ فَلْيَصُوْمُوْا غَدًا. (رواه أبو داود عن عكرمة عن ابن عبّاس)

Seorang badwi mendatangi Rasulullah saw, ia berkata: "Sesungguhnya saya telah melihat hilal (Ramadhan)" Rasul bertanya: "Apakah engkau mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah?" Orang Badwi tsb menjawab: "Ya". Rasul bertanya lagi: "Apakah engkau mengakui bahwa Muhammad itu Rasul Allah?" Orang Badwi menjawab: "Ya". Kemudian Rasul bersabda: " Ya Bilal beritahukanlah kepada orang-orang supaya berpuasa esok hari". (HR Abu Daud dari Ikrimah dan Ibnu Abbas)

تَرَائَ النَّاسُ الهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ .ص. إنِّى رَأَيْتُهُ فَصَامَ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ.
Orang-orang sibuk melihat hilal. Saya mengabarkan kepada Rasulullah bahwa saya telah melihat Hilal. Maka Rasulullah shaum dan memerintahkan orang-orang supaya shaum (Hadits Riwayat Abu Daud dari Ad-darulqutni dari Ibnu Umar) 

Mungkin karena inilah, para ahli hisab rukyat di kantor tempatku bertugas, memilih mengabaikan hal tersebut. Mereka memilih pasrah dan sudah mencetak jadwal Ramadhan beberapa hari sebelum sidang itsbat dilaksanakan. Maka dengan berat hati aku terpaksa mengabaikan seruan pemerintah untuk berpuasa di hari sabtu tanggal 21 Juli 2012. Bagaimana tidak, jika aku mengetahui dengan pasti bahwa jadwal Ramadhan itu sudah jauh hari ditetapkan tanpa menunggu hasil rukyat. Aku tak heran jika sebagian masyarakat menertawakan proses sidang Itsbat dan mencapnya sebagai kegiatan yang buang-buang anggaran belaka.

Pun demikian, aku tak berhak menghakimi mereka yang berpuasa sesuai jadwal yang ditetapkan oleh pemerintah. Mentaati pemerintah itu sungguh suatu yang berdalil dan menghindari perpecahan.
Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
“ Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (penguasa) di antara kalian.” (QS. An-Nisa`: 59)

Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda:

عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
“ Wajib atas setiap muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa), baik pada sesuatu yang dia suka atau benci. Akan tetapi jika dia diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban baginya untuk mendengar dan taat.” (HR. Al-Bukhari no.7144 dan Muslim no. 1839)

Maka, aku pun berbesar hati tatkala kakakku dan keluarganya memilih melaksanakan awal Ramadhan pada hari Sabtu tanggal 21 Juli 2012.
Hmmmm…..bayangkan saja di keluargaku awal Ramadhan terpecah menjadi 3 kubu. Bagaimana mungkin aku bisa berharap akan melaksanakan Idul Fitri secara bersama-sama.
Namun sebuah berita di Voa pada tanggal  20 juli “Penetapan awal ramadhan di sebagian besar Negara jatuh hari Jum’at" yang sempat kubaca, sedikit menyalakan api harapanku. Berikut cuplikan berita tersebut: “Di Indonesia kemungkinan akan terjadi kembali perbedaan awal Ramadhan antara 20 dan 21 Juli 2012. Muhammadiyah sudah menetapkan awal Ramadhan 20 Juli. Untuk Idul Fitri, kemungkinan besar akan sama-sama,yakni hari Minggu 19 Agustus 2012."  Kemungkinan itu memang belum pasti terjadi, toh demikian membacanya benar-benar seperti menemukan air di gurun pasir, meski mungkin hanya fatamorgana
Meski pintu menuju perbedaan itu terus terbuka lebar, semoga akan ada sebuah jalan menuju kesatuan. Dan beberapa waktu lalu saya menemukan tulisan menarik di blog seorang "kawan" mengenai Musyawarah Nasional Hisab rukyat 2012.
Musyawarah Nasional Hisab Rukyat (Penentuan Awal Bulan Qamariyah) yang dilaksanakan pada Rabu 25 April 2012 di Kementerian Agama berhasil merumuskan kesepakatan untuk mewujudkan kalender Islam tunggal dengan kriteria bersama yang disepakati. Musyawarah ini dihadiri 60 perwakilan ormas Islam dan  pondok pesantren seluruh Indonesia. Hal ini menunjukkan keseriusan dan komitmen bersama untuk menyelesaikan perbedaan dan mewujudkan persatuan ummat. 

Dalam Munas ini, NU yang cenderung fleksibel untuk berubah mengajak untuk belajar bersama meningkatkan kemampuan hisab rukyat. Muhammadiyah pun menawarkan opsi untuk merumuskan kriteria penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal yang disepakati seperti yang diminta dalam fatwa MUI tahun 2004. Semangat untuk bersatu tampak jelas. Langkah kongkret yang segera diwujudkan adalah membentuk tim kecil kajian perumusan kriteria bersama itu, sekaligus sebagai tindaklanjut kesepakatan NU-Muhammadiyah tahun 2007 lalu, dengan tim kajian yang lebih luas melibatkan pakar hisab-rukyat dari ormas dan instansi lainnya. 

Munas hisab rukyat tersebut berhasil menelurkan rumusan  yang insyaallah akan menjadi titik terang bagi kebersamaan umat muslim Indonesia ke depannya. (Hasil rumusan munas tersebut bisa dibaca di sini).
Akhirnya, seperti apapun sebuah perbedaan tercipta, selalu ada makna dan hikmah yang bisa terurai dari sebulan berpuasa dan kemudian menyambut hari kemenangan. Semoga, apapun pilihan kita dalam mengamalkan dan merayakannya tak mengurangi pahala atas setiap amal sholeh yang telah kita usahakan di hari-hari sebelumnya. Dan semoga keikhlasan hati dalam menggapai pahala tersebut terus berlanjut di hari-hari yang terus kita jalani hingga maut menjemput kita.

- Copyright © Sara's Talk - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -