Sudah mahfum,
jika di Negara kita ini awal Ramadhan dan perayaan Idul Fitri seringkali tidak
dirayakan secara serentak. Mengapa harus berbeda???? Itu tanyaku dan
mungkin tanyamu juga.
Tahun-tahun
sebelumnya, aku merayakan idul fitri hanya bersama suami dan anak-anakku,
maklumlah kami tinggal di perantauan jauh dari sanak keluarga. Saat itu
perbedaan perayaan idul fitri tidak terlalu menggangguku,karena silaturrahim
hanya terjalin lewat telephone dan kartu-kartu lebaran. Ya…meski pada dasarnya
bukan hanya aku, tapi seluruh rakyat di Negeri ini berharap agar
perbedaan-perbedaan itu bisa segera di atasi sehingga hari kemenangan akan
kembali menemukan makna kemegahannya.
Namun sejak tahun lalu semuanya berbeda, karena saat itu aku dan suami kembali
ke kota kelahiranku, Kalimantan. Otomatis, sejak menikah, tahun kemaren
merupakan tahun pertama aku merayakan idul fitri bersama keluarga besarku.
Orang tua, kakek, nenek, paman, bibi, dan juga saudara-saudara kandungku.
Besar harapanku tahun tersebut tak ada lagi perbedaan-perbedaan ketika merayakannya.
Pada
awalnya aku merasa hampir yakin keinginanku akan terwujud. Jadilah jauh-jauh
hari kami sudah mempersiapkan jamuan yang cukup “wah” untuk merayakan hari
kemenangan sekaligus merayakan berkumpulnya keluarga besar kami. Bahkan
disela-sela jadwal kantor yang tetap padat aku menyempatkan diri membuat aneka
kue-kue yang seyogyanya akan kami santap bersama ketika merayakan hari
kemenangan itu.
Namun, tampaknya
taqdir berkata lain. Ketika kami yakin malam itu adalah malam kemenangan,
pemerintah menetapkan lain. Jadilah keluarga kami berpecah pendapat, ada yang
tetap merayakan Idul fitri keesokan harinya termasuk aku dan suamiku, dan
sebagian yang lain memilih mengikuti keputusan pemerintah bahwa Idul fitri
jatuh pada hari selanjutnya. Keceriaan dan kebahagiaan malam itu surut seiring
pilihan hati kami masing-masing.
Pagi itu, ketika
aku, suami dan anak-anakku serta sebagian keluarga bersiap untuk sholat Ied,
suasana muram meliputi kami. Sebab tampak oleh kami saudara-saudara kami
yang masih berpuasa hanya tersenyum kecut ketika kami menyantap hidangan
lebaran. Tak lagi terasa sedap masakan yang sebenarnya menyedapkan pandangan
itu. Bahkan takbir yang kami gemakan seperti symponi kelabu yang
mengaburkan mataku.
Tak terasa air
mataku mengalir, bukankah kita merayakan hari kemenangan tapi mengapa dengan
begini sedihnya. Acara sungkeman kepada orang tua pun terasa tak lengkap, dan
seolah kehilangan makna. Karena dihadiri secara tak lengkap oleh
saudara-saudaraku. Kurasa demikian pula mereka, ketika harus sungkem keesokan
harinya tentulah tak sama jika kami melakukannya bersama-sama seperti waktu
dulu.
Memasuki ramadhan
tahun ini, aku sudah menyiapkan hati untuk menjalani Idul fitri yang lagi-lagi
tak serentak. Bagaimana tidak, para tetua di keluarga termasuk ayah dan ibuku
memulai awal Ramadhan pada hari Kamis tanggal 19 Juli 2012. Jangan tanya
mengapa dan bagaimana, karena akupun tak mengerti. Sejak bertahun-tahun silam
ayah ibuku mengikuti sebuah perguruan. Dan dalam kacamata awamku, Beliau berubah
menjadi sosok yang taqlid pada apa kata gurunya, termasuk masalah kapan
berpuasa ataupun berhari raya. Ayahku tak akan mau repot-repot menunggu hasil
sidang itsbat, ataupun menunggu hasil ruqyat. Ia cukup menelpon kepada gurunya
menanyakan kapan harus berpuasa dan dengan patuh ia akan menjalankannya.
Katanya mereka menggunakan metode hisabtertentu, apalah namanya yang tidak
begitu aku pahami.
Adapun aku dan suamiku Alhamdulillah
berpuasa pada hari Jum’at tanggal 20 juli 2012. Bukan hanya oleh sebagian besar
Negara menetapkan awal ramadhan pada tanggal tersebut, seperti yang dilansir
Voa dalam “Penetapan Awal Ramadhan di Sebagian Besar Negara Jatuh Hari
Jum'at”, bukan pula oleh hegemoni keluarga suamiku yang notabene
merupakan pengurus “Muhammadiyah”. Tidak sama sekali tidak, kami sendiri cukup
dengan “Islam” tanpa embel-embel Muhammadiyyah, NU, apalagi aliran-aliran
tertentu.
Kami melaksanakan puasa di hari
jum’at semata oleh keyakinan. Bukankah islam itu tegak dalam koridor
iman, ilmu, dan amal. Bagaimanapun aku dan suamiku sependapat dalam hal ini.
Allah Subhânahu
wa Ta’âlâ berfirman,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“… Maka, barangsiapa di antara kalian yang menyaksikan bulan,
hendaknya ia berpuasa ….” [Al-Baqarah:
185].
Sebenarnya
sebagai salah satu pegawai di Kementeriaan Agama aku cukup mengerti perbedaan
penetapan awal Ramadahan dan awal Syawal semata oleh metode yang
digunakannya, hisab ataukah rukyat.
Aku pribadi
cenderung pada metode rukyat, karena inilah yang lebih utama dan terus
dilaksanakan pada masa Rasulullah SAW (dalil mengenai masalah ini bisa dilihat
lebih lanjut disini ) . Hanya saja yang kusayangkan adalah,
meski tenaga terlatih dalam hal hisab rukyat sudah bersaksi melihat
hilal, toh kesaksian mereka seringkali diabaikan dalam sidang itsbat, berita
ini ramai dilansir oleh media salah satunya oleh VOA pada tanggal 19 juli 2012 “Tim hisab rukyat Cakung bersaksi melihat hilal"
juga “Hilal sudah terlihat, malam ini tarawih, besok puasa
Ramadhan”. Padahal seyogyanya di zaman Rasulullah barang siapa
yang melihat Hilal dan ia bersaksi atasnya maka Rasulullah segera memerintahkan
puasa pada seluruh umat islam.
جَاءَ أعْرَبيٌّ إلىَ النَّبيِّ .ص. فَقَالَ إنِّى رَأيْتُ الهِلاَلَ قَالَ: أتَشْهَدُ أن لآَإِلَهَ إِلاَّ اللّه؟ قالَ نَعَمْ. أتَشْهَدُ أنَّ محُمَّدًا رَسُولُ اللّهِ؟ قالَ نَعَمْ , قالَ: يَا بِلالُ أذِّنْ فى النَّاسِ فَلْيَصُوْمُوْا غَدًا. (رواه أبو داود عن عكرمة عن ابن عبّاس)
Seorang badwi mendatangi Rasulullah
saw, ia berkata: "Sesungguhnya saya telah melihat hilal (Ramadhan)"
Rasul bertanya: "Apakah engkau mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah?"
Orang Badwi tsb menjawab: "Ya". Rasul bertanya lagi: "Apakah
engkau mengakui bahwa Muhammad itu Rasul Allah?" Orang Badwi menjawab:
"Ya". Kemudian Rasul bersabda: " Ya Bilal beritahukanlah kepada
orang-orang supaya berpuasa esok hari". (HR Abu Daud dari Ikrimah dan Ibnu
Abbas)
تَرَائَ النَّاسُ الهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ .ص. إنِّى رَأَيْتُهُ فَصَامَ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ.
Orang-orang sibuk melihat hilal. Saya
mengabarkan kepada Rasulullah bahwa saya telah melihat Hilal. Maka Rasulullah
shaum dan memerintahkan orang-orang supaya shaum (Hadits Riwayat Abu Daud dari
Ad-darulqutni dari Ibnu Umar)
Mungkin karena
inilah, para ahli hisab rukyat di kantor tempatku bertugas, memilih mengabaikan
hal tersebut. Mereka memilih pasrah dan sudah mencetak jadwal Ramadhan beberapa
hari sebelum sidang itsbat dilaksanakan. Maka dengan berat hati aku terpaksa
mengabaikan seruan pemerintah untuk berpuasa di hari sabtu tanggal 21 Juli
2012. Bagaimana tidak, jika aku mengetahui dengan pasti bahwa jadwal Ramadhan
itu sudah jauh hari ditetapkan tanpa menunggu hasil rukyat. Aku tak heran jika
sebagian masyarakat menertawakan proses sidang Itsbat dan mencapnya sebagai
kegiatan yang buang-buang anggaran belaka.
