“Bersediakah kau
menjadi istriku???” pertanyaan
mengejutkan itu menghantarkan beribu mawar ke dalam relung hatiku.
“ Baik jadi yang
pertama, kedua, ketiga, atau bahkan yang keempat???”
Haa…gubrakkk…tuing…tuing…kujewer kupingku apa salah denger ya??? Kalau begini
sih beribu mawar plus duri-durinya nih.
“Maksudnya
bagaimana tuh” Aku bertanya berlagak bodoh padahal asli aku emang bingung,
kaget dan gak karuan.
“Gak ada maksud
apa-apa, jawab aja yes or no!” balasnya singkat
“Harus sekarang
ya? Gak boleh mikir dulu gitu?”
“ Ya harus
sekarang. Kalau gak pertanyaan dan pernyataan tadi gak berlaku lagi”
Oh My god, pria macam apa yang melamarku
ini ckckck…
“Ok, aku
bersedia…insyaallah”
Oh My god, aku terkaget-kaget dengan suara yang keluar
dari mulut emberku. wanita macam apa aku ini yang bisa-bisanya menerima lamaran
aneh ini…..
----------------
Dua tahun
setelah pernyataan tersebut, pria itu resmi menjadi suamiku. Jadilah di kursi
pelaminan aku berbisik pelan padanya “Ssssst…bang, ngomong-ngomong ane yang
keberapa ni statusnya?” Harap-harap
cemas aku menunggu jawabnya.
“ Alhamdulillah…yang pertama” Ujarnya sambil
tersenyum.
“Kok cemberut??? Berharap kujawab apa? Yang
kedua atau keempat?” Tanyanya menggodaku…
“Pengennya abang
menjawab yang pertama dan terakhir gitu” balasku gemas. Tawanya meledak hingga
para tamu kebingungan. Wah kubayangkan seperti apa rupa rumah tanggaku ke depan
ckckckck….
Tahun pertama
berlalu. Kami, tepatnya aku seolah lupa akan hal tersebut. Suamiku sosok penyayang
yang penuh tanggung jawab, keras pada dirinya, tapi begitu lembut pada semua
salah dan khilafku. Menjagaku seolah Kristal yang bisa pecah setiap saat.
Hmmm…aku tersanjung.
Kebahagiaan kami
terus bertambah dengan kehadiran seorang bidadari kecil. Dan lagi-lagi aku
menemukan satu sisi pada diri suamiku, Ia begitu kasih pada anaknya, begitu
telaten merawat dan menjaga kami. Hingga aku bertanya-tanya dimana ujung
kebahagiaan ini….
Hingga tahun
ketiga pernikahan kami, tak ada yang berubah. Kejailan-kejailannya yang
membuatku memberengut kesal seolah menjadi bumbu penyedap kehidupan kami.
Akhirnya aku tak tahan lagi, ini waktunya bertanya dan memastikan semuanya…
“Bang, ingat gak
soal istri kedua, ketiga, dan keempat itu?” tanyaku to the point.
Suamiku langsung
tersenyum jail “ Kenapa…kenapa…sudah gak sabar ya menerima madu?”
Weleh-weleh…ni orang emang bikin bĂȘte batinku semakin kesal.
“Serius deh,
sampai detik ini aku penasaran bagaimana se maksudnya? Abang serius mau nikah
lagi? Sudah ada calonnya? Berapa? Siapa? Dimana??” cecarku cepat
Boro-boro
cepat-cepat menanggapi kegelisahanku, jawabnya sungguh mengesalkan
“ Addaaa
aja…mau tau aja siiihhh”
Saking keselnya
aku menangis sejadi-jadinya. Saat itulah aku mendengar suara lembutnya terasa
sangat serius…duarius malah.
“ Aku tak pernah berniat menikah lagi, paling
tidak begitulah rasanya hingga saat ini…”
“Tapi…” aku tak
jadi meneruskan protesku saat ku tangkap isyaratnya. Tampaknya ini hal penting
yang gak akan diulanginya lagi jadi aku harus mendengarkan dengan seksama,
merekamnya bila perlu, begitu kira-kira arti isyarat matanya.
“Saat bertanya
demikian, aku hanya ingin memastikan bahwa wanita yang akan kunikahi adalah
wanita sholehah yang bersedia menjalankan syariat islam secara kaffah
(menyeluruh), termasuk menerima syariat poligami yang banyak ditentang orang”
“Aku ingin kita
sama-sama meyakini kebenaran syariat itu. Soal menjalankannya atau tidak itu
adalah pilihan, dan aku sampai saat ini memilih untuk belum melakukannya,
karena aku tak merasa mampu bersikap adil. Sekarang mengertikah kau
maksudnya???”
Seraya mencerna
aku mengangguk-angguk “ Dan lagi jika berpoligami aku ingin mendapat restu dari
semua, darimu, orang tua kita, dan keluarga besar kita, karena aku ingin
bersikap adil pada semua istriku dan tidak menjadikan salah satu dari mereka
terkucil atau merasa seperti istri simpanan, jadi intinya poligami itu gak
mudah sayang” ujarnya sembari menjentik hidungku.
“ Kalau abang
mau poligami, aku ingin jadi yang pertama tau”
sungguh tak terasa berat hatiku mengucapkan kata-kata itu. Karena aku
yakin pemahamannya akan agama akan membuatnya bijak bertindak.
“ Tentu, jika toh sampai takdirnya aku harus
berpoligami, maka aku menyerahkan pemilihan calonnya padamu….deal???”
Dengan cepat
kuterima uluran tangannya “Deal…” ucapku keras sambil tersenyum
---------------------
“Bang…bang…ada cewek cantik tuh…”
Dengan antusias
suamiku celingukan “Mana…mana…mana…?” Saat menemukan makhluk sexy yang kumaksud
suamiku mengangkat kedua jempolnya kemudian membaliknya ke bawah “ Itu mah lewat….kemana-mana
masih menang istriku” ujarnya tersenyum jail seraya melirikku.
“loh…liat dong,
bodynya aduhai, tinggi semampai, rambutnya panjang berjuntai-juntai…bukannya
tipe abang banget tuh”
“wah…kamu mang
gak niat deh, kalu serius mau menikahkan abangmu ini, carikanlah calon yang
sepadan. Seseorang yang bisa kau jadikan saudara bukan musuh”
“iya…iya…gak
usah panjang lebar deh ya, aku kan memberi kesempatan cuci mata mbok disyukuri
gitu”
Suamiku tertawa,
akupun tertawa, kami tertawa lepas bersama…
-------------------
Kini 6 tahun
berlalu, suka duka terangkum indah dalam
mahligai cinta kami. Dua bidadari penyejuk mata menambah indahnya dunia kami.
Pembicaraan dan pencarian mengenai calon-calon istri bagi suamiku masih terus
mengalir, menunggu hingga waktu menemukan muara bagi pencarian tersebut.
*******