Posted by : Sara Amijaya Wednesday 30 May 2012


“Dek, abang mau resign”
“Haaa…lagi???”
Suamiku hanya mengangguk sambil tersenyum, tanpa menunggu komentarku Ia berlalu seraya mengacak lembut rambutku.
 “Tunggu bang…” dengan cepat aku menangkap lengannya
 Ngapa say…?  Jangan pasang muka gitu akh, tambah jelek tau”  tangannya dengan cepat beralih memencet hidungku “Ukh….Abang jangan gitu deh, serius nih abang mau kemana lagi se?”
“Gak kemana-mana say….oke…oke…kita bicara serius”
Melihat wajahku yang berubah menjadi aneh, mungkin terbersit iba di hatinya untuk sekedar memberi  penjelasan pada istri terkasihnya ini.
“Bang, lupa ya anak kita dah 2 lo, si kaka dah mau sekolah taon depan. Please deh bang jangan anti kemapanan gitu deh, secara kita bukan mahasiswa lagikan?”

Ia justru tertawa terbahak-bahak mendengar gerutuanku. “Abangmu ini bukannya anti kemapanan, tapi takut tersilaukan oleh kemilau dunia”
“Bang….” Aku memasang wajah super duper memelas, berdoa dan berharap wajahku bisa meluluhkan hati dan membuatnya mengurungkan niatnya Boro-boro terkabul, pencetan untuk hidungku justru bertambah, fiuuh…..
“2 tahun dek, beri kepercayaan pada abangmu ini untuk 2 tahun lagi, saat itu abang gak akan kemana-mana lagi”
“Tapi bang…” aku tak meneruskan kalimatku,
“Advokat itu cita-cita abang dari dulu, dan tiket menuju kesana sudah dalam genggaman, karenanya abang minta keikhlasanmu untuk waktu 2 tahun ini selama abang menyelesaikan proses magang”
“Aku mengerti bang, tapi anak-anak…..aku tak tega jika mereka harus kehilangan figure ayah selama 2 tahun  kedepan”
“Nanti kita pikirkan, yang cukup kau pahami, kau dan anak-anak adalah harta paling berharga yang kumiliki, just believe it…”
“Nikmati saja kebersamaan kita saat ini, yang pasti apapun yang terjadi abang akan tetap pergi menyelesaikan masa magang 2 tahun itu”
Kata-kata yang ingin berloncatan dari mulutku terasa kehilangan gairah untuk dihamburkan, melihat baja di matanya, tampaknya tak ada pilihan lain bagiku selain mendukungnya.
------
Hmmm…..tak terasa 5 tahun sudah kebersamaan kami, ada banyak hal yang harus kami adaptasikan bersama demi keberlangsungan dan keharmonisan rumah tangga kami . Sebelum menikahiku, aku tau dengan jelas suamiku sudah beberapa kali berganti pekerjaan, bukan karena di pecat atau ketidakmampuannya, justru sebaliknya suamiku termasuk cemerlang di tempatnya bekerja, dalam waktu singkat ia dipromosikan menjadi Assistant Manager, ketika akan diangkat menjadi Manajer ia memutuskan resign dari perusahaan tersebut, kemudian menjadi pegawai biasa lagi di perusahaan lain, begitupun di tempat barunya, ketika akan dipromosikan ke jenjang yang lebih baik lagi-lagi Ia memutuskan untuk resign.

 Pola itu  terus berlanjut  hingga kini, setelah ia menikahiku dan memiliki  2 orang penyejuk mata. Seolah takut menempati posisi sebagai “orang penting” di detik-detik akhir suamiku selalu memutuskan resign, seperti saat ini. Pada dasarnya aku tak pernah keberatan dengan hal seperti itu, dan lagi Ia selalu memenuhi kebutuhan hidupku dan anak-anak dengan baik. Pun 5 tahun bersamanya membuatku cukup memahami karakternya, meski pada awalnya aku cukup terkaget-kaget ketika menyadari suamiku seorang yang berjiwa petualang

“Bang…abang ini laki-laki petualang ya?” ujarku saat itu.
“Hmmm…kau meragukan kesetiaanku dek?” tanyanya sambil mengeryitkan alis….
” Gak…bukan itu, rasanya jika hidup kita datar-datar aja, bahagia, berkecukupan, kok malah rasanya abang itu hidupnya hampa, gak bahagia, tapi saat-saat memulai hidup dari bawah lagi, baru deh abang itu bersemangat, penuh gairah dan kelihatan hidup gitu, intinya abang butuh tantangan untuk di taklukkan….atau salah ya?” setengah ragu aku mengungkapkan kesimpulanku. Kulihat suamiku menegakkan badan “Yeah…life is never flat, right?”
“Mungkin betul, tantangan ya….mungkin tepatnya aku butuh gelombang hidup untuk mecharge semangat, hidup yang penuh jaminan meski gak mutlak, bagiku seperti membunuh kemampuan survive, seperti Tarzan yang kehilangan jati diri ketika hidup di kota”
What…. U mean that you’re Tarzan? Gak deh kalu hidup di hutan, aku butuh peradapan kale…” dengan ngeri aku menjerit
Tawanya membahana, “ ya gak lah say, gak sampai segitunya kale. Just believe in me, Ok?”

Tentu aku sangat percaya padanya, itulah bekal yang terus menguatkanku dalam mendampingi dan mendukung setidak biasa apapun keputusannya. Hanya saja, akupun manusia biasa, terkadang resah menghantui akan setiap hal yang tidak pasti. Terkadang tergoda untuk mengecap hijaunya rumput tetangga, terkadang lalai membiarkan angan terbang meski sesaat, terkadang alpa dan membiarkan hati bergejolak entah kemana….
****
Tak sengaja sebenarnya, saat membuka akun FB aku melihat profile seseorang  yang dulu sangat kukenal, bersama seorang istri dan anak yang tampak berpose bahagia, di depan sebuah rumah megah dan mobil mewah, tak tanggung-tanggung jabatannya pun sangat…wwahhh…….yaaa dialah sang mantan…oo..sang mantan…ckckck.

Berkelanalah sang angan, berbisik pula sang syetan…seandainya, oh seandainya aku dulu jadi menikah dengannya….what live will be? Lebih bahagiakah? Lebih maniskah?  Bukankah dulu Ia masih berharap untuk kembali padaku??

Mmmm…..Hati oh hati tersadarlah. Pose bahagia bisa jadi hanyalah gincu pemanis, penutup bibir yang telah pecah berdarah-darah, harta berlimpah bisa jadi tak berkah tanpa hati yang pandai berserah. Ya, Hidup yang terjamin tak memutlakkan rasa bahagia. Karena sungguh bahagia itu letakknya di hati…

Dan ya…aku tersadar ketika pelukan hangat suamiku menyelimutiku, ketika tawa suamiku terdengar lembut di hatiku. Semua resah dan gejolak hatiku terbang menjauh……hatiku menjawab tanpa perlu ku bertanya inilah bahagia di tengah cinta anak-anak dan suami yang luar biasa…
What you looking up baby? It’s all gonna with you...in around of you… just feel of it, and you’ll found that happiness”

(to my beloved husband…go fighting, get your aim! I’ll be there everytime u need with all my heart)


** Picture powered by google

- Copyright © Sara's Talk - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -