“Aku gak
cocok ma suamiku dan keluarganya, terbersit ingin pisah…tapi berat rasanya kalu
ingat anak-anak….” Sms itu kuterima dari salah seorang sahabatku
pada tahun ke-6 pernikahannya.
“Mungkin
cinta itu udah gak ada mba, aku bosan selalu dicuekin. Masku sekarang berubah…..” sms lain yang kuterima dari salah satu adik tingkatku
semasa kuliah.
“Aku
selingkuh sya, suamiku gak mau ceraikan aku sih….” Message lain yang kuterima dari kawan semasa kuliahku.
Ada apa sih dengan dunia pikirku , saat dalam waktu
berdekatan curhat-curhat serupa bergantian memenuhi inbox messageku. Bagaimanapun
aku sudah tak asing mendengar kasus perceraian, atau perselisihan dalam rumah
tangga. Bekerja di kementerian Agama meski di bagian keuangan tidak membuatku
menutup mata terhadap tingginya tingkat perceraian di daerahku. Rasanya menjadi
wajar jika terbetik rasa khawatir di benakku, akan bagaimanakah rumah tanggaku
sendiri.
7 tahun menikah, bukan waktu yang singkat tapi juga belum
bisa dibilang lama. Aku menikah diusia yang belum genap 22 tahun. Jangan tanya bagaimana
sifat dan karakterku. Yang jelas masih sangat kekanak-kanakan. Jadi sepantasnya
aku memilih suami yang terpaut usia cukup jauh dariku (hampir 5 tahun). Bisa
dipastikan berapa banyak perbedaan sifat dan cara pandang kami. Dan ditengah
semua perbedaan itu dalam rentang sejak awal mengenalnya hingga kini 7 tahun
bersamanya, kurasa tak banyak yang berubah dari kami.
Aku tak akan menyangkal bahwa pernikahanku bukannya “no
cry, no pain” tapi aku bisa menggambarkannya dalam satu kata singkat dan jelas “Bahagia”.
Teman-teman yang memilih curhat kepadaku menyebutkan
bahwa dalam pandangan mereka aku adalah sosok istri sholehah nan baik budi.
Saat aku menceritakannya pada suamiku, aku terpaksa mencubitnya kuat-kuat agar
tawanya mereda.
Ya, sebenarnya
aku bukan sosok istri sholehah nan baik budi seperti yang dikira teman-temanku
itu. Aku hanya wanita biasa, istri biasa yang penuh dengan kekurangan. Aku
istri yang masih sering memanyunkan bibirku saat aku tak suka atau tak setuju
dengan pendapat suamiku. Aku istri yang super duper manja yang sedikit-sedikit
masih sering berteriak “abaaang….” hingga terkadang menjadi olok-olokan putri
pertamaku. Aku juga istri yang mudah menangis jika suamiku berbicara keras
sedikit saja, padahal entah berapa sering aku berteriak-teriak pada suamiku itu.
Jadi jika kalian penasaran mengapa dalam rentang 7
tahun ini rumah tanggaku terbilang aman-aman saja dan terasa menyenangkan.
Seharusnya kalian menanyakannya pada suamiku. Entah bagaimana dia bisa bertahan
dengan semua sikap menyebalkanku sebagi istrinya ^_^. Dan itulah yang aku
sering tanyakan padanya.
Menurut suamiku, pernikahan itu tidak menuntut pribadimu
untuk menjadi orang lain. Pernikahan hanya mengubah statusmu menjadi seorang
istri dan kemudian ibu. Selama kamu sudah bersikap sepantasnya dalam statusmu
sebagai seorang istri dan ibu, itu cukup. Dan karena aku sendiri tak pernah
menuntut suamiku untuk menjadi apa atau bagaimana, menjadi lebih mudah bagi
suamiku untuk juga menerimaku apa adanya.
Dalam banyak kasus, kita mahfum seorang pria yang
diawal-awal mendekati wanita yang disukainya cenderung bersikap manis dan
menjadi apa yang diharapkan si wanita. Demikian pula sebaliknya. Dan setelah
menikah mungkin masing-masing pihak baru menyadari sifat dan karakter asli
pasangannya.
Dalam kasusku, mungkin karena sejak awal mengenal
sebagai rekan seorganisasi dan pasca menikah, kami selalu menjadi diri kami
sendiri. Maka tak pernah ada ekspektasi berlebih terhadap pasangan. Yang ada
proses hidup bersama selama 7 tahun ini membuat kami bisa saling menerima satu
sama lain dengan segala keapa-adaan diri kami sendiri.
Berbeda pendapat? Pasti seringlah. Sebagai istri aku
paham satu hal, apapun keputusan suamiku, dikompromikannya atau tidak denganku
itu adalah mutlak haknya. Penerimaanku akan hal tersebut membuat suamiku justru
bersikap terbuka, mengajakku berdiskusi untuk setiap hal, dan mendengarkan
pendapatku sebelum memutuskan suatu hal. Untuk hal-hal yang tidak kusetujui
meski aku memanyunkan bibirku, suamiku tau bahwa aku pasti menerima
keputusannya. Toh, selama ini setiap hal yang diputuskan suamiku belum pernah
terbukti menyengsarakan kami ^-^.
Ketimbang romantis, suamiku itu sebenarnya konyol. Setiap
jalan bersama dia memang selalu menggandeng tanganku, tapi itupun sambil
mengkitik-kitik telapak tanganku. Jika sedang sedih atau ngambek, suamiku tak
akan merayuku dengan kata-kata manis. Ia justru akan bersekongkol dengan anak-anak
kami untuk kemudian mengolok-olokku, membuat tingkah lucu, atau bahkan
menggelitikiku beramai-ramai sampai aku terpaksa berteriak-teriak dan mau tak
mau ikut tertawa bersama mereka.
Satu hal yang kami sepakati Cinta dalam pernikahan itu
adalah sebuah perasaan yang terus berkembang. Dari sekedar rasa suka, cinta
yang menggebu-gebu dan seiring perjalanan waktu akan menjadi cinta yang dewasa
dan bertanggung jawab.
Hal-hal kecil yang selalu kami kerjakan bersama-sama.
Melibatkan anak-anak dalam setiap aktivitas kami. Mengobrol ringan sebelum
tidur. Bergandengan tangan, menonton bersama, mendiskusikan segala hal, saling
meledek, tertawa bersama, saling mendiamkan beberapa saat, dan lain-lain. Pada
dasarnya semua itu adalah cara kami untuk terus menyemai cinta dalam pernikahan
kami dan mewujudkan samara yang kami cita-citakan.