“Romantis itu tidak selalu dengan bunga……
Romantis itu tak perlu puitisnya kata-kata…..
Romantis bagiku cukuplah tindakan bermakna…..
Pun
sekedar isyarat mata penuh cinta…
Bolehkah berharapnya padamu wahai belahan jiwa?????”
*****
Kriing….kriiing…..Dering telpon itu membangunkanku, kulirik jam tanganku
jam sepuluh lewat beberapa menit…..hmmm kuharap telpon itu cukup penting karena
membangunkanku di jam-jam istrahatku setelah selama seminggu ini aku menjadi
panitia di kegiatan kampusku.
Kriiing….kriiing……Telpon itu terus berbunyi tak sabar menunggu belaian tanganku. “Hallo…”
dengan ogah-ogahan aku menjawabnya,
“Assalamualaikum….”
Deg…….kantukku seketika menguap mendengar suara di seberang
sana, suara yang hampir sebulan ini tak pernah kudengar lagi meski kerinduan
merayap halus di batinku. “wa…wwa’alaikum salam” jawabku agak terbata.
“Mmm….maaf mengganggu, kuharap kau mendengarkan dengan seksama di sana….”
“Oh…oke, apa?”
Keheningan tercipta sesaat sebelum suaranya memecah malam “Aku sudah
memikirkan ini masak-masak, bahkan aku keluar kota beberapa waktu dan melakukan
istikharah…..” aku masih tak tau apa ujung pembicaraan ini.
“Jadi, bersediakah kau menjadi calon istriku???”
Huukkk…hmmmpfff…..aku
tersedak tak karuan, bukan sesuatu yang tak ingin kudengar, tapi juga bukan
sesuatu yang kuharapkan untuk kudengar secepat ini….aku baru saja menerima KTP
pertamaku beberapa bulan lalu.
“Apa….? Bisa di
ulangi?”
Suara tawanya
terdengar renyah, serenyah wafer yang aku sukai.
“Jangan
membuatku mengatakannya ulang, bukankah aku sudah menyuruhmu mendengarkan
dengan seksama, lalu apa jawabannya?” nada suara yang membuatku tak berhasil
menyelami rasa sesungguhnya.
“Harus
sekarangkah?” Aku mencoba menawar untuk
memberi jawaban.
“Jelas….sekarang!
atau pertanyaan dan atau pernyataan tadi tidak berlaku lagi”
Haaaa???? Oh My
God….jenis pria apa yang kau kirim untukku ini.
“Oke….insyaallah”
“Alhamdulillah….”
Kurasa aku menangkap helaan kelegaan di seberang sana.
“persiapkan
dirimu baik-baik ya….”
“Haa…untuk apa?”
aku gelagapan memikirkan sebuah angan yang masih jauh.
“Untuk menjadi
wanita sholehah yang kelak menjadi istri dan ibu yang sholehah pula….” Aku
terdiam lama hingga mungkin telah kehilangan beberapa kalimat yang diucapkannya.
Dia sungguh-sungguh memikirkanku ya….
“Tidurlah
lagi….selamat malam, have a nice dream….Assalamualaikum”
“Wa’alaikum salam”
bahkan pembicaraan itu telah berakhir setengah jam yang lalu. Tapi aku mematung,
merasa tak yakin, gamang, sekaligus senang tak ketulungan. Ketika akhirnya
sadar aku telah lelap bermimpi bersama bintang-bintang di kamar kosku yang
lengang. What a romantic thing!
Pikirku…….
***
Pagi menyapa, rutinitasku berlangsung…..kuliah pagi menungguku. Dengan
sedikit grabak-grubuk aku berlari ke
kampus yang memang terlihat dari kamar kosku. Hingga malam kembali merayap, aku
masih seolah tersihir atas kejadian semalam. Hari demi hari berlalu, hingga
seminggu terlewati, aduhai….kemana dia sang pangeran teleponku, ataukah aku
sungguh bermimpi di malam itu?????
Hampir saja aku memutuskan demikan….-I’m just dreaming that- ketika suatu
pagi, Ia sungguh datang menemuiku…..
“Jawabannya
masih sama?”
“Eng….apa?”
“Yang malam
itu…..”
“Oh….serius toh
ternyata” aku berucap pelan.
“Ya….seriuslah,
jadi jawabannya tetap???” tanyanya tak sabar.
“Mmmm…insyaallah”
Aku menjawab dengan setenang
mungkin, meski terasa ingin
melonjak-lonjak, rasanya cukup sopan jika aku menjaga kesantunan di hadapan
“calon suami’ ku ini hehehe…sapa tau dia berubah pikiran…oh nooooo^_^
“Kapan aku boleh
menghubungi bapak?” haaa….apa
katanya….”bapak?” bapak siapa maksudnya,
“Bapakku? Bapak di Kalimantan?” tanyaku tak yakin
“Mang punya
bapak berapa?”
“Hedeuh…apa hubungan ini tak bisa
disederhanakan, tanpa melibatkan Bapak, he’s
like a lion you know?”
“Kau tak cukup
mengerti rupanya, baiklah….dengarkan dengan baik”
“Aku memintamu
menjadi calon istriku…-CALON ISTRI- ….berarti aku harus melamarmu agar status
itu bisa resmi kusandangkan padamu, dan untuk itu aku akan menghadapi seekor
singa sekalipun, berikan nomor bapak” ucapan tegas yang mengharu birukan
hatiku, what a serious man…..seketika
dalam batinku berazzam “aku ingin bersamanya lebih lama dari selamanya”
Dan akhirnya….gelegar amarah singa sungguh menghampirinya, seketika
hatiku goyah tapi tidak dengan dirinya. “Selesaikan dulu kuliahnya….” Dengan
berbagai cara ia berhasil membuat ayahku mengatakan hal itu. Paling tidak restu
orang tuaku telah kami terima, azzamku semakin menguat “aku akan bersamanya
lebih lama dari selamanya”
***
Dini hari, sesaat setelah matahari mengucek mata telepon di kamarku berdering
“Keluar dek…..” suaranya langsung
terdengar, mengagetkanku.
“Kemana?”
setengah bingung aku berpikir…what next?
“Temui abang di
luar”.
Dengan tak yakin
aku keluar, celingak-celinguk di pinggir jalan….rasanya aku tengah di kerjai.
“Selamat 19 tahun dek….” Suara itu mengagetkanku, sosok tinggi 180cm itu
tepat di belakangku. “Aku tak begitu suka merayakan ulang tahun dan sejenisnya,
tapi kurasa ini moment yang tepat….” Ia mengulurkan sebuah cincin perak yang
segera di sematkannya di jari manisku. “Tunggu aku….., aku pasti menjemputmu”
Aku hanya mampu tergugu pilu, rasa cinta membuncah di dadaku pun ketika
dia harus pergi meninggalkanku. Pagi itu pula diiringi doa dan airmata aku
melepas kepergiannya. Dia sosok yang begitu kasih membimbingku, mengajarkan
berbagai hal, dan mencintaiku dengan tulus. Kepergiannya merantau demi mencari
sekarung beras, serta seonggok berlian untuk bekal meminangku secara resmi…..wish u get the best honey!
***
Episode-episode cinta kami terus berputar, meski sekian tahun tak
berjumpa jalinan hati ini tak jua tergoyahkan. Dan bagaimanapun juga aku
berusaha memegang kuat arti cinta yang telah kami sepakati bersama. Tak
sedetikpun berpaling, meski sekedar berniat.
“Gadis manja sepertimu, tak akan sanggup menghadapi jauhnya jarak
ini….berpalinglah padaku, aku akan lebih membahagiakanmu”
“Pria
sepertinya, dipuja berbagai wanita, kau kira sekokoh karangkah hatinya? Sebelum
kau pecah menjadi buih…..berlarilah kepadaku, aku akan lebih mewarnai harimu”. Kata-kata
yang memanaskan kupingku dan membakar jiwaku….
Memilih Diam dan berlalu adalah cara terbaik yang terpikir dan itulah
yang kulakukan. Bukannya takut tergoda, tapi aku tak terima jika ada yang meragukan
rasa cintanya padaku.
Hari-hari yang di penuhi bingkisan-bingkisan manis, coklat, brownis, buah-buahan,
terus berlanjut dan semua itu berujung di perut teman-teman kostku yang dengan
gembira menerimanya. Aku??? Azzamku masih sebaja semula “aku akan tetap
bersamanya lebih lama dari selamanya”
Meski sang musafir tetap gigih membujukku, bahkan musafir-musafir lain
makin banyak berdatangan….sungguh tak ada yang mampu menggerakkan hatiku,
seperti Dia yang telah menggerakkan hatiku ke muara cinta…..cinta mati padanya.
“I’ll waiting for you….till the end our
story”
*****
Hari kelulusanku tiba…..
“Aku rindu…..”
tangisku pecah tatkala melihat sosoknya. Senyumnya masih selembut dulu, hangat
matanya masih setulus dulu, dan seyakin hatiku seyakin itu pula hatinya. Hati
kami yang saling merindu serasa menemukan muara lewat pertemuan singkat itu…
“Pulanglah
dek, tunggu aku di kotamu…”
Senyumku
merekah, cintaku membuncah…….azzamku semakin dekat “kita akan bersama lebih
lama dari selamanya”
***
“pilihlah nak, seorang gadis di seluruh pelosok negri ini maka ayah akan
mengusahakannya”
“pilihanku hanya
satu ayah, dia yang kupilih di seberang pulau….kalimantan”
Orang tua itu
tampak tak setuju tapi tak kuasa menahan keinginan kuat sang pemuda.
“Dan…aku akan
segera menjemputnya”
Keterkejutan
semakin jelas menggurat di wajah tuanya, tapi kebijaksanaannya lah yang
membuatnya memilih untuk tetap diam.
***
Bulan berganti, waktu terasa bagai di neraka, air mata menjadi teman
setia. Inilah cintaku yang sangat menyiksa, berharap….menunggu….dan terus
bersabar hingga asa berbuah nyata.
Setahun hampir berlalu sejak hari kelulusanku, orang tuaku ternyata belum
segenap hati merestui ketika dulu mengatakan “selesaikan dulu kuliahnya….”. Dan
kini cintaku bagai di ujung tanduk, ketika kutahu kekasih hatiku pun menghadapi
tentangan dari orang tuanya. Lagi-lagi aku tergugu tak tahu lagi mesti berbuat
apa atau harus bagaimana. Hanya Kuyakin sepenuh hati cintanya padaku tak
berkurang seujung kukupun. Keyakinan yang tetap memekarkan bunga-bunga cinta di
hatiku, menunggu dan terus menunggu meski tak tahu harus berapa waktu.
Batinku yang lelah berharap segera
menemukan muara, hingga dini hari itu teleponnya membangunkanku….”Dek, tunggu
aku…!”
Jantungku
berdetak cepat, rindu yang terbendung, juga cemas yang menggilas entah seperti
apa ayahku menghadapinya, ”Ini usaha terakhirku dek…., Kau tau aku sungguh
mencintaimu, semoga Allah mendengar doa kita”
Dia datang…..pekikku dalam hati, sementara ragaku bergerak bingung harus
apa aku, akhirnya terbata aku bertutur pada ibu, berharap jiwa lembutnya
tersentuh akan kisah kasih kami.
“Saya sungguh serius pak, menginginkan putri bapak sebagai bagian hidup
saya”. Tak ada ketakutan, tak ada keraguan di wajah pria tercintaku, hanya
keyakinan dan keteguhan juga kesahajaan yang memancar. Dan itulah yang meluluh
lantakkan kekerasan hati ayahku. Wajah amarahnya yang memerah berlahan kembali
normal.
Walau tanpa senyum ia menjabat
tangan kekasih hatiku “kutitipkan putriku padamu”, seketika duniaku kembali
penuh warna, aku tak peduli lagi atas semua tumpahan air mata, toh….ceria sudah
kembali hadir menyapa.
Beberapa bulan kemudian, pernikahan kami berlangsung meriah. Hati-hati
kami yang terpaut cinta semakin semarak warna.
“selamat datang
bidadariku…..” bisiknya lembut di telingaku, menorehkan semburat jambu tidak
hanya di pipi tapi juga di hatiku…..
(semoga bahtera cinta ini terus beraroma
romantisme yang semakin mengokohkan hati kita hingga kelak bersatu sempurna di
pintu surga…..)