Posted by : Sara Amijaya Monday 23 July 2012


powered by Google
Subuh baru menjelang, ketika aku memaksa mataku membuka dan menyeret langkahku menuju kamar mandi. Seketika dinginnya air wudhu menyegarkan mataku. Sebelum mendirikan sholat subuh, aku mengguncang lembut tubuh Ary sahabatku, “Ry…bangun, sholat dulu, ntar dilanjut lagi tidurnya”. Hmmm…guncangan yang tak berarti, karena kulihat Ary justru merapatkan selimutnya. Wajar sih, setelah seminggu mengikuti kegiatan pengkaderan kampus, malam tadi mungkin merupakan tidur ternyenyak kami.

 Maka, kuguncang lagi tubuhnya dengan lebih keras “Ry…bangun gih, aku gak nanggung ah kalu kamu kesiangan sholat subuh…”.
“Mmmm…ya…ya…lima menit lagi Sya, aku dah bangun kok Cuma masih pusing” ujarnya pelan.

***

“Mba Syaza…Mba Syaza…tolong mba, cepetan” jerit histeris Upi memutus untaian zikir pagiku, segera kubuka mukena dan kusambar jilbabku sebelum berlari keluar dengan perasaan campur aduk, terlebih ketika aku tak lagi melihat Ary di peraduannya.

“Astagfirullah….” Mataku membelalak ngeri melihat ceceran darah yang berasal dari kamar mandi, bergegas kubantu  Upi dan Nugi teman sekostku yang  tengah  berusaha menggotong tubuh Ary. Setengah mati aku berjuang menahan lututku yang lemas dan perasaan mual yang tiba-tiba menghinggapiku, kusambar handuk kecil yang bergelantungan di jemuran tak jauh dari tempatku berdiri. Segera kutekankan handuk itu pada luka di kepala Ary, “Gi…tolong telp taxi sekarang, kita ke RS!” teriakku panik.

“Ry…bangun Ry…” kutepuk-tepuk pipinya pelan, sama sekali tak ada reaksi. Handuk yang kutempelkan di lukanya telah berubah warna menjadi kemerahan, “ Gi, mana taxinya” jeritku keras.
“Mba, telponnya gak diangkat. Mungkin masih pada tidur ini masih subuh Mba…” Suara Nugi juga sudah bercampur tangis.
“Ya Allah…” aku betul-betul semakin panik terlebih kulihat wajah Ary yang kian memucat.
“Pi, jaga Ary sebentar, ajak ngomong, bacain doa, atau apa aja!”.
“ Gi telp terus taxinya ya, kalu gak bisa coba nomor lain, cari di mejaku!”
“Aku pergi sebentar”
“Kemana Mba…?” Upi menahanku dengan tangisnya.
“Sebentar aja Pi, aku cari mobil ke kampus, titip Ary”

Untungnya jarak Kostku ke kampus bisa di tempuh dalam waktu 5 menit, ditambah dengan aku berlari semoga menit-menit itu jauh berkurang. Semalam, usai penutupan kegiatan sebagian teman-teman memutuskan untuk tidur di basecamp kampus, merekalah harapanku saat itu.

Hp ku berdering nyaring “Mba cepetan, Upi takut Mba Ary gak bangun-bangun…”
“Iya, sabar dek…banyakin zikir, tekan dulu lukanya