Bintang malam katakan padanya
Aku ingin melukis sinarmu di hatinya
Embun pagi sampaikan padanya
Biar ku dekap erat waktu dingin membelenggunya
Tahukah engkau wahai langit
Aku ingin bertemu membelai wajahnya
Kan ku pasang hiasan angkasa yang terindah
Hanya untuk dirinya
Lirik lagu rindu yang dilantunkan Kerispatih terdengar seperti rinai hujan di
hatiku. “Naya….”
Nama itu masih bergema di hatiku. Selalu menimbulkan tanya dan rasa
frustasi di ego lelakiku. Membuatku
berusaha keras mengambil proyek di tempat terpencil ini, berharap mampu
menuntaskan rasa yang tak kunjung padam di hati ini. Dan beginilah hatiku….
Kapanpun bertemu dengannya hasilnya
sama saja, aku tetap menjadi pecundang.
***
“Selamat
pagi” Sapa pendekku cukup membuat semua
karyawan di ruangan itu bangkit serentak. Tapi tidak dengan dia, gadis manis
berjilbab di pojok sana. Ia hanya mengangkat mukanya sejenak, mengangguk
kecil dan kembali sibuk dengan tumpukan
pekerjaannya. Demikian pula ketika karyawan lain sibuk menyalamiku, Ia hanya
mengatupkan kedua belah tangan di depan dadanya.
“Apakah
kau mengenaliku????” Aku bertanya pelan di depan mejanya.
“Bapak Adrian Jaya Rimboko,SE?” jawabnya tanpa
sedikitpun menoleh ke arahku.
“P.hD
” jawabku cepat, mencoba menuai ketertarikan dan kagum di wajahnya. Dan
hasilnya nihil.
“Aku tak menyangka ada perusahaan yang mau
menerima karyawan dengan jubah dan jilbab lebar sepertimu”
Ia
hanya mengendikkan bahu mendengar kalimat yang kumaksud untuk menyindirnya.
”Tampaknya
perusahaan ini lebih memilih kualitas ketimbang semua atribut konyol yang anda
permasalahkan. Toh, aku hanya karyawan di balik layar, tak ada yang peduli
dengan apa yang aku kenakan” senyum manisnya tersungging sedikit.
Sial,
aku sungguh merindukan senyum manis itu.
“Maaf pak, mari saya antar ke ruangan Bapak”
suara itu mengurungkan niatku untuk berbincang lama dengan wanita berjilbab
lebar itu….Naya.
Apapun
yang keluar dari bibirnya, meski sekedar gerutuan sungguh aku ingin mendengarnya.
Tapi, diamnya sungguh tak terusik
membuatku sadar diri tujuan kedatanganku ke perusahaan ini tak semata
untuk menatap wajahnya.
***
“Aku
bosaaaan…” teriakku sekuat tenaga. Cukup untuk membuat semua bantal dan buku
beterbangan ke arahku. “He…he…ayolah teman bantu aku menghilangkan kebosanan
ini”.
“Tumben
kamu bosan Dri. Biasanya kamu selalu sibuk kencan sampai tak mengenal kata
bosan” Eko mengernyit serius.
“Itulah
kawan, aku sudah bosan dengan ini semua, mereka seperti bunga yang terlalu pasrah diisap madunya oleh
para kumbang”
“Kau
kenal Naya…?” Tanya Rio mengantarkan hatiku mengenal nama itu pertama kali.
“Gak tuh….sapa? bagaimana? berapa?” pertanyaan asalku cukup untuk mendaratkan
jitakan Rio di kepalaku. Tumben wajah kalemnya tampak berang “Sorry bro, aku
becanda lagi” aku terkekeh memasang wajah menyesal.
“Besok
ikut aku, dia jaga stand penerimaan
anggota untuk organisasi ekstern kampus”
“Aku
ikut juga dong” Eko tak mau kalah.
Sikap
Rio menggelitik penasaranku, alarm petualangku berdering nyaring seolah
mengingatkanku akan buruan yang menyenangkan. Rio sahabat dekatku sejak kecil,
sifatnya satu kali duanya denganku, bedanya ia lebih serius.
***
“Itu
Naya…” tunjuk Rio. Aku dan Eko segera mengikuti arah tangan Rio. Kecewa
melandaku, apa-apaan Rio, sejak kapan seleranya jauh menurun begini. Fiuuh…aku
hampir segera beranjak tatkala gadis itu setengah berlari ke arah kami. “Assalamualaikum…”
sapanya ramah, suaranya renyah.
