Aku tumbuh besar di sebuah kecamatan di ujung Kalimantan. Jadi,
jangan heran jika kemudian aku menjadi begitu tidak mengenal berbagai produkperbankan, bahkan yang sangat umum digunakan oleh masyarakat perkotaan. Saat
mulai kuliah di salah satu kota besar di Jawa barulah aku mengenal berbagai layanan perbankan. Tentu saat itu aku terkaget-kaget dengan berbagai kemudahan transaksi yang disediakan oleh
hampir semua perbankan.
|
Tepi laut Tanjung pinang, tempat nongkrong pavoritku dan suami |
Ketika akhirnya menikah, Qodarullah aku menikah dengan seorang
Banker. Berniat menjadi istri sholehah,
aku dengan senang hati mengikuti suamiku ke daerah rantau yang seyogyanya
sungguh asing bagiku, Tanjung Pinang. Mendengarnyapun aku baru pertama kali.
Ternyata kota itu adalah kota pesisir dengan panorama yang menakjubkan. Pergi
ke Singapura sama halnya pergi ke Batam. Hanya memerlukan 1 jam menyebrang
laut. Tak perlu waktu lama, aku jatuh cinta pada kota tersebut.
Mengikuti suami sama dengan Meninggalkan
hunian nyaman dalam sangkar kasih sayang kedua orang tuaku. Tidak muluk-muluk,
di awal menikah kami merasa cukup dengan rumah kontrakan berkamar satu. Sebagai
pasangan muda yang masih menikmati manisnya madu pernikahan kami tak banyak
memikirkan Rencana Masa Depan. Jalani apa yang di hadapan dan biarkan
hidup mengalir dengan apa adanya.
Hidup kami yang begitu santai dan enjoy bukanlah sebuah isyarat
akan sebuah kebebasan financial. Kami hanyalah tipe orang yang terlalu
santai. Padahal sebagai seorang Banker suamiku
memiliki kesempatan untuk memperoleh rumah hunian yang cukup nyaman di kota
tersebut. Hanya saja pikiran untuk tidak menetap di sana selamanya, membuat kami
sama sekali tidak berkeinginan memiliki rumah pribadi. Aku yang sekarang baru
saja berpikir, padahal hunian itu kelak bisa menjadi sebuah investasi. Tapi tak
perlu disesali, toh hidup terus bergerak.
Seperti perkiraan semula, 2 tahun dirasa suamiku cukup mengecap
pahit manis di kota tanjung pinang. Sebagaimana kebiasaannya yang tak pernah
betah pada satu pekerjaan, maka Ia memutuskan resign dan memboyong kami, aku
dan putri pertama kami ke Palembang, kota kelahirannya. Di kota ini lagi-lagi
suamiku diterima bekerja sebagai banker. Pada awalnya lagi-lagi kami merasa
cukup dengan menghuni rumah kontrakan. Namun, kelahiran putri kedua kami,
membuat kami lebih berpikir panjang. Rasanya tak mungkin kami akan
terus-menerus hidup nomaden, berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain.
|
Rumah tipe 36 |
Akhirnya kami memutuskan membeli sebuah hunian di tengah komplek
yang sedang berkembang. Bukan hunian mewah tentu, sekedar Rumah sederhana
bertipe 36. Meski demikian label rumah sendiri sudah membuatku sangat senang.
Suamiku bahkan sempat mengolok-olokku. Betapa dulu Ia ingin membelikan sebuah
hunian yang lebih besar namun aku tidak berminat. Setelah membeli rumah tersebut, kami tidak
langsung mendiami hunian tersebut. Karena ada beberapa bagian yang dirasa suami perlu direnovasi sebelum menjadi layak huni.
Sembari menunggu rumah kami siap huni. Aku memilih pulang ke kampung
halamanku, ke Kalimantan. Melepas rindu sekaligus mempertemukan ayah ibuku
dengan cucu baru mereka. Putri keduaku. Ternyata taqdir tidak bisa diduga.
Kepulanganku dalam rangka liburan menimbulkan ide iseng untuk mengikuti tes
CPNS. Tanpa persiapan, tanpa keseriusan, tapi tetap dengan sepengetahuan dan seizin suamiku. Maka, alangkah terkejutnya aku dan
suami ketika mendengar pengumuman bahwa aku lolos dalam tes tersebut. Hal yang
lumrah ketika mendengar kabar lolos tes CPNS adalah senang dan bahagia. Tapi daripada
bahagia, kami malah cenderung kebingungan. Bagaimana mungkin aku bekerja di Kalimantan
sementara suamiku di Palembang. Dan ya, tentu aku ingat dengan rumah yang
bahkan belum sempat aku tinggali barang seharipun itu.
Kami memutuskan mengikuti harapan keluarga besar. Tetap tinggal di kalimantan dan mengambil kesempatan menjadi CPNS. Suamiku mengajukan mutasi, hal yang sangat sulit biasanya. Namun,
entah bagaimana jadi demikian cepat disetujui. Dalam ketidakmengertian, kami
meyakini inilah jalan yang dipilihkan Allah untuk keluarga kecil kami. Dan hati kami berangsur legowo dengan semua kejutan hidup yang baru saja terjadi.
|
PIM (Pondok Indah Mertua) |
Di kota kecil ini, kami mulai menata hidup baru. Sementara ini kami
masih tinggal di PIM (Pondok Indah Mertua), rumah orang tuaku. Meski Rumah orang tuaku besar dan sangat cukup untuk kami semua. Namun, sikap kemandirian yang terlanjur melekat membuat suamiku merasa tidak nyaman tinggal bersama di rumah besar tersebut. Aku dan suamiku
mulai berbincang serius. Dengan kondisi 2 putri yang sudah mulai besar kami tak
lagi merasa nyaman hidup berpindah-pindah. Mungkin diterimanya aku bekerja
adalah sebuah cara Tuhan untuk membuka pikiran suamiku untuk mulai membangun
impian di satu tempat. Kami sepakat mulai menata hidup dengan rencana masa
depan yang lebih baik.
Impian pertama yang kucantumkan dalam list of dream tentu sebuah hunian nyaman. Tidak perlu besar dan mewah. Cukuplah sebagai tempat di
mana kami berkumpul. Tempat kami beribadah. Tempat kami mendidik anak-anak
kami. Sekaligus tempat kami membangun impian-impian masa depan kami.
Aku sudah
berpikir untuk menggunakan solusi perbankan agar segera memiliki hunian
sendiri karena suamiku merasa sayang menjual rumah kami di Palembang. Namun
kami masih berpikir keras dan menyimpan kesabaran untuk tidak tergesa-gesa
memilih solusi perbankan yang kini marak ditawarkan. Aku masih berharap kami bisa menyisihkan sedikit dari penghasilan kami sendiri untuk mewujudkan impian tersebut.
Dan ya, semoga tidak lama lagi, impian pertama kami di kota ini akan segera
terwujud…….yang insyaallah akan terus disusul dengan terwujudnya impian-impian kami selanjutnya, Aamiin....Allahumma aamiin.....
***
Tulisan ini diikutkan dalam kompetisi blog "berbagi Cerita Bersama BCA"