Posted by : Sara Amijaya Monday 23 July 2012


“Romantis itu tidak selalu dengan bunga……
  Romantis itu tak perlu puitisnya kata-kata…..
  Romantis bagiku cukuplah tindakan bermakna…..
  Pun sekedar isyarat mata penuh cinta…
  Bolehkah berharapnya padamu wahai belahan jiwa?????”
*****
Kriing….kriiing…..Dering telpon itu membangunkanku, kulirik jam tanganku jam sepuluh lewat beberapa menit…..hmmm kuharap telpon itu cukup penting karena membangunkanku di jam-jam istrahatku setelah selama seminggu ini aku menjadi panitia di kegiatan kampusku.
Kriiing….kriiing……Telpon itu terus berbunyi  tak sabar menunggu belaian tanganku. “Hallo…” dengan ogah-ogahan aku menjawabnya,
“Assalamualaikum….”  Deg…….kantukku  seketika menguap mendengar suara di seberang sana, suara yang hampir sebulan ini tak pernah kudengar lagi meski kerinduan merayap halus di batinku. “wa…wwa’alaikum salam”  jawabku agak terbata.

“Mmm….maaf mengganggu, kuharap kau mendengarkan dengan seksama di sana….”
“Oh…oke, apa?”
Keheningan tercipta sesaat sebelum suaranya memecah malam “Aku sudah memikirkan ini masak-masak, bahkan aku keluar kota beberapa waktu dan melakukan istikharah…..” aku masih tak tau apa ujung pembicaraan ini.
“Jadi, bersediakah kau menjadi calon istriku???”
Huukkk…hmmmpfff…..aku tersedak tak karuan, bukan sesuatu yang tak ingin kudengar, tapi juga bukan sesuatu yang kuharapkan untuk kudengar secepat ini….aku baru saja menerima KTP pertamaku beberapa bulan lalu.
“Apa….? Bisa di ulangi?”
Suara tawanya terdengar renyah, serenyah wafer yang aku sukai.
“Jangan membuatku mengatakannya ulang, bukankah aku sudah menyuruhmu mendengarkan dengan seksama, lalu apa jawabannya?” nada suara yang membuatku tak berhasil menyelami rasa sesungguhnya.
“Harus sekarangkah?” Aku mencoba menawar  untuk memberi jawaban.
“Jelas….sekarang! atau pertanyaan dan atau pernyataan tadi tidak berlaku lagi”
Haaaa???? Oh My God….jenis pria apa yang kau kirim untukku ini.
“Oke….insyaallah”
“Alhamdulillah….” Kurasa aku menangkap helaan kelegaan di seberang sana.
“persiapkan dirimu baik-baik ya….”
“Haa…untuk apa?” aku gelagapan memikirkan sebuah angan yang masih jauh.
“Untuk menjadi wanita sholehah yang kelak menjadi istri dan ibu yang sholehah pula….” Aku terdiam lama hingga mungkin telah kehilangan beberapa kalimat yang diucapkannya. Dia sungguh-sungguh memikirkanku ya….
“Tidurlah lagi….selamat malam, have a nice dream….Assalamualaikum”
“Wa’alaikum salam” bahkan pembicaraan itu telah berakhir setengah jam yang lalu. Tapi aku mematung, merasa tak yakin, gamang, sekaligus senang tak ketulungan. Ketika akhirnya sadar aku telah lelap bermimpi bersama bintang-bintang di kamar kosku yang lengang. What a romantic thing! Pikirku…….
***
Pagi menyapa, rutinitasku berlangsung…..kuliah pagi menungguku. Dengan sedikit grabak-grubuk aku berlari ke kampus yang memang terlihat dari kamar kosku. Hingga malam kembali merayap, aku masih seolah tersihir atas kejadian semalam. Hari demi hari berlalu, hingga seminggu terlewati, aduhai….kemana dia sang pangeran teleponku, ataukah aku sungguh bermimpi di malam itu?????
Hampir saja aku memutuskan demikan….-I’m just dreaming that- ketika suatu pagi, Ia sungguh datang menemuiku…..
“Jawabannya masih  sama?”
“Eng….apa?”
“Yang malam itu…..”
“Oh….serius toh ternyata” aku berucap pelan.
“Ya….seriuslah, jadi jawabannya tetap???” tanyanya tak sabar.
“Mmmm…insyaallah”  Aku menjawab dengan setenang mungkin,  meski terasa ingin melonjak-lonjak, rasanya cukup sopan jika aku menjaga kesantunan di hadapan “calon suami’ ku ini hehehe…sapa tau dia berubah pikiran…oh nooooo^_^
“Kapan aku boleh menghubungi bapak?”  haaa….apa katanya….”bapak?”   bapak siapa maksudnya, “Bapakku? Bapak di Kalimantan?” tanyaku tak yakin
“Mang punya bapak berapa?”
 “Hedeuh…apa hubungan ini tak bisa disederhanakan, tanpa melibatkan Bapak, he’s like a lion you know?”
“Kau tak cukup mengerti rupanya, baiklah….dengarkan dengan baik”
“Aku memintamu menjadi calon istriku…-CALON ISTRI- ….berarti aku harus melamarmu agar status itu bisa resmi kusandangkan padamu, dan untuk itu aku akan menghadapi seekor singa sekalipun, berikan nomor bapak” ucapan tegas yang mengharu birukan hatiku, what a serious man…..seketika dalam batinku berazzam “aku ingin bersamanya lebih lama dari selamanya”
Dan akhirnya….gelegar amarah singa sungguh menghampirinya, seketika hatiku goyah tapi tidak dengan dirinya. “Selesaikan dulu kuliahnya….” Dengan berbagai cara ia berhasil membuat ayahku mengatakan hal itu. Paling tidak restu orang tuaku telah kami terima, azzamku semakin menguat “aku akan bersamanya lebih lama dari selamanya”
***
Dini hari, sesaat setelah matahari mengucek mata telepon di kamarku berdering “Keluar dek…..”  suaranya langsung terdengar, mengagetkanku.
“Kemana?” setengah bingung aku berpikir…what next?
“Temui abang di luar”.
Dengan tak yakin aku keluar, celingak-celinguk di pinggir jalan….rasanya aku tengah di kerjai.
“Selamat 19 tahun dek….” Suara itu mengagetkanku, sosok tinggi 180cm itu tepat di belakangku. “Aku tak begitu suka merayakan ulang tahun dan sejenisnya, tapi kurasa ini moment yang tepat….” Ia mengulurkan sebuah cincin perak yang segera di sematkannya di jari manisku. “Tunggu aku….., aku pasti menjemputmu”
Aku hanya mampu tergugu pilu, rasa cinta membuncah di dadaku pun ketika dia harus pergi meninggalkanku. Pagi itu pula diiringi doa dan airmata aku melepas kepergiannya. Dia sosok yang begitu kasih membimbingku, mengajarkan berbagai hal, dan mencintaiku dengan tulus. Kepergiannya merantau demi mencari sekarung beras, serta seonggok berlian untuk bekal meminangku secara resmi…..wish u get the best honey!
***
Episode-episode cinta kami terus berputar, meski sekian tahun tak berjumpa jalinan hati ini tak jua tergoyahkan. Dan bagaimanapun juga aku berusaha memegang kuat arti cinta yang telah kami sepakati bersama. Tak sedetikpun berpaling, meski sekedar berniat.
“Gadis manja sepertimu, tak akan sanggup menghadapi jauhnya jarak ini….berpalinglah padaku, aku akan lebih membahagiakanmu”
“Pria sepertinya, dipuja berbagai wanita, kau kira sekokoh karangkah hatinya? Sebelum kau pecah menjadi buih…..berlarilah kepadaku, aku akan lebih mewarnai harimu”. Kata-kata yang memanaskan kupingku dan membakar jiwaku….
Memilih Diam dan berlalu adalah cara terbaik yang terpikir dan itulah yang kulakukan. Bukannya takut tergoda, tapi aku tak terima jika ada yang meragukan rasa cintanya padaku.
Hari-hari yang di penuhi bingkisan-bingkisan manis, coklat, brownis, buah-buahan, terus berlanjut dan semua itu berujung di perut teman-teman kostku yang dengan gembira menerimanya. Aku??? Azzamku masih sebaja semula “aku akan tetap bersamanya lebih lama dari selamanya”
Meski sang musafir tetap gigih membujukku, bahkan musafir-musafir lain makin banyak berdatangan….sungguh tak ada yang mampu menggerakkan hatiku, seperti Dia yang telah menggerakkan hatiku ke muara cinta…..cinta mati padanya. “I’ll waiting for you….till the end our story”
*****
Hari kelulusanku tiba…..
“Aku rindu…..” tangisku pecah tatkala melihat sosoknya. Senyumnya masih selembut dulu, hangat matanya masih setulus dulu, dan seyakin hatiku seyakin itu pula hatinya. Hati kami yang saling merindu serasa menemukan muara lewat pertemuan singkat itu…
“Pulanglah dek,  tunggu aku di kotamu…”
Senyumku merekah, cintaku membuncah…….azzamku semakin dekat “kita akan bersama lebih lama dari selamanya”
***
“pilihlah nak, seorang gadis di seluruh pelosok negri ini maka ayah akan mengusahakannya”
“pilihanku hanya satu ayah, dia yang kupilih di seberang pulau….kalimantan”
Orang tua itu tampak tak setuju tapi tak kuasa menahan keinginan kuat sang pemuda.
“Dan…aku akan segera menjemputnya”
Keterkejutan semakin jelas menggurat di wajah tuanya, tapi kebijaksanaannya lah yang membuatnya memilih untuk tetap diam.
***
Bulan berganti, waktu terasa bagai di neraka, air mata menjadi teman setia. Inilah cintaku yang sangat menyiksa, berharap….menunggu….dan terus bersabar hingga asa berbuah nyata.
Setahun hampir berlalu sejak hari kelulusanku, orang tuaku ternyata belum segenap hati merestui ketika dulu mengatakan “selesaikan dulu kuliahnya….”. Dan kini cintaku bagai di ujung tanduk, ketika kutahu kekasih hatiku pun menghadapi tentangan dari orang tuanya. Lagi-lagi aku tergugu tak tahu lagi mesti berbuat apa atau harus bagaimana. Hanya Kuyakin sepenuh hati cintanya padaku tak berkurang seujung kukupun. Keyakinan yang tetap memekarkan bunga-bunga cinta di hatiku, menunggu dan terus menunggu meski tak tahu harus berapa waktu.
 Batinku yang lelah berharap segera menemukan muara, hingga dini hari itu teleponnya membangunkanku….”Dek, tunggu aku…!”
Jantungku berdetak cepat, rindu yang terbendung, juga cemas yang menggilas entah seperti apa ayahku menghadapinya, ”Ini usaha terakhirku dek…., Kau tau aku sungguh mencintaimu, semoga Allah mendengar doa kita”
Dia datang…..pekikku dalam hati, sementara ragaku bergerak bingung harus apa aku, akhirnya terbata aku bertutur pada ibu, berharap jiwa lembutnya tersentuh akan kisah kasih kami.
“Saya sungguh serius pak, menginginkan putri bapak sebagai bagian hidup saya”. Tak ada ketakutan, tak ada keraguan di wajah pria tercintaku, hanya keyakinan dan keteguhan juga kesahajaan yang memancar. Dan itulah yang meluluh lantakkan kekerasan hati ayahku. Wajah amarahnya yang memerah berlahan kembali normal.
 Walau tanpa senyum ia menjabat tangan kekasih hatiku “kutitipkan putriku padamu”, seketika duniaku kembali penuh warna, aku tak peduli lagi atas semua tumpahan air mata, toh….ceria sudah kembali hadir menyapa.
Beberapa bulan kemudian, pernikahan kami berlangsung meriah. Hati-hati kami yang terpaut cinta semakin semarak warna.
“selamat datang bidadariku…..” bisiknya lembut di telingaku, menorehkan semburat jambu tidak hanya di pipi tapi juga di hatiku…..

(semoga bahtera cinta ini terus beraroma romantisme yang semakin mengokohkan hati kita hingga kelak bersatu sempurna di pintu surga…..)

- Copyright © Sara's Talk - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -