Memiliki dua putri dengan bakat asma sedari bayi membuatku mau
tak mau harus sadar medis. Setiap berpindah domisili, maka hal pertama yang kami cari adalah tempat pelayanan
kesehatan, alamat praktek dokter, dan apotik.
Sewaktu tinggal di Palembang, yang notabene merupakan
kota besar, jelas kami tak mengalami kesulitan untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan yang memadai. Termasuk mendapatkan pelayanan dan
obat-obatan kelas satuatau obat paten,
paling tidak begitulah pikirku saat itu.
Terbiasa mendapat pelayanan kesehatan di dokter
praktek, dan sama sekali buta dengan jenis obat-obatan aku terbiasa langsung
menebus saja resep yang diberikan. Bahkan meski dengan nominal ratusan ribu
rupiah.
Ketika pindah domisili ke daerah kecamatan di
Kalimantan Timur dua tahun lalu, aku terserang kepanikan. Seperti biasa hal
pertama yang kami cari lagi-lagi adalah pusat pelayanan. Dan miris
sekali di daerah ini belum ada dokter spesialis anak. Dan apa yang aku
khawatirkan saat itu benar-benar terjadi. Perubahan cuaca yang ekstrim membuat
kedua buah hatiku tidak tahan dan memicu kumatnya asma mereka.
Satu-satunya pilihan saat itu adalah mendatangi Puskesmas.
Karena memang tidak ada dokter spesialis anak, maka yang menangani mereka adalah dokter umum.
Syukurnya dokter tersebut punya senyum berkharisma yang mampu menenangkan
segala kepanikanku.
Dan begitulah saat dokter tersebut meresepkan obat
aku menerimanya dan bersiap menebus obat tersebut. Terbiasa membayar obat
ratusan ribu untuk penyakit yang sama, kali ini aku benar-benar terkejut.
Bagaimana tidak obat yang diresepkan dokter tadi ternyata gratis..tis…tis.
Tak bayar sepeserpun.
Dengan apatis aku menerima obat tersebut dan
bertanya “ Ini gratis???? Obat apa????”. Sang apoteker tersenyum dan mengamatiku agak lama.
“Mba, orang baru ya disini?” Masih tak mengerti aku mengangguk.
Dan akhirnya ia menjelaskan bahwa pelayanan kesehatan di Puskesmas
dan RS Pemerintah di daerah ini memang gratis, ditanggung pemerintah
daerah begitu ujarnya.
Masih tak yakin aku bertanya lagi “Obat ini
manjur gak?”. Bagaimana ya obat-obatan itu dikemas dengan sangat biasa, dan
jika melihat penampakannya rasanya memang meragukan deh.
“Mmm…maaf, Obat generik itu bukannya obat kelas dua ya?
Anak saya biasa minum obat bermerk ,kalu minum obat ini ngefek gak?” tanyaku dengan polos dan
mungkin sedikit terkesan kurang ajar. Syukurnya apoteker tersebut baik hati,
ramah dan suka menjelaskan.
Dari beliau aku mendapat informasi lengkap. “Obat generik berlogo” (OGB), umumnya disebut obat generik saja adalah obat
yang menggunakan nama zat berkhasiatnya. Sedangkan Obat generik bermerk,
umumnya disebut obat bermerk adalah obat yang diberi merk dagang oleh
perusahaan farmasi yang memproduksinya.
“Misalnya obat
ini bu, obat generik berlogo-nya ya Ambroxol, nama sesuai zat
berkhasiatnya. Tapi diluaran ibu bisa menemukan obat dengan zat berkhasiat yang
sama dengan merk beragam sesuai perusahaan farmasi yang memproduksinya.
Misalnya Ambril, Brommer 30, Bronchopront, Broncozol,
Broxal, Epexol, dll. Nah itu yang disebut Obat generik bermerk”
jelasnya panjang lebar.
“Kalu obat paten?”
“Pada dasarnya zat berkhasiatnya sama bu. Obat
paten biasanya diproduksi terbatas oleh perusahaan farmasi yang menemukan
obat terkait. Saat Masa patennya habis obat paten tersebut boleh
diproduksi masal oleh perusahaan farmasi lainnya. Saat itulah obat paten
tersebut menjadi obat generik. Baik itu obat generik Berlogo
ataupun Obat generik bermerk. Jadi jangan khawatir khasiatnya berbeda
atau kualitasnya dibawah obat paten atau obat bermerk karena Pada
intinya ya zat berkhasiatnya tetap sama”
“Trus kenapa harganya bisa sangat jauh berbeda? Bahkan
disini justru digratiskan?” Aku sudah mengerti hanya masih penasaran, mumpung
ada yang menjelaskan ya lebih baik bertanya detil toh.
Masih tersenyum apoteker tersebut menjelaskan lagi “ Ya
wajar lebih mahal bu, lebih 50% biaya yang dibebankan pada obat paten dan
obat bermerk itu adalah biaya non produksi. Ya seperti biaya untuk
kemasan, biaya promosi, dll. Sementara Obat generik Berlogo itu bu
diluncurkan oleh Pemerintah tahun 1991. Jadi harganya pun ditetapkan oleh
pemerintah agar tetap bisa terjangkau oleh semua lapisan masyarakat khususnya
masyarakat menengah ke bawah. Sementara obat bermerk apalagi obat
paten penetapan harganya diserahkan pada mekanisme pasar dan kebijakan
masing-masing perusahaan farmasi yang memproduksinya”
Aku manggut-manggut, dan merasa cukup puas dengan
penjelasan panjang lebar apoteker tersebut “Berarti obat generik berlogo
itu bukan obat kelas dua ya…”.
“Iya bu, dan satu lagi bu hak pasien loh meminta ingin
diresepkan obat generik atau obat bermerk. Kalu khasiatnya sama
dengan harga yang lebih murah bukannya lebih menguntungkan bu?” Apoteker ramah
itu setengah tertawa saat mengucapkan hal tersebut.
Dan jelas aku sepakat dengan pernyataan apoteker
tersebut, terlebih setelah aku meyakini bahwa obat generik berlogo itu
sama sekali bukan obat kelas dua apalagi obat kelas tiga.
Seandainya setiap pusat pelayanan kesehatan dan juga
paramedisnya berkomitmen untuk meresepkan dan memberi penjelasan mengenai obat generik berlogo seperti yang baru saja aku ceritakan di daerahku, aku yakin
penggunaan dan animo masyarakat akan obat generik berlogo akan
meningkat. Dan tentu saja pernyataan akan biaya berobat yang mahal nian di negara
kita ini bisa segera dihapuskan.
Oh ya, saat aku menceritakannya pada suamiku, Ia jelas
sepakat dan sedikit mengingatkanku “Mau generik, mau paten, mau bermerk…..obat
itu Cuma ikhtiar kita sebagai manusia. Yang mutlak memberikan kesembuhan itu cuman
Allah dek…..”.