“Yaa...kok ditolak sih?” protes itu
terlontar dari teman kostku.
Seperti biasa aku hanya cengengesan gak
jelas dan menjawab santai “Habis, dia minta
aku jadi pacarnya sih. Kan aku kaga nyari pacar tapi nyari suami...” kalimatku
itu menuai cibiran dari bibir temanku itu.
Beberapa kali mendengar alasan yang sama,
rupanya ia masih menganggapku bercanda. Wajar sih usiaku masih belasan tahun
kala itu. Tapi begitulah sejak memutuskan mengenakan jilbab, juga mempelajari
islam dengan lebih baik aku memutuskan pacarku dari zaman putih abu-abu dan
berazzam untuk serius menuntut ilmu dan tentu saja “hunting” suami ^_^. Misi
yang sebenarnya kunyatakan terang-terangan tapi herannya tidak ada yang
mempercayainya.
Pria yang saat ini membersamaiku pun
kukenal dimasa-masa itu. Aku mengenalnya sejak semester 3, sementara saat itu ia tengah menyusun skripsinya.
Dia salah satu petinggi di organisasi
ektrakampus yang kuikuti.
Dia orang yang tersenyum dan mengucapkan
selamat dengan tulus kala celana panjangku berganti rok dan akhirnya
bertransformasi menajdi gamis lebar.
Dia orang yang mendoakan agar aku istiqomah
dengan jalan yang sudah kupilih.
Meski tidak satu dua orang yang menyebutku sekedar berganti-ganti “casing”.
Dia pula orang yang dulu dengan iseng
menjejeri langkahku dan menyanyikan potongan lagu yang syairnya ‘nggak banget’
itu.
Dia itu juga orang yang dulu dengan pedenya
mengenalkan diri sebagai “Hua Ce lei”. Entah ada yang
membocorkan bahwa aku mengidolakan aktor itu atau memang dia makhluk super pede
yang berbakat cenayang *_^.
Dia adalah orang yang dengan santainya
tertidur di tengah rapat suksesi yang hinggar bingar.
Dan ketika bangun, herannya tetap nyambung dengan semua yang telah terjadi.
Dialah satu-satunya pria yang memberiku
buku, sementara pria-pria lain memilih coklat, makanan, ataupun perhiasan.
Mungkin hanya dia yang berhasil memindai kekutubukuanku yang sebenarnya super
akut.
Dia adalah pria angkuh yang kengkuhannya
entah mengapa membuatku nyaman.
Dan dialah pria yang membuatku
yakin untuk menerima pinangannya. Karena katanya: “Menjawab iya atas pinanganku berarti
menyetujui tiadanya kata putus, karena aku memintamu menjadi istriku bukan
menjadi pacarku. Menjawab iya atas pinanganku berarti siap berkomitmen atas
sebuah perjanjian yang kuat, yang tatkala kita mengikrarkannya maka Arsy Allah pun
berguncang. Menerima pinanganku berarti siap untuk menjadi istriku di dunia dan
akhirat, insyaallah”
Dan bagiku sendiri
menjawab iya atas pinangannya bukanlah sebuah pilihan, melainkan hasil istikharah panjang yang kulakoni.
Ya, dialah orang yang pada akhirnya membuatku mengatakan dengan riang : "Alhamdulillah, Finally i found you... "
Dan
begitulah, pilihan yang ketika memilihnya menyertakan Allah dalam prosesnya
insyaallah dalam perjalannya akan tetap dibersamai oleh-Nya.