Pun demikian, aku
tak berhak menghakimi mereka yang berpuasa sesuai jadwal yang ditetapkan oleh
pemerintah. Mentaati pemerintah itu sungguh suatu yang berdalil dan menghindari
perpecahan.
Allah Ta’ala
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
“ Wahai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri (penguasa) di antara kalian.” (QS. An-Nisa`: 59)
Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa
beliau bersabda:
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
“ Wajib atas
setiap muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa), baik pada sesuatu
yang dia suka atau benci. Akan tetapi jika dia diperintahkan untuk bermaksiat,
maka tidak ada kewajiban baginya untuk mendengar dan taat.” (HR. Al-Bukhari
no.7144 dan Muslim no. 1839)
Maka, aku
pun berbesar hati tatkala kakakku dan keluarganya memilih melaksanakan awal
Ramadhan pada hari Sabtu tanggal 21 Juli 2012.
Hmmmm…..bayangkan saja di keluargaku
awal Ramadhan terpecah menjadi 3 kubu. Bagaimana mungkin aku bisa berharap akan
melaksanakan Idul Fitri secara bersama-sama.
Namun sebuah berita di Voa pada
tanggal 20 juli “Penetapan
awal ramadhan di sebagian besar Negara jatuh hari Jum’at" yang sempat kubaca, sedikit menyalakan
api harapanku. Berikut cuplikan berita tersebut: “Di Indonesia kemungkinan
akan terjadi kembali perbedaan awal Ramadhan antara 20 dan 21 Juli 2012.
Muhammadiyah sudah menetapkan awal Ramadhan 20 Juli. Untuk Idul Fitri,
kemungkinan besar akan sama-sama,yakni hari Minggu 19 Agustus 2012."
Kemungkinan itu memang belum pasti terjadi, toh demikian membacanya
benar-benar seperti menemukan air di gurun pasir, meski mungkin hanya
fatamorgana.
Meski pintu menuju perbedaan itu terus
terbuka lebar, semoga akan ada sebuah jalan menuju kesatuan. Dan
beberapa waktu lalu saya menemukan tulisan menarik di blog seorang "kawan"
mengenai Musyawarah Nasional Hisab rukyat 2012.
Musyawarah
Nasional Hisab Rukyat (Penentuan Awal Bulan Qamariyah) yang dilaksanakan pada
Rabu 25 April 2012 di Kementerian Agama berhasil merumuskan kesepakatan untuk
mewujudkan kalender Islam tunggal dengan kriteria bersama yang disepakati.
Musyawarah ini dihadiri 60 perwakilan ormas Islam dan pondok pesantren
seluruh Indonesia. Hal ini menunjukkan keseriusan dan komitmen bersama untuk
menyelesaikan perbedaan dan mewujudkan persatuan ummat.
Dalam Munas ini,
NU yang cenderung fleksibel untuk berubah mengajak untuk belajar bersama
meningkatkan kemampuan hisab rukyat. Muhammadiyah pun menawarkan opsi untuk
merumuskan kriteria penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal yang disepakati
seperti yang diminta dalam fatwa MUI tahun 2004. Semangat untuk bersatu tampak
jelas. Langkah kongkret yang segera diwujudkan adalah membentuk tim kecil
kajian perumusan kriteria bersama itu, sekaligus sebagai tindaklanjut
kesepakatan NU-Muhammadiyah tahun 2007 lalu, dengan tim kajian yang lebih luas
melibatkan pakar hisab-rukyat dari ormas dan instansi lainnya.
Munas hisab
rukyat tersebut berhasil menelurkan rumusan yang insyaallah akan menjadi
titik terang bagi kebersamaan umat muslim Indonesia ke depannya. (Hasil rumusan
munas tersebut bisa dibaca di sini).
Akhirnya, seperti apapun sebuah
perbedaan tercipta, selalu ada makna dan hikmah yang bisa terurai dari sebulan
berpuasa dan kemudian menyambut hari kemenangan. Semoga, apapun pilihan kita
dalam mengamalkan dan merayakannya tak mengurangi pahala atas setiap amal
sholeh yang telah kita usahakan di hari-hari sebelumnya. Dan semoga keikhlasan
hati dalam menggapai pahala tersebut terus berlanjut di hari-hari yang terus
kita jalani hingga maut menjemput kita.