Hi, aku sarah ^_^
Dengan bangga aku mengatakan aku
adalah salah satu putri Kalimantan ^_^.
Lahir dan tumbuh besar di salah
satu pelosok bumi Borneo, jelas
membuatku akrab dengan beragam tumbuhan
dan pepohonan. Bahkan saat kecil sekitar rumahku masih di kelilingi hutan, kami
tak punya banyak tetangga. Jarak satu rumah ke rumah lain masih sangat jauh.
Dengan kondisi yang masih sangat alami tersebut, penduduk daerahku
hampir-hampir tak mengenal obat-obatan
kimia. Lantas, apakah aku tak pernah sakit? Hohoho…jangan salah kawan,
sedari kecil aku justru sering sakit-sakitan (JANGAN DITIRU, ini adalah contoh
penerapan rasa bangga yang amat sangat keliru).
|
Aneka tumbuhan berkhasiat
Gambar dari sini |
Tentu ketika sakit datang, penanganan
pertama yang diberikan keluargaku adalah penanganan secara
tradisional. Dan begitu saja semak belukar, umbi-umbian, dan aneka
dedaunan dari pohon ini dan itu berubah menjadi
racikan obat. Entah sekedar
dibalurkan di tubuh maupun yang dengan terpaksa harus kuminum.
Untuk penyakit-penyakit yang
biasa menerpa semisal flu, aku cukup menyukai racikan obat yang dibuatkan nenekku. Beliau biasanya menggeprak
beberapa potong jahe dan merebusnya
dalam larutan gula merah. Kemudian
memaksaku meminumnya setelah mencampurnya dengan susu kental manis.
Sungguh, racikan ini sih aku segan
menolaknya, bagaimanapun rasanya maknyusss ^_^.
Setelahnya nenekku akan memotong seruas kunyit, mengolesinya dengan kapur sirih dan kemudian mencincangnya
sedikit untuk seterusnya dibalurkan di hidung dan keningku. Ya mampet karena
flu biasanya jauh berkurang tapi tetap saja aku tak menyukai warna kuning yang
menempel di bagian wajahku tersebut.
Semakin aku dewasa, kemajuan
medis di daerahku terus berkembang. Puskesmas dan Rumah sakit sudah berdiri.
Dokter-dokter spesialis bahkan sudah mulai berdatangan. Namun, tetap saja
keluargaku sebisa mungkin masih memilih pengobatan
tradisional yang terus diwariskan secara turun-temurun. Dan aku sebagai
bagian dari keluarga besar tersebut mau tidak mau mengikuti pola yang sudah
ada.
Suatu waktu di usia sekolahku,
tanganku terkilir cukup parah. Mengakibatkan bengkak di bahu kananku dan
kupikir satu dua tulangku pastilah mengalami pergeseran posisi. Dalam kondisi
demikianpun keluargaku tak membawaku ke puskesmas atau Rumah sakit.
Mereka lebih suka menanganiku sendiri. Daun
kucai, kencur, dan bawang merah
yang telah dihaluskan dicampur dengan tepung
terigu yang telah disangrai, dan kemudian dilarutkan dengan sedikit air.
Campuran itulah yang dibalurkan pada bagian tubuhku yang terkilir. Memang
proses untuk sembuh total memakan waktu yang cukup lama, sekitar 1 bulan. Tapi
bagaimanapun it’s work. Aku sembuh sempurna ^_^.
|
Daun kucai
Gambar dari sini |
Ketika aku kuliah di pulau Jawa dan kemudian menikah
dan meninggalkan kampung halamanku. Sedikit demi sedikit kebiasaan dan warisan pengobatan
tradisional yang biasa kuterapkan mulai bergeser. Kesibukan yang
padat dan kelangkaan tanaman-tanaman obat
di kota besar membuatku mulai mengikuti trend yang ada. Menggunakan obat-obat kimia
yang beredar bebas dan dapat menghilangkan rasa sakit secara cepat.
Namun, seiring dengan teknologi
yang semakin berkembang dan mengakibatkan bermacam ketidakseimbangan dalam
kehidupan, penyakit-penyakit baru yang sebelumnya tak dikenal mulai
bermunculan. Dengan demikian kehidupan yang sehat menjadi sesuatu yang mahal
harganya dan terbilang langka. Tentu penanganan utama terhadap
penyakit-penyakit ini biasanya dengan mengkonsumsi obat-obatan kimiawi. Beragam
obat kimiawi memang sudah beredar, namun pemakaiannya harus diperhatikan agar
tidak berdampak negative, atau malah mengakibatkan penyakit lainnya seperti
gangguan pada ginjal ataupun hati.
Kemunculan beragam penyakit baru
ini menjadi alasan pergeseran paradigma pada kehidupan modern mengenai
obat-obatan. Dengan mengusung slogan “back
to nature”, masyarakat Indonesia mulai
menyadari pentingnya mengkonsumsi obat-obatan
tradisional yang tidak ada efek sampingnya meski digunakan dalam jangka
panjang. Bahkan beberapa program acara di televise secara khusus membahas mengenai
penggunaan ramuan tradisional dan
menelaahnya secara ilmiah.
Suamiku kebetulan tumbuh besar di
salah satu kota besar di kepulauan Sumatra. Lingkungan keluarganya
sebagian besar adalah orang-orang yang sadar
dan memiliki pengetahuan cukup baik seputar medis. Maka, jika sedikit saja ada
keluhan seputar kesehatan suamiku akan selalu siaga membawaku atau anak-anak ke
dokter. Adalah penting menurut suamiku untuk mengetahui kondisi kesehatan kita
secara tepat. Jika setelahnya dipilih jalur pengobatan
tradisional atau modern ya itu hanyalah sebuah ikhtiar untuk mencapai
kesembuhan.
Seorang kawan mengisahkan
kepadaku. Suatu waktu ayahnya terus-terusan menderita sakit perut yang sakitnya
tak tertahankan. Si ayah dengan pikiran konvensionalnya terus menduga-duga
bahwa dirinya telah disantet dan atau sejenisnya . Maka dengan usaha keras
kawanku tadi berhasil membujuk si ayah untuk memeriksakan diri ke Rumah sakit
dan ternyata beliau menderita pembengkakan
hati yang cukup parah. Setelah mengetahui kondisi pasti tentang penyakit yang
diderita ayahnya, kawanku memberikan obat-obat yang telah diresepkan dokter
tapi juga membiarkan ayahnya mengkonsumsi ramuan
tradisional berupa rebusan temulawak,
sambiloto dan akar alang-alang. Alhamdulillah semakin hari kondisi sang
ayah telah mengalami kemajuan.
|
Tanaman alang-alang
Gambar dari sini |
Dari kisah kawan tersebut
membuatku sepakat dan sepaham dengan suamiku. Ya, penting bagi kita untuk
memeriksakan diri secara medis jika suatu keluhan dalam hal kesehatan menghampiri
kita. Dengan mengetahui jenis penyakit secara tepat memudahkan kita memilih
dan mencari pengobatan yang tepat pula.
Bahkan melalui pengobatan tradisional
sekalipun. Atau memadukannya dengan obat-obatan kimiawi.
Bagaimanapun negri kita
dianugerahi dengan beragam kekayaan alam yang sebagian besar darinya terbukti
memiliki khasiat sebagai penyembuh. Meski hidup di zaman kekinian dengan segala
kemodernannya termasuk di bidang medis, bagiku tidaklah serta merta berarti
meniadakan beragam ramuan tradisional.
Ramuan tradisional yang lebih di
kenal dengan jamu ini, adalah warisan budaya turun temurun yang sudah ada sejak zaman dulu kala. Tentu kita ingat Ra Tanca, seorang tabib ahli pengobatan terkenal di masa kerajaan Majapahit. Ini menunjukkan bahwa ramuan tradisional telah ada dan digunakan sejak zaman dulu kala. Dan sekarang aneka jamu ini tampil dengan kemasan yang menarik dan higienis. Baik dalam bentuk bubuk maupun
kapsul. Kita tak lagi perlu repot-repot meraciknya sendiri tatkala membutuhkan.
