Kau…
Layaknya bintang
Kukagumi sepenuh hati
Meski tak berharap memiliki,
Dan ketika, awan-awan harapan
Menyampaikan pendarmu padaku
Aku cair oleh kemilaumu
Karena aku,
Hanyalah setetes embun
Yang bersembunyi di rimbun
bayang-bayang
***
Melihatmu
kali pertama saat pertemuan lintas cabang, terpukau aku atas semua
gerak-gerikmu. Begitu apa adanya, sederhana tapi penuh pesona. Hatiku langsung
terjerat pendarmu. Sayangnya, bukan hanya aku yang berpikir demikian, tapi juga
hampir semua wanita yang berada di
sekitarmu.
Pagi
itu, langit baru membuka mata, ketika Mba
Ovi tiba-tiba membawamu ke hadapanku, “Dek, kenalin teman satu timku…Odi”.
Masih
setengah terpaku aku berusaha tersenyum….”Syaza….”ucapku pelan.
“Oh
ini, yang sering diceritain Ovi” Ujarmu tersenyum lucu. Berkerut keningku,
entah cerita apa yang kau dengar dari Mba Ovi tentangku.
“Anak kodok yang menjelma jadi putri embun, maskot
komisariat yang gak bisa diam”. Ujarmu dengan wajah yang tak mampu menyembunyikan
tawa.
Kontan
aku mendelik gemas ke arah Mba Ovi yang sudah setengah berlari sembari
cengar-cengir ”Di, nitip Syaza ya. Aku ada perlu ma bang iwan” .
Tak
sempat berkata atau bertanya apa-apa,
karena tak sampai semenit Mba Ovi pergi beberapa gadis manis yang kutahu
adalah para seniorku di organisasi
datang merubungmu, Seperti lebah yang mengerubungi bunga. Huff…..menutupi
gelisah hati, kakiku melangkah ke rimbunan dedaunan yang masih menyimpan
segarnya embun. Anak kodok…tetaplah anak kodok, bermainlah bersama embun tak
perlu berharap bintang jatuh merubahmu menjadi putri jelita. Kubasuh pendar
bintang yang masih tersisa di hatiku dengan segarnya embun di pucuk dedaunan pagi
itu.
Dan ya…bukankah embun hanya bertahan
sesaat di pagi hari, untuk kemudian luruh menguap bersama terangnya mentari…..
Kegiatan
antar cabang, memang berbeda. Kita jadi mengenal rekan organisasi dari kampus
yang berbeda-beda. Di komisariatku, aku
cukup dikenal karena memang aku salah satu pengurus aktif di organisasi ini.
Pembawaanku yang ceria dan aktif, juga kecerewetanku serta usiaku yang paling
muda membuahkan gelar sebagai anak kodok. Belakangan setelah tahu akan
kecintaanku pada embun mereka menambah julukanku menjadi putri embun.
Aku
tak keberatan dengan semua itu, karena teman-teman komisariat terasa bagai
keluarga bagiku. Hanya saja aku tak menyangka bahwa Mba Ovi menceritakannya
pula padamu, salah satu pengurus cabang yang terkenal karena kesederhanaan dan
pesona bintangnya. Awalnya aku tak mengerti apa maksud pesona bintang itu,
sampai aku bertemu langsung denganmu. Kau sungguh-sungguh seperti bintang,
terlalu tinggi hingga hanya bisa di kagumi tapi tak bisa dimiliki.
“Dasar
ya, anak kodok maen loncat aza ke semak-semak….” Suaramu memecah cengkramaku
bersama embun. “loh, dah selesai ya jumpa fansnya?” tanyaku yang menggoreskan
senyum di wajahmu.
***
Kegiatan
demi kegiatan yang mengintenskan perjumpaan kita, memasung cahayamu di hatiku.
Tapi bintang tetaplah sebuah bintang, indah di pandang,tapi musykil untuk di sandang.
“Bang
Odi lagi deket ma Ina anak HI…”
“Masa???
kudenger malah deket ma Mba sandy anak filsafat UGM”
Celoteh
teman-teman di cabang, yang sempat tertangkap indra pendengaranku.
Aku
berlalu, dengan getir akut di hatiku. Duhai hati, berhentilah bermimpi. Pria
sepertimu, pantas bersanding dengan Ina ataupun Mba Sandy, wanita-wanita
“sejati” yang bahkan membuatku sesama wanita terpukau oleh keanggunan mereka.
Aku??? Akh jangan ingatkan aku tentang diriku sendiri, gadis urakan yang manja, dan masih kekanak-kanakan.
Aku yang terbiasa menyerap panas sepanjang hari untuk kemudian meluruhkannya
menjadi embun ketika dingin malam sudah menjelma.
“Mengapa begitu menyukai embun?” tanyamu
tiba-tiba di jeda kegiatan yang masih begitu padat.
“Karena
embun itu aku…..” jawabku pelan dan berlalu.
“Maksudnya…?” aku hanya menjawabnya dengan
lambaian tangan. Munculnya tetes-tetes embun mungkin tak pernah disadari oleh
bintang, Bahkan jikapun bintang sempat
tersadar, cahaya mentari keburu benderang dan meluruhkan embun itu. Jadi
percuma saja berharap. Waktu yang berlalu, menyimpankan asaku dalam diam. Tapi,
hatiku tak pernah bisa berhenti untuk mengagumi sang bintang.
Dan ya, embun itu luruh lebih cepat
dari hari-hari biasanya….
***
Setelah lama mengistrahatkan diri dari semua
aktivitas organisasi, tepatnya mengistrahatkan hati. Karena tanpa kusadari
sosok bintangmu terlanjur berpendar terang di hatiku. Aku butuh jeda sebelum
aku betul-betul menjadi embun beku karena cerahnya malam yang penuh pendar oleh
bintangmu.
“Dek,
titipan dari Odi” Mba Ovi muncul tiba-tiba di kostku. “Gih, diambil, serius
dari Odi neh” Yakin Mba Ovi sembari meletakkan kotak bermotif kodok di tanganku.
“Apaan
mba?” tanyaku bingung. “Katanya sih bukan apa-apa, sekedar buah tangan. Dia
dari mudik”.
Ternyata, benar-benar sekedar buah tangan. Buah
tangan yang mengharu birukan hatiku….
“Bagiku embun bukan sekedar tetesan
bening tak berarti yang bisa kunikmati sebelum hangatnya mentari,
Bagiku, bening tetes-tetes embun
itu selalu memberi kesegaran yang berbekas sepanjang hari….
Dan tahukah kamu, sepanjang
panasnya hari, betapa aku merindukan embun
yang baru akan berproses di malam hari, meski hanya setetes….
Dan kamu bagiku, adalah embun itu…..”
Kata-kata
itu tertoreh di sebuah buku yang kau hadiahkan untukku. Aku takut salah
mengartikan kata-katamu, sehingga lama aku hanya terdiam tak tahu harus berbuat
apa. Pun aku tak berani untuk sekedar meneleponmu menanyakan langsung tentang
semua ini.
Aku
melihatmu lagi sebulan kemudian,
pertemuan yang mengkristalkan hatiku. Ya, aku melihatmu tengah berbincang
serius dengan Mba Sandy. Aku tersenyum sekilas, senyum tak tulus saat tak
sengaja mata kita bertemu pandang. Dan kamu hanya mengangguk tak penting,
mengaduk-aduk dasar hatiku.
***
Menghirup
aroma pagi, kesegaran embun yang tersisa lagi-lagi melegakan dadaku setelah
gejolak emosi menguras air mataku di kemarin hari.
“Maukah
menikah denganku?” sosokmu mengagetkanku dengan pertanyaan yang lebih membuatku
terkaget-kaget.
“Kenapa
aku….?” Tanyaku saat itu.
“Karena
semua keapa-adaanmu, sikapmu yang
tanpa polesan, keceriaanmu yang melegakan, dan kemanjaanmu yang
menggemaskan…lebih dari itu semua, embun di matamu meluruhkan hatiku….”
“Tapi
embun, tak akan cukup memadamkan api. Embun itu hanya serapan panas siang yang
tak lagi tertampung udara di malam hari, embun itu hanya tetesan bening yang
akan segera menguap begitu hangat mentari menyapa. Mengapa harus memilih embun,
jika engkau bisa bersanding dengan matahari?”
“Karena
matahari akan memudarkan cahayaku…” senyummu menggoda
“Kalau
begitu bersandinglah dengan sang bulan…..begitu semestinya bulan dengan
bintang, iya toh?” hatiku belum lega meminta sebuah keyakinan.
“Semua
itu diciptakanNya dengan porsi sesuai, taklah bumi meminta kontribusi di luar
kemampuan embun, sekecil apapun bentuknya, masing-masing bagian semesta sudah
melaksanakan tugasnya masing-masing. Begitupun dengan embun, kesahajaannya yang
menguap di pagi hari sudah cukup untuk perputaran sempurna jagat raya ini”
“Jadi
bersediakah kamu menjadi embun hatiku di
sepanjang sisa hidupmu?”
“Mmmm…tentu,
selama bintang sepertimu bersedia kehilangan cahaya jika bersanding
denganku….anak kodok…” jawabku tertawa.
“Ya
anak kodok yang bermata sebening embun….” Balasmu juga tertawa.
***
Dan ketika bintang menyerahkan
kemilaunya pada seekor kodok, jangan salahkan awan, angin, atau bahkan mentari tapi sungguh sang bintanglah yang
memilih luruh oleh bening embun dimata sang kodok