“Kaka udah
sholat ashar belum???” demikian pertanyaan rutin saya kepada si sulung setiap
saya pulang kantor di sore hari.
Meski ia
hampir selalu menjawab sudah, entah mengapa saya masih terus menanyakan
pertanyaan yang sama di setiap harinya.
Beberapa hari
yang lalu, mendapati pertanyaan yang sama ia menjawab “Sudaaaah ummiiiii,
biasanya juga sudahkan??? Kenapa sih tiap pulang nanya gitu, nggak percaya
banget sama anaknya. Coba sih mi, nanya yang lain gitu.” Dia menjawab dengan nada yang sedikit terdengar bete.
“Hahaha…bukan
nggak percaya sayang, hanya memastikan. Siapa tau kaka keasyikan main trus lupa
sholat. Kan ummi cuman ngingetin. ”
“Yaela mi, masa
sih Amma sampe lupa sholat cuman gara-gara main.” Jawabnya dengan gaya yang
nggak pernah lupa sholat -padahal kalau hari minggu terkadang umminya harus
jejeritan buat ngingetin sholat-
Jujur saja,
mendengar protesnya hari itu saya jadi mengkaji ulang sikap saya terhadapnya, sulung
saya, yang kurang beberapa bulan lagi akan berusia 9 tahun. Kadang saya lupa
waktu dan terus menganggapnya anak kecil, sehingga bersikap over protectif dan menjaganya seolah bayi yang
baru belajar merangkak.
Saya juga jadi memikirkan kata-katanya, memangnya ibu-ibu pada umumnya nanya apa sih ketika pulang kantor???
Lagian pertanyaan rutin saya itu hanya turunan dari metoda pendidikan yang kami -aku dan suamiku- terapkan kepada anak-anak kami kok.
Merujuk metoda pendidikan yang dijabarkan shahabat Ali
bin abi thalib radiyallahu anha, usia
9 tahun itu masuk kategori 7 tahun kedua (usia 7-14 tahun) dimana anak dididik
seolah tawanan.
Tawanan????
Ya, tawanan. Dalam Islam kedudukan tawanan itu tetap terhormat
loh. Ia mendapatkan haknya secara proporsional, tapi juga dikenai berbagai
larangan serta kewajiban. Di usia inilah anak belajar kedisiplinan. Waktunya
mereka mengetahui hak dan kewajibannya sebagai hamba Allah Ta’ala. Kewajiban sholat,
berpuasa Ramadhan, menjaga pergaulan, batasan aurot, dan semisal, seyogyanya di
ajarkan di usia ini.
Konon katanya, di usia ini anak sudah paham arti tanggung jawab
dan konsekuensi tentang suatu hal. Hal-hal yang kita disiplinkan di masa-masa
ini, itulah yang akan menjadi kecenderungan mereka kelak dewasa. Jadi, hingga usianya 14 tahun sepertinya pertanyaan uminya belum akan berganti tuh ^_^
Dalam kasus Amma, Alhamdulillah, selama kolokannya tidak
kumat, ia cenderung memahami itu semua dengan baik. Ia sudah paham mengenai konsep halal-haram, wajib-sunnah-haram-makruh, dan lainnya. Nah dalam kasus kolokannya kumat, seperti anak-anak lainnya ia akan bersikap pura-pura tidak tahu, sekali-kali minta dipaksa untuk melakukan kewajiban rutinnya, dan kadang kala dengan sengaja atau tidak ia mengabaikan hal-hal tersebut.
Terlebih, didukung minat bacanya
yang nyaris menyaingi umminya ini, nalarnya kadang memproses premis-premis yang
membuatnya menang ketika bernegosiasi dengan aturan yang diterapkan umminya.
Seperti suatu malam, tiba-tiba ia bertanya “Ummi, ummi pilih mana anak yang berguna di dunia apa di
akhirat?”
Saya jelas waspada, mengingat track recordnya selama ini. Maka
saya pun menjawab “berguna dunia akhiratlah.”
“iyalah, tapi lebihnya yang mana? Lebih berguna di dunia apa
di akhirat???” tanyanya lagi dengan nada yang lebih mendesak.
“Yaaa, di akhiratlah….”
Ini jawaban ummi
belum selesai, ia langsung memotong dengan sangat cepat dan fasih:
“Naaah….itu makanya. Amma ini insyaallah berguna loh di
akhirat. Amma akan doain ummi, trus insyaallah juga bisa bawa ummi dan keluarga
kita ke syurga, amma kan menghafal Qur’an. Makanya kalu kadang Amma malas
bantuin kerjaan rumah itu nggak seberapalah ya. Kan itu cuman urusan dunia.”
Ckckckck…..alangkah cerdas tawananku yang satu ini...*_*
Ok, whateverlah nak. Yang pasti teruslah bertumbuh menjadi
gadis sholehah….!!!