Namun, kita tetap perlu mewaspadai aneka jamu dalam bentuk kemasan ini. Karena
kembalinya minat masyarakat untuk mengkonsumsi jamu-jamuan ini ternyata
menciptakan celah bagi pihak-pihak tak bertanggung jawab untuk menuai
keuntungan dengan cara tak laik. Sudah mahfum berdasarkan beberapa penelusuran
terpercaya bahwa beberapa jamu kemasan
yang beredar di pasaran ternyata dicampur dengan bahan kimia yang jika
dikonsumsi bisa berakibat lebih fatal ketimbang obat-obatan kimia itu sendiri.
Maka menjadi penting bagi
masyarakat untuk memilih dan mengkonsumsi jamu yang sudah halal dan legal, yang
dibuktikan dengan serttifikat halal dari MUI. Dan adalah lebih baik lagi jika
masyarakat mampu mengolah sendiri ramuan tradisional yang akan dikonsumsinya.
Tentu dengan mengikuti resep terpercaya seperti yang telah diuji cobakan para
ahli. Resep-resep yang memuat takaran tepat ramuan tersebut sekiranya telah
banyak dan mudah diakses melalui buku-buku yang tepat ataupun situs-situs
online terpercaya.
Masyarakat juga bisa mengunjungi pusat studi
biofarmaka IPB, yang juga merupakan pusat pengembangan dan penelitian aneka tanaman tradisional Indonesia dan khasiatnya. Dimana dengan adanya
biofarmaka IPB ini semakin menumbuhkan kepercayaan di tengah-tengah masyarakat bahwa setiap ramuan tradisional yang dipercaya berkhasiat telah di telaah secara ilmiah dan kemudian dikembangkan oleh sebuah pusat studi yang terpercaya pula.
Dan perlu kita sadari
mengkonsumsi ramuan tradisional memberi
efek yang sangat jauh berbeda dengan obat-obatan kimiawi. Ramuan tradisional biasanya bersifat membangun sehingga
membutuhkan waktu lama untuk memperoleh hasilnya. Sementara obat-obatan kimiawi
hanya bersifat menghilangkan rasa sakit, hingga hasilnya lebih cepat kelihatan.
Berdasarkan pengalamanku dalam
mengkonsumsi ramuan tradisional,
setidaknya ada 3 tahapan dalam proses pengobatan ini. Yang pertama adalah
membersihkan toksin, biasanya setelah mengkonsumsi ramuan tradisional akan ada efek tak menyenangkan seperti panas
tinggi, muntah atau pusing. Hal ini adalah wajar menunjukkan bahwa ramuan
sedang bekerja. Setelah semua racun terbuang tahap selanjutnya adalah membangun
atau menyembuhkan organ yang rusak, hal ini berarti kondisi tubuh kita mulai
distabilkan. Dan yang terakhir pengkonsumsian ramuan tradisional menjaga kondisi tubuh kita agar selalu fit.
Aku pribadi memilih pengobatan
bergantung pada situasi dan jenis penyakit. Misalnya jika anak-anakku flu maka
aku tak segan-segan menuruti apa-apa yang telah diwariskan nenek dan ibuku.
Tapi dalam kasus mereka menderita demam aku memilih langsung memberi mereka
sirup penurun panas ketimbang membaluri mereka dengan parutan bawang merah
sebagaimana ibuku dulu biasa memperlakukanku demikian tatkala demam menyerang.
Bukan apa-apa, anak-anakku adalah penderita alergi, jika aku memaksa membaluri
mereka dengan ramuan tersebut, maka yang terjadi adalah tubuh mereka akan
memerah dan gatal-gatal. Atau ketika beberapa tahun lalu dokter menyarankanku
untuk operasi karena terdapat darah beku di bagian pipiku, aku memilih meminum
kapsul-kapsul herba P***r C******r.
Alhamdulillah aku sama sekali tak perlu menjalani operasi yang
disarankan tersebut.
Begitupun pasca melahirkan, meski
telah meminum vitamin yang diresepkan
dokter, bagiku tetap tidak afdol jika belum mengkonsumsi jamu habis melahirkan. Dan
entah mengapa pengkonsumsian beragam racikan tradisional itu di sepanjang
usiaku membuatku merasa “Indonesia” banget ^_^.
Daftar Pustaka:
http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-upt/brc-ukbb/bccs-collection
http://biofarmaka.ipb.ac.id/publication/journal
http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-news/brc-info/501-info-jamu-as-world-cultural-heritage-2013