“Gimana mas? Jadi daftarnya?” Rupanya ia dan Rio
sudah saling mengenal.
Rio menatap kami penuh arti “Kalau kamu bisa
membujuk teman-temanku untuk ikut bergabung, aku juga ikut”
Jawaban
Rio menimbulkan senyum di bibirku juga
Eko. Aku, ikut organisasi Mahasiswa Islam begini? Mimpipun tak pernah. Dan aku
sudah setengah mendengar suara Naya yang akan merayu-rayu kami dengan berbagai
cara sebelum kata-katanya kemudian justru membuatku terbengong-bengong.
“Oh…begitu
ya? kalau gitu formulirnya saya tarik aja mas, kami gak butuh anggota yang
bergabung cuma karena ikut-ikutan.”
“Makasih mas….Assalamualaikum” Suaranya ringan
tapi terdengar berbeda di telingaku dan…ia berlalu begitu saja. Rio
menertawaiku yang masih terbengong lama menatap punggung Naya yang makin
menjauh.
“Itulah
maksudku, gadis itu tak menawan tapi dia punya sesuatu”
“Berkarakter…” desisku pelan tapi cukup
didengar oleh kawan-kawanku.
”Aku
jadi penasaran pengen ikut tu organisasi” Eko berkomentar.
“Halah…paling
ini triknya dia biar orang penasaran buat ikut, ayolah kita ladeni. Kita gabung
yuk!” ujarku bersemangat.
Dan
itulah kesalahan pertamaku…..
***
“Pak…pak
Adrian” suara itu menyadarkanku dari lamunan panjang.
“Ah
ya maaf, saya agak lelah setelah perjalanan jauh ini” gadis itu tersenyum
mengerti.
“Baik
pak, silahkan beristirahat sejenak, kontrak-kontrak ini saya tinggal. Silahkan
dipelajari dulu”
“Tunggu…”
‘Ya
Pak, ada yang bisa saya bantu?”
“Saya
ingin bertanya tentang salah seorang karyawan di sini, boleh?” tampaknya Ia
cukup cerdas memahami nada suaraku.
“Tentu
pak…”ujarnya tersenyum.
”Gadis
berjilbab lebar tadi….mmmm”
“Bu
Naya pak”
“Ah
ya…Naya, bisa kau ceritakan tentang dia?” Gadis itu tampak manggut-manggut.
“Sebelum bekerja disini Bu Naya membuka Firma sendiri, Konsultan Akuntansi dan
keuangan. Beliau hebat dibidangnya pak. Jadi bos berkeras menarik beliau ke perusahaan
ini. Tentu saja segala syarat Bu Naya dipenuhi, baik soal pakaian, gaji maupun
tunjangan-tunjangannya, terlebih Bu Naya dikontrak untuk tidak lagi menerima
konsultasi dari perusahaan lain”.
“Keluarganya?”
“Suami
maksud Bapak?” Aku hanya menganguk.
“Pak
Dani, suami Bu Naya bekerja di salah satu Bank syariah di daerah ini Pak.
Beliau juga membidangi beberapa LSM dan KPAI daerah”
“Ada lagi pak?”
“Mmm… apa kau tak heran dengan pertanyaanku?”
Gadis
itu tersenyum sambil menggeleng “Bapak bukan yang pertama bertanya mengenai Bu Naya,
karena penampilannya tergolong unik untuk lingkungan seperti kantor ini”.
Aku
terdiam lama, meresapi dalam-dalam informasi ini. Diam-diam kesal merayapi
hatiku. Sial, lagi-lagi aku menggerutu dalam hati. Sekali lagi Naya membuktikan
dengan mempertahankan idealismenya, ia tetap bisa hidup berkecukupan. Akh, aku lupa, Naya adalah wanita cerdas dan
ahli dalam bidangnya. Kurasa gabungan idelisme dan kemampuannya itu menjadi
nilai jual tersendiri di tengah persaingan dunia ini.
Diam-diam
aku merasa malu mengingat sikapku 7 tahun silam tatkala mencoba membeli cinta
Naya dengan bergram-gram emas. Fiuuhhh…
***
Aku
terkaget-kaget tatkala menyadari hatiku begitu terpaut pada Naya. Tapi, saat
aku menyadarinya rasanya semuanya sudah terlambat. Naya yang dulu kutemui
pertama kali, berlari-lari lincah dalam balutan celana serta jilbab gaulnya
berubah cepat. Penampilannya bertransformasi dengan indah. Balutan gamis panjang
dan jilbab lebar kian memperanggun tampilannya yang memang manis.
Naya
semakin jauh dari hari-hariku. Bodohnya saat itu aku terbawa emosi begitu
mengetahui azzamnya untuk tak berpacaran dan ingin menikah dini. Aku
menganggapnya sekedar jual mahal dan saat itu aku merasa Naya tak akan
kemana-mana. Pikirku, akulah satu-satunya lelaki yang ingin memilikinya.
Dan
ya itulah kesalahan keduaku….
“Aku
tak mengerti apa gunanya semua perhiasan ini, bawalah pulang dan jangan pernah
menemuiku lagi” kali terakhir Naya dengan sukarela menjumpai dan berbicara
langsung padaku. Aku termangu menatap kotak perhiasan di depanku. Kurang
indahkah?
Dan
saat keinginanku semakin besar untuk memilikinya, akupun melamarnya tentu saja
dengan sepucuk surat yang kutitipkan pada ibu kostnya. Karena Naya benar-benar
tak mau menemui atau mengangkat teleponku lagi.
Kali
ini ia membalas suratku, tapi sialnya isinya singkat dan sangat mengecewakan.
“Aku
telah menerima lamaran pria lain beberapa waktu lalu” Hei, jadi aku kalah hanya
karena masalah waktu. Oh tidak bagaimana mungkin seorang Adrian bisa menerima
kekalahan semacam itu. Aku nekad mencegatnya sepulang kajian rutin yang
diikutinya. Dan mau tak mau dia terpaksa berbicara denganku.
“Naya
aku serius, sebutkan syaratnya? Apapun…” ucapku saat itu.
“Kau
sudah membaca suratku?”balasnya singkat.
”Aku
tak bisa menerima jika ini hanya masalah waktu, kau masih bisa memilihku “
“Jika
lebih cepatpun aku tetap tak akan memilihmu”
“Kenapa?””
“Wanita
dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena
parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang bagus
agamanya. Bukankah itu juga berlaku bagi pria?”
“Apa
yang salah dengan agamaku, aku Islam Naya. Dan aku yakin aku lebih fasih
membaca kitab kuning daripadamu. Lebihnya aku tampan, kaya dan dari keluarga
terpandang” Naya hanya menggeleng.
“Kau
memang tak mengerti”
“Buat
aku mengerti” ujarku keras kepala.
Naya
menuliskan secarik alamat di sebuah kertas ”Temuilah Dani. Maka kau akan
mengerti pilihan hidupku”
“Siapa
dia? Lelaki yang akan menikahimu”tanyaku sinis. Naya hanya mengendikkan bahu
dan bergegas meninggalkanku bersama teman-temannya.
Amarah
dan rasa penasaran menuntunku ke sebuah kos sederhana. Aku tak berniat menemui
pria ini. Siapa namanya…Dani ya Dani,
aku hanya akan menilainya dari jauh. Aku ingin tahu kelebihan apa yang
dimilikinya dan tidak dimilikiku.
“Pak,
kenal Dani yang tinggal di sana?” tanyaku sambil lalu pada bapak penjaga warung
tempatku membeli rokok.
“Mas
Dani yang anak hukum itu mas?”
“Heeh”
oh anak hukum toh pikirku.
“Jam
segini sih jarang ada Mas, biasanya Mas Dani pulang ba’da Isya”
“Oh
kemana dia?”
“Mas
Dani sebentar lagi pindah ke Batam mas, tapi ia masih menyelesaikan kontrak
magangnya di kantor notaris. Trus ya nanti habis maghrib ngajar anak-anak ngaji
di masjid pojok sana mas. Ya selesainya paling ba’da isya toh mas”
“Eh…oalah
ada toh masnya, itu mas yang pake baju biru” tunjuknya pada seorang pria yang sedang
membuang sampah tepat di depan kos tersebut.
Naya
pasti salah….apa lebihnya makhluk ini. Okelah dia tinggi mmm 180 cm mungkin, dan
putih. Tapi, ya ampun apa-apaan jenggotnya itu, kacamatanya, celananya pula
cantung…ckckckck.
Kubandingkan
denganku, okelah tinggiku mungkin kurang sedikit dibandingkan pria itu, tapi jelas aku lebih tampan.
Penampilanku pun modis. Ya…aku jauh lebih keren daripada pria culun bertampang
Harry potter itu. Naya pasti melakukan kesalahan.
Aku
memaksa menemuinya sekali lagi. Lagi-lagi harus mencegatnya sepulang kajian
rutin yang diikutinya.
“What
now?” katanya dingin.
“Aku
tetap tak mengerti Naya, tapi jika aku harus menumbuhkan jenggot dan merubah
penampilanku untuk dapat menikahimu, I’ll do it” kataku mantap.
“Kau
benar-benar tak mengerti Dri, aku….”
“Pergilah
ukhti, biar aku menjelaskan pada saudara ini” Suara tegas itu memutus
ucapan Naya.
Ah…siapa
pula pria tua ini, penampilannya sama persis dengan Dani. Tapi, baiklah aku
butuh penjelasan untuk memahami semua ini, dari siapapun.
Dan
penjelasan pria tua yang ternyata ustad Naya itu membuatku pusing tujuh
keliling. Aku tidak buta soal islam, meski tak mengecap bangku pesantren
orangtuaku cukup baik memanggilkan orang alim ke rumah untuk mengajarku
mengaji, dan membaca kitab kuning. Oke aku memang tak mengamalkan semua hal
yang sempat aku pelajari. Tapi apa yang salah dengan menikmati hidup, aku akan
berubah suatu saat nanti. Jika menikah mungkin.
Bukankah
Islam itu tidak melulu soal jenggot dan celana cantung, iyakan???? Sunnah? yayaya….aku
akan mempelajarinya pelan-pelan. Sangat pelan ternyata….
“Naya
tunggu aku…” kataku mantap padanya
“Tidak…aku
akan menikah”
“Tidak…kau
akan menungguku” kataku yakin sekali, terlebih Naya hanya diam. Diam yang
kusalah artikan bahwa ia akan menungguku. Jika kuingat sekarang diam Naya saat
itu adalah bentuk keputusasaan atas kebebalanku dalam memahami jalan hidupnya.
Naya
semakin menghilang dari keseharianku, semakin susah menemuinya karena
kepindahannya ke pondok dan urusannya di kampus semata tinggal menunggu
wisudanya. Tak masalah bagiku, karena akupun tengah sibuk mempelajari hal-hal
baru sebagai syarat menyunting Naya.
Hal
yang tak kuduga adalah Naya tak mengikuti upacara wisudanya, padahal aku
bermaksud mengejutkannya dengan penampilan baruku. Naya telah pulang dan
menikah dengan pria culun itu.
Aku
marah saat itu, marah besar dan melarutkanku semakin jauh pada kenikmatan dunia
yang menyesatkan.
7
tahun berlalu, aku semakin bersinar dalam kemilau dunia. Tapi, terasa ada yang
kurang dalam hidupku. Bayangan Naya terus bermain dalam benakku, membuatku tak
mampu menikahi gadis manapun yang disodorkan orangtua juga rekan-rekan bisnisku.
Meski
masih jauh dari sosok Naya dan teman-temannya. Pelan-pelan aku memperbaiki
diriku. Menjalankan sholat yang sejak kepergiaan Naya telah aku tinggalkan,
sesekali mengunjungi masjid mendengarkan ceramah-ceramah dan sebagainya. Tapi
kekosongan masih mengisi hatiku, menuntun langkahku menjelajahi kota kecil di
pedalaman Kalimantan ini. Ya disinilah aku…menjumpai bidadari hatiku, Naya.
Berharap
ketidak bahagiaannya menjadi sedikit obat penenang bagiku. Mengira jika
melihatku yang kini sukses bisa menimbulkan sedikit sesal dihati Naya karena
telah menolakku.Tapi, justru akulah yang
merasa sesak karena ternyata Naya baik-baik saja.
***
“Bisa
saya bekerjasama dengan Bu Naya?”
“Mmm…maaf
pak, rasanya akan sulit” gadis itu tampak serba salah.
“Kenapa?”
tanyaku penuh nada intimidasi.
“Bu
Naya sudah mengajukan cuti sampai 3 minggu ke depan pak”
“Apa….?”
Tanpa sadar aku menggebrak meja. Gadis itu tampak terkejut dan ketakutan.
“Maaf,
saya hanya sedikit tersinggung. Apa perusahaan ini meremehkan saya sehingga
tidak melibatkan staf-staf terbaiknya dalam proyek saya ini?”
“Sekali
lagi maaf Pak, kami sudah menempatkan pengganti Bu Naya sebagai konsultan
keuangan proyek Bapak, dan beliau tidak kalah ahlinya dengan Bu Naya”
“Tapi,
saya ingin Naya..N- A-Y-A, jelas?” keryit terkejut coba diredam oleh dua mata itu.
“Mmm…saya
akan memberitahu Manajer atas keinginan bapak ini. Mohon maaf atas ketidaknyamanan
ini”
Aku
menarik nafas panjang, aku nyaris kehilangan akal sehatku. Naya…Naya…setelah 7
tahun merindukanmu, tak akan kubiarkan engkau menghindariku secepat ini. Kali
ini aku akan memaksamu untuk melihat kepiawaianku, dan menyesallah karena telah
mengabaikanku.
***
“Assalamualaikum….”
Aku
tersenyum girang, suara Naya terdengar jernih di seberang sana.
“Saya
Naya, Pak…”
“Ya,
aku mengenali suaramu. Aku mentolerir ketidakhadiranmu beberapa hari ini,
segera masuk! Banyak hal yang harus kita kerjakan…” Betapa aku begitu bermurah
hati padamu, Naya….
“Kita?
Saya tidak, mungkin Anda. Saya hanya ingin menyampaikan jangan mengintimidasi
perusahaan lagi, karena sejak hari ini saya sudah mengundurkan diri”
“Apa?
Naya..”
“Saya
minta maaf jika di masa lalu saya pernah menyakiti perasaan anda. Tapi semua
telah lama berlalu, saya berharap Bapak Adrian yang terhormat cukup bijak untuk
tidak mengaitkan apapaun masalah bapak pribadi terhadap saya dengan profesionalitas
kerja Bapak yang dalam hal ini melibatkan perusahaan tempat saya pernah
bekerja”
“Naya,
kau salah mengerti, jangan begitu….Naya tunggu, dengarkan aku…”
Tut…tut..tut…nada
putus pada ponselku, benar-benar membuatku frustasi. Naya….Naya….mengapa
begini.
Lagi-lagi
aku membuat kesalahan yang membuat Naya semakin jauh dariku. Entah apa yang
kuharapkan dengan semua ini…aku hanya ingin tau bagaimana mengatasi perasaanku
selama ini.
“Rio…tolong
aku!”
***
“Sudahlah
Dri, lupakan Naya. Buka hatimu. Itu bukan lagi cinta tapi obsesi”.
Aku
menggeleng pada Rio sahabatku, yang begitu baik. Ia bergegas terbang menemuiku
di kota terpencil ini semata menolong aku….pria pecundang yang selamanya
menjadi pecundang.
“Aku
tidak apa-apa. Tolong selesaikan proyek ini untukku….”
“Kau
mau kemana?” Rio berseru demi melihat aku yang beranjak pergi.
“Mencari
ujung rasaku….”
***
Tawa
ramai anak-anak memenuhi halaman asri rumah mungil itu. Dari jauhpun aku
mengenali sosok tertawa yang bermain bersama mereka adalah Naya…bidadari
hatiku. Hatiku entah berasa apa, rona bahagia begitu lekat pada wajah itu.
Hatiku
bergejolak, saat tampak sosok pria memeluk hangat Naya, mencium ringan pipinya
untuk kemudian bergabung bersama anak-anak mereka. Aku tak tahu lagi apa yang
menggerakkan langkahku menuju mereka. Dibenakku hanya ada Naya…Naya…dan Naya.
Wajah
Naya tergeragap kaget dan pucat. Tawa anak-anak berhenti tiba-tiba. Seolah
kehadiranku adalah alien yang menakutkan dan sangat tak diharapkan. Kenyataan
itu semakin memerihkan hatiku. Hanya Pria itu yang tampak tenang menyalamiku
meski tak menyilahkanku untuk sekedar menjejak teras rumah mereka. Tangan Naya
mencengkram erat lengan pria itu, membuat darahku kian mendidih.
Harusnya
kulakukan ini sejak dulu, bukan setelah 7 tahun ini. Dengan segenap hati aku
menatap pria itu “Aku mencintai Naya” ujarku lepas. Detik yang menegangkan
bagiku. Karena sungguh ketenangannya menciutkan nyaliku. Aku membayangkan
sebuah pukulan mendarat diwajahku, atau tendangan mencium perutku. Tapi apa
yang kudengar benar-benar menghantam langsung kehatiku, menikam jantungku, dan
meluluhlantakkan semua kesombonganku.
” Akupun mencintai Naya, karena Allah” suaranya tegas
dan penuh keyakinan.
Pertama
kalinya aku menyadari kekuranganku di banding pria itu…..
***
Meski
rasaku belum berubah,
Warna
hatiku sudah menjernih,
Kesadaran
teduh mengikis luka hati
Mengembalikan
manusia kepada jejak yang fitri
Dan
semoga, semua ketulusan itu
Meninggalkan
jejak hidayah di hatiku…..
Semoga!