“Dek, abang mau
resign”
“Haaa…lagi???”
Suamiku hanya
mengangguk sambil tersenyum, tanpa menunggu komentarku Ia berlalu seraya
mengacak lembut rambutku.
“Tunggu bang…” dengan cepat aku menangkap lengannya
“Ngapa say…? Jangan pasang muka gitu akh, tambah jelek
tau” tangannya dengan cepat beralih
memencet hidungku “Ukh….Abang jangan gitu deh, serius nih abang mau kemana lagi
se?”
“Gak kemana-mana
say….oke…oke…kita bicara serius”
Melihat wajahku
yang berubah menjadi aneh, mungkin terbersit iba di hatinya untuk sekedar
memberi penjelasan pada istri
terkasihnya ini.
“Bang, lupa ya
anak kita dah 2 lo, si kaka dah mau sekolah taon depan. Please deh bang jangan
anti kemapanan gitu deh, secara kita bukan mahasiswa lagikan?”
Ia justru
tertawa terbahak-bahak mendengar gerutuanku. “Abangmu ini bukannya anti
kemapanan, tapi takut tersilaukan oleh kemilau dunia”
“Bang….” Aku
memasang wajah super duper memelas, berdoa dan berharap wajahku bisa meluluhkan
hati dan membuatnya mengurungkan niatnya Boro-boro terkabul, pencetan untuk
hidungku justru bertambah, fiuuh…..
“2 tahun dek,
beri kepercayaan pada abangmu ini untuk 2 tahun lagi, saat itu abang gak akan
kemana-mana lagi”
“Tapi bang…” aku
tak meneruskan kalimatku,
“Advokat itu
cita-cita abang dari dulu, dan tiket menuju kesana sudah dalam genggaman,
karenanya abang minta keikhlasanmu untuk waktu 2 tahun ini selama abang
menyelesaikan proses magang”
“Aku mengerti
bang, tapi anak-anak…..aku tak tega jika mereka harus kehilangan figure ayah selama
2 tahun kedepan”
“Nanti kita
pikirkan, yang cukup kau pahami, kau dan anak-anak adalah harta paling berharga
yang kumiliki, just believe it…”
“Nikmati saja
kebersamaan kita saat ini, yang pasti apapun yang terjadi abang akan tetap
pergi menyelesaikan masa magang 2 tahun itu”
Kata-kata yang
ingin berloncatan dari mulutku terasa kehilangan gairah untuk dihamburkan,
melihat baja di matanya, tampaknya tak ada pilihan lain bagiku selain
mendukungnya.
------
Hmmm…..tak
terasa 5 tahun sudah kebersamaan kami, ada banyak hal yang harus kami
adaptasikan bersama demi keberlangsungan dan keharmonisan rumah tangga kami .
Sebelum menikahiku, aku tau dengan jelas suamiku sudah beberapa kali berganti
pekerjaan, bukan karena di pecat atau ketidakmampuannya, justru sebaliknya
suamiku termasuk cemerlang di tempatnya bekerja, dalam waktu singkat ia dipromosikan
menjadi Assistant Manager, ketika akan diangkat menjadi Manajer ia memutuskan
resign dari perusahaan tersebut, kemudian menjadi pegawai biasa lagi di
perusahaan lain, begitupun di tempat barunya, ketika akan dipromosikan ke
jenjang yang lebih baik lagi-lagi Ia memutuskan untuk resign.
Pola itu
terus berlanjut hingga kini,
setelah ia menikahiku dan memiliki 2
orang penyejuk mata. Seolah takut menempati posisi sebagai “orang penting” di
detik-detik akhir suamiku selalu memutuskan resign, seperti saat ini. Pada
dasarnya aku tak pernah keberatan dengan hal seperti itu, dan lagi Ia selalu
memenuhi kebutuhan hidupku dan anak-anak dengan baik. Pun 5 tahun bersamanya
membuatku cukup memahami karakternya, meski pada awalnya aku cukup
terkaget-kaget ketika menyadari suamiku seorang yang berjiwa petualang
“Bang…abang ini
laki-laki petualang ya?” ujarku saat itu.
“Hmmm…kau
meragukan kesetiaanku dek?” tanyanya sambil mengeryitkan alis….
” Gak…bukan itu,
rasanya jika hidup kita datar-datar aja, bahagia, berkecukupan, kok malah rasanya
abang itu hidupnya hampa, gak bahagia, tapi saat-saat memulai hidup dari bawah
lagi, baru deh abang itu bersemangat, penuh gairah dan kelihatan hidup gitu,
intinya abang butuh tantangan untuk di taklukkan….atau salah ya?” setengah ragu
aku mengungkapkan kesimpulanku. Kulihat suamiku menegakkan badan “Yeah…life
is never flat, right?”
“Mungkin betul,
tantangan ya….mungkin tepatnya aku butuh gelombang hidup untuk mecharge
semangat, hidup yang penuh jaminan meski gak mutlak, bagiku seperti membunuh
kemampuan survive, seperti Tarzan yang kehilangan jati diri ketika hidup
di kota”
“What…. U
mean that you’re Tarzan? Gak deh kalu hidup di hutan, aku butuh peradapan
kale…” dengan ngeri aku menjerit
Tawanya
membahana, “ ya gak lah say, gak sampai segitunya kale. Just believe in me, Ok?”
Tentu aku sangat
percaya padanya, itulah bekal yang terus menguatkanku dalam mendampingi dan
mendukung setidak biasa apapun keputusannya. Hanya saja, akupun manusia biasa,
terkadang resah menghantui akan setiap hal yang tidak pasti. Terkadang tergoda
untuk mengecap hijaunya rumput tetangga, terkadang lalai membiarkan angan
terbang meski sesaat, terkadang alpa dan membiarkan hati bergejolak entah
kemana….
****
Tak sengaja
sebenarnya, saat membuka akun FB aku melihat profile seseorang yang dulu sangat kukenal, bersama seorang
istri dan anak yang tampak berpose bahagia, di depan sebuah rumah megah dan
mobil mewah, tak tanggung-tanggung jabatannya pun sangat…wwahhh…….yaaa dialah
sang mantan…oo..sang mantan…ckckck.
Berkelanalah
sang angan, berbisik pula sang syetan…seandainya, oh seandainya aku dulu jadi
menikah dengannya….what live will be? Lebih bahagiakah? Lebih maniskah? Bukankah dulu Ia masih berharap untuk kembali
padaku??
Mmmm…..Hati oh
hati tersadarlah. Pose bahagia bisa jadi hanyalah gincu pemanis, penutup bibir
yang telah pecah berdarah-darah, harta berlimpah bisa jadi tak berkah tanpa
hati yang pandai berserah. Ya, Hidup yang terjamin tak memutlakkan rasa
bahagia. Karena sungguh bahagia itu letakknya di hati…
Dan ya…aku
tersadar ketika pelukan hangat suamiku menyelimutiku, ketika tawa suamiku
terdengar lembut di hatiku. Semua resah dan gejolak hatiku terbang
menjauh……hatiku menjawab tanpa perlu ku bertanya inilah bahagia di tengah cinta
anak-anak dan suami yang luar biasa…
“What you
looking up baby? It’s all gonna with you...in around of you… just feel of it,
and you’ll found that happiness”
(to my beloved husband…go fighting, get your
aim! I’ll be there everytime u need with all my heart)
** Picture powered by google