Judul : Perjalanan Hati
Penulis :
Riawani Elyta
Editor :
Dewi Fita
Perancang sampul : Dwi Annisa A
Penerbit : RakBuku
Cet I : 2013
Tebal : 194 hal.
Review buku:
Perjalanan hati bertutur
tentang Maira yang kembali melakukan backpacker ke anak gunung Krakatau ketika
tiba-tiba saja sebuah “dosa” masa lalu suaminya terkuak dengan kedatangan
seorang mantan kekasih suaminya dulu, Donna.
Dalam tour yang
digawangi agen perjalanan milik Ibra
(adik Maira), ia pun bertemu Andri. Rekan sesama pecinta alam yang dulu ketika
mereka bersama kerap dijuluki sebagai “the best couple”. Pertemuan yang
sebenarnya memang sebagian tujuan dari perjalanan Maira itu.
“…..aku
sedang ingin memastikan arah hatiku, keyakinanku, bahwa pernikahanku dengan
Yudha adalah sesuatu yang memang
kuinginkan dan kuimpikan, sehingga apapun rintangannya, seberat apapun itu
tetap akan kuhadapi asalkan pernikahanku bisa terus bertahan” (hal 113).
Ya backpacker
kali ini bukan sekedar pengobat rindu akan hobinya sebelum menikah, Maira
lebih ingin memastikan arah hatinya
sendiri. Mempertahankan rumah tangganya dengan segala rintangannya ataukah
hatinya justru masih lebih condong pada sosok Andri. Sosok yang dulu begitu
diharapkannya, namun tak pernah bersikap serius terhadap hubungan mereka.
Di perjalanan
itu pula Maira mendengar, hal yang dulu begitu ingin didengarnya dari Andri.
“Sayangnya, aku terlambat menyadari, bahwa
perasaanku padamu, itu sesuatu yang serius” (hal 71)
Maka, kemanakah
hati Maira merasa lebih condong? Bagaimana pula sikap Yudha ketika menyadari
Maira ternyata melakukan perjalanan bersama Andri ?? Apakah perasaan bersalah
atas dosa masa lalunya membuatnya membiarkan Maira bersama dengan lelaki lain??
Dan bagaimana pula sikap Yudha terhadap Donna? Apakah rasa kasihan juga rasa
bersalah membuat Yudha luluh dan mempertaruhkan keutuhan rumah tangganya
bersama Maira???
----------
Sebagai penyuka
genre thriller, mistery, suspect, dan sejenisnya, maka membaca genre romance
terkadang menjadi bacaan berat untukku. Dan karenanya aku mengapresiasi sekali
buku-buku romance yang ketika membuka halaman awalnya mampu membuatku untuk
tetap membacanya bukan alih-alih segera tertidur.
Untuk genre
kesukaanku, biasanya aku tak akan melewatkan satu kalimatpun di setiap
halamannya. Karena dalam genre seperti ini terkadang setiap kata akan merujuk
pada sebuah petunjuk penting. Akan halnya genre romance yang main streamnya
itu-itu saja dan tidak berubah dari zaman baheula, maka kepiwaian penulis dalam
meracik kata dan konflik akan sangat mempengaruhi prosentase skimming halaman
demi halaman dalam buku tersebut.
Perjalanan
hati, salah satu genre romance besutan
Riawani Elyta, yang juga merupakan buku kedua yang kuselesaikan setelah
beberapa waktu lalu membaca Hati memilih.
Jika menilik
kecepatan membacaku kali ini yang juga tanpa skimming satu halamanpun tampaknya
tulisan romance ala Riawani Elyta kali ini sudah mengalami kemajuan ya (ehem,
tentu aja menurut versiku lho… ^_^).
Dengan diksi
yang sederhana, untaian kata RE berhasil memikat pembaca. Rasanya saya bisa membayangkan sosok dan
karakter masing-masing tokoh juga merasakan apa-apa yang mereka rasakan.
Mungkin RE
sengaja lebih memfokuskan novel ini pada dilema yang harus dituntaskan oleh
hati Maira ya? Karena bagi saya di pihak Yudha sendiri, konflik hatinya kurang
terasa. Donna itu terlalu “lempeng” sebagai seorang mantan dengan apa-apa yang
sudah terjadi di antara mereka. Yudha tampaknya tidak melakukan pergulatan
batin yang cukup “dalam”. Di dunia nyata langka deh perempuan seperti Donna
^_^.
Dan mungkin
karena saya “merasa” mengenal penulis secara pribadi, saya sedikit berekspektasi
bahwa karya-karya yang dihasilkan RE akan memuat sebuah “nilai” lebih. Tidak
sekedar nikmat dibaca tapi tetap bernilai dakwah.
Eh maksud saya
begini, saya suka novel ini. Saya suka pesan yang ingin disampaikan penulis.
Saya menuai hikmah dari apa yang saya baca: keutuhan rumah tangga itu harus
diperjuangkan kedua belah pihak, keterbukaan antar pasangan itu penting,
membiarkan pasangan lebih mengenal kita itu perlu, memaafkan dan menerima masa
lalu pasangan sebagai bagian dari komitmen pernikahan itu sebuah hal yang luar
biasa, dan seterusnya. Hanya saja saya berharap lebih.
Novel ini yang
sudah keren dengan semua alur, konflik, diksi dan sebagainya mungkin akan lebih
keren jika RE menyelipkan pesan “keberagamaan” sesuai yang dianutnya. Lihat saja
perjalanan panjang Maira selama backpacker, pernahkah ia sholat?
Mungkin RE sengaja
menyetingnya demikian agar novel ini bisa diterima semua kalangan. Atau memang
Maira ingin ditampilkan sebagai sosok yang tidak terlalu religius. Tapi sebagai
orang yang berniat menyebarkan manfaat lewat tulisan saya rasa tak ada salahnya
mengingatkan kewajiban sholat bagi para backpacker. Dan itu sangat mungkin
dilakukan oleh tokoh Maira jika saja penulis menginginkannya.
Saya juga
tergelitik dengan sebuah kalimat:
“….dosa-dosa elo masih segambreng buat dikikis
satu-satu kalo Cuma ngandelin sholat
doang”. (hal 59)
Secara keseluruhan cerita saya sangat memahami konteks kalimat
tersebut. Tapi pemilihan kata itu tetap menggelitik hati kecil saya.
Bagaimanapun sholat itu adalah tiangnya agama. Dan setiap dosa itu seperti yang
juga terselip dalam novel ini adalah hak prerogatif Allah untuk mengampuni
ataukah menghukum pelakunya.
Sebenarnya karena
menilik pribadi penulis yang memang santun dan sholehah (insyaallah) itulah
saya berekspektasi bahwa melalui karya-karyanya yang diminati beragam pasar, penulis
bisa mengingatkan kewajiban umat tentang ibadah sholat yang sekarang tampaknya
sudah demikian mudah diabaikan oleh pemeluknya. Tidak perlu dengan karya yang
memang berlabel “islami” tapi justru dalam beragam genre yang memang dikuasai
dengan baik oleh penulisnya.
Dan, mungkin
saya agak sukar menyampaikan harapan-harapan saya ini. Tapi saya berharap
semoga penulis bisa menangkap maksud saya dan sudi memaafkan sedikit
kelancangan saya ini.
Akhirnya, semoga
mbak Lyta bisa terus menghasilkan karya-karya yang semakin mencerahkan pembaca
ke depannya.
==================================
Meski tulisan
ini saya tujukan khusus untuk mba Lyta,
tapi rasanya gak salah jika sekalian meramaikan event beliau: