Search This Blog

Powered by Blogger.

Showing posts with label giveaway. Show all posts

Pada Mama, aku mengambil ibroh...

Ibu itu bukan manusia sempurna, tapi beliau wanita istimewa. Madrasah pertama yang mengenalkanku pada dunia, dan mengajarkanku menghadapi suka duka. Ibu itu bukan manusia tanpa salah, tapi beliau wanita yang siap mengasuh dengan merasai lelah dan payah. Ibu itu adalah kebesaran cinta, yang mengantarkanku hingga dewasa…..

“Mama sengaja nggak pernah mengingatkanmu untuk belajar atau memberi jam khusus untuk belajar. Karena mama ingin kamu paham, bahwa belajar itu untuk kamu sendiri bukan untuk mama. Belajar itu  nggak  semata untuk rangking 1 tapi agar kamu mengetahui banyak hal. Agar kamu lebih siap menjalani hidup dan mengatasi berbagai permasalahan yang mungkin kamu hadapi kelak.”

Mama berkata santai seolah tahu aku sedikit menyalahkannya saat posisi juara satu yang biasa kudapatkan bergeser ke posisi dua di salah satu masa ketika aku masih berseragam biru putih. Aku iri melihat teman-teman yang dikawal ketat proses belajarnya oleh orang tua mereka. Sementara mamaku yang justru seorang guru, sekalipun tak pernah bertanya atau peduli apakah aku sudah belajar ataukah banyak bermain setiap harinya.

Kata-katanya berlahan-lahan meresap ke sudut hatiku. Membuatku entah mengapa tiba-tiba terbayang proses kehidupan mama yang sulit.

Aku tahu perjuangan mama untuk bisa sekolah. Ikut bekerja dan tinggal dalam keluarga tentara yang berbaik hati menampungnya. Ayahnya yang sudah tiada dan ibunya yang papa tak pernah menyurutkan tekadnya untuk belajar. Sebagai seorang siswa,mama adalah siswa yang biasa-biasa saja. Tapi ia bersekolah tak semata mencari gelar juara, ia sedang menimba ilmu kehidupan. Ilmu yang menopangnya menjalani hari-hari yang tak bisa dibilang mudah.

 Menikah dengan putra sulung dari keluarga yang cukup berada dan di segani dari daerah berbeda, suku berbeda, adat dan budaya berbeda, bukan hal mudah. Sama sekali bukan.
Aku tumbuh, dengan melihat mama yang berjuang keras beradaptasi di tengah-tengah keluarga besar ayahku. Mengurusi kelima adik ayahku dan juga orang tuanya. Melayani mereka, memasak, mencuci, dan semua pekerjaan rumah tangga lainnya, bahkan di tengah-tengah kesibukan beliau sebagai seorang guru di salah satu SMP Negeri di kota kecil kami.

Mama yang tidak hanya sekali dua kali kujumpai menangis menghadapi perkataan dan sikap beberapa keluarga yang “memandangnya sebelah mata” menjalani hari-hari beratnya dengan ikhlas. Tak banyak mengeluh, tak pernah membalas, dan seringkali justru masih sanggup tersenyum tulus. Hal yang masih terus berlanjut meski satu persatu adik-adik ayahku pada akhirnya berkeluarga dan memeberi 5 menantu wanita lainnya di keluarga besar tersebut. Mama tetaplah menjadi “tumpuan” dan mendapati dirinya lebih banyak menghabiskan waktu untuk menjaga, menemani, dan memenuhi keinginan orang tua suaminya yang kian uzur.

Adalah aku, yang menghabiskan masa kecil dengan bahagia. Mengenyam pendidikan hingga bangku sarjana dengan mulus dan tanpa banyak usaha mendapatkan beasiswa prestasi di sana sini. Mengenal cinta, dan qodarullah menikah dengan seorang pria dari luar pulau, suku berbeda, budaya berbeda.

Aku sempat menjalani masa hidup bersama keluarga suamiku. Dan sungguh aku teringat mama. Baru aku tahu betapa luar biasanya mama. Betapa beliau memiliki hati seluas samudera tatkala menjalani proses adaptasi budaya yang begitu berbeda.

Beradaptasi dengan suami tak terasa begitu sulit karena dengannya lah aku berkomitmen membagi sisa kehidupanku. Tapi beradaptasi dengan keluarga besar, dengan semua perbedaan adat dan budayanya, bagiku itu luar biasa. Aku tak siap dengan sikap dan perkataan spontan mereka yang seringkali menyesakkan hati dan menggulirkan titik-titik bening di sudut pipi. Aku kesulitan, sangat kesulitan menyesuaikan gaya hidupku yang kampungan dan apa adanya dengan mereka yang sangat “kota” dan menilai produktifas dengan materi.

Maka kucari-cari kemanapun dari setiap sudut literasi pembelajaran formalku, aku tak menemukan solusi atas kepahitan yang kujalani.

Tapi, pada mama, mengingat hari-hari berat yang pasti juga pernah dilalui mama aku mengambil ibroh. Meski menangis, tak menyimpan dendam dan amarah adalah kunci kebahagiaan. Tak peduli sebanyak apa kesedihan dan kepahitan yang terjalani, berhasil memenangi rasa sakit hati adalah kemenangan terbesar yang insyaallah menjadikan kita lebih bijak dalam menyikapi berbagi situasi.

Ketika akhirnya pulang ke kampung halaman, aku menemui ibuku masih dengan rutinitasnya yang tak berbeda jauh. Ia masih dengan setia memenuhi ini itu  kemauan nenek yang kini semakin uzur dan tentu semakin rewel, terlebih sepeninggal kai.

Dan, padaku mama berucap, “Mama berharap, kelak tua tak akan menyusahkan kalian. Tapi jika Allah masih memberi waktu hingga pikun dan lemah menyerang mama, semoga kebaikan tak seberapa ini akan kembali pada mama lewat kalian, anak-anak mama…”

Duh mama, keikhlasanku jauh tertinggal dari mama, kasih sayangku padamu tentu tak akan sanggup menyamai sedikitpun kasih sayangmu padaku. Karenanya mama, izinkan aku menutupi semua kekuranganku dengan lantunan doa-doaku untukmu.  Semoga Allah senantiasa memberkahi sisa usiamu dan mengampuni setiap khilaf dan salahmu.

Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan: Hati Ibu Seluas Samudera.
Tag : , , ,

Anak-anakku dan IT

Membaca sebuah artikel bertajuk Manfaat belajar IT sejak dini di blog cak cholik entah kenapa membuatku menoleh sejenak. Menatap anak-anakku yang saat ini dengan ribut berlarian, menggali tanah, mengejar capung, dan entah mengorek-ngorek apalah di luar sana. 

Jadi ingat beberapa tahun lalu ketika si sulung masih berusia 4 tahun, aku berusaha keras untuk menjauhkannya dari beragam permainan di dunia virtual. Menariknya ke dunia luar itu tak semudah ketika memperkenalkannya pada teknologi tersebut  di usianya yang baru 2 tahun.

Begitulah selalu, jika mengaitkan anak-anak kita dan kemajuan teknologi rasanya seperti di hadapkan pada pisau bermata dua.

Seringkali kita menyaksikan para orang tua yang dengan bangga berkisah bahwa anaknya yang baru berusia sekian-sekian sudah menguasai ini itu berkaitan dengan IT. Dan sepertinya  menjadi trend saat ini, anak-anak usia dini sudah perlu diperkenalkan pada teknologi IT.

Menjadi langka melihat anak-anak yang berlarian dengan riang di lapangan, memanjat pohon, bermain petak umpet, ular naga, dan beragam permainan outdoor nan sosial itu.

Sebagai gantinya lihatlah disudut-sudut kamar, anak-anak sibuk dengan beragam gadget canggih. Sendirian, dan terasing dengan dunia sosial sebayanya.



Anak-anak yang terbiasa memegang teknologi canggih bahkan di usia pra sekolahnya, memiliki kecenderungan anti sosial dalam prilaku kesehariannya. mengajaknya bergaul dan bersosialisasi dengan masyarakat seperti menarik paksa seekor ulat dari kepompongnya. Alih-alih menjadi kupu-kupu cantik si ulat mungkin saja tak menjadi apa-apa.

Maka aku sependapat sekali dengan artikel Manfaat belajar IT sejak dini-nya padhe cholik:
"Belajar IT sejak dini memang bermanfaat bagi anak-anak agar mereka sudah “melek IT” sejak kecil. Tentu saja orangtua sudah harus mengarahkan agar anak-anak dapat mengambil sebesar-besar manfaat dari IT untuk kepentingan pendidikannya. Jangan sampai kesenangan dan kecanduan terhadap IT malahan mengganggu belajarnya dan perkembangan jiwanya".

Hal yang sering kali dilalaikan para orang tua dewasa ini justru bagian terpenting setelah memperkenalkan dan memfasilitasi anak-anak mereka dengan beragam teknologi canggih tersebut. Ya, orang tua kadang lalai dalam mendampingi dan mengarahkan anak-anak  mereka ketika bermain-main dengan teknologi bermata dua tersebut.

Aku pribadi, saat ini memiliki 2 putri usia sekolah. Aku pun selayaknya orang tua di zaman kekinian, memfasilitasi mereka dengan beragam teknologi IT. Namun, membatasi dan menemani mereka ketika menggunakan fasilitas tersebut adalah caraku untuk membentengi mereka dari hal-hal yang bisa mengganggu belajar dan perkembangan jiwanya.

Pada kesehariaanya, aku lebih membebaskan mereka bermain di halaman bersama-sama dengan para sepupu yang memang tinggal berdekatan. Tumbuh menjadi anak yang cerdas dan peka terhadap lingkungan adalah salah satu harapan yang kupercayakan di pundak anak-anakku.


giveaway 2 hari

Finally, i found you...




“Yaa...kok ditolak sih?” protes itu terlontar dari teman kostku.
Seperti biasa aku hanya cengengesan gak jelas dan menjawab santai  “Habis, dia minta aku jadi pacarnya sih. Kan aku kaga nyari pacar tapi nyari suami...” kalimatku itu menuai cibiran dari bibir temanku itu.

Beberapa kali mendengar alasan yang sama, rupanya ia masih menganggapku bercanda. Wajar sih usiaku masih belasan tahun kala itu. Tapi begitulah sejak memutuskan mengenakan jilbab, juga mempelajari islam dengan lebih baik aku memutuskan pacarku dari zaman putih abu-abu dan berazzam untuk serius menuntut ilmu dan tentu saja “hunting” suami ^_^. Misi yang sebenarnya kunyatakan terang-terangan tapi herannya tidak ada yang mempercayainya.

Pria yang saat ini membersamaiku pun kukenal dimasa-masa itu. Aku mengenalnya sejak semester 3, sementara  saat itu ia tengah menyusun skripsinya.

Dia salah satu petinggi di organisasi ektrakampus yang kuikuti.

Dia orang yang tersenyum dan mengucapkan selamat dengan tulus kala celana panjangku berganti rok dan akhirnya bertransformasi menajdi gamis lebar. 

Dia orang yang mendoakan agar aku istiqomah dengan jalan yang sudah kupilih. Meski tidak satu dua orang yang menyebutku sekedar berganti-ganti “casing”.

Dia pula orang yang dulu dengan iseng menjejeri langkahku dan menyanyikan potongan lagu yang syairnya ‘nggak banget’ itu.

Dia itu juga orang yang dulu dengan pedenya mengenalkan diri sebagai “Hua Ce lei”. Entah ada yang membocorkan bahwa aku mengidolakan aktor itu atau memang dia makhluk super pede yang berbakat cenayang *_^.

Dia adalah orang yang dengan santainya tertidur di tengah rapat suksesi yang hinggar bingar. Dan ketika bangun, herannya tetap nyambung dengan semua yang telah terjadi.

Dialah satu-satunya pria yang memberiku buku, sementara pria-pria lain memilih coklat, makanan, ataupun perhiasan. Mungkin hanya dia yang berhasil memindai kekutubukuanku yang sebenarnya super akut.

Dia adalah pria angkuh yang kengkuhannya entah mengapa membuatku nyaman.


Dan dialah pria yang membuatku yakin untuk menerima pinangannya. Karena katanya:  “Menjawab iya atas pinanganku berarti menyetujui tiadanya kata putus, karena aku memintamu menjadi istriku bukan menjadi pacarku. Menjawab iya atas pinanganku berarti siap berkomitmen atas sebuah perjanjian yang kuat, yang tatkala kita mengikrarkannya maka Arsy Allah pun berguncang. Menerima pinanganku berarti siap untuk menjadi istriku di dunia dan akhirat, insyaallah”

Dan bagiku sendiri menjawab iya atas pinangannya bukanlah sebuah pilihan,  melainkan  hasil istikharah panjang yang kulakoni.
 

Ya, dialah orang yang pada akhirnya membuatku mengatakan dengan riang : "Alhamdulillah, Finally i found you... "

 Dan begitulah, pilihan yang ketika memilihnya menyertakan Allah dalam prosesnya insyaallah dalam perjalannya akan tetap dibersamai oleh-Nya.

 "tulisan ini disertakan dalam Giveaway Novel Perjanjian yang Kuat"

- Copyright © Sara's Talk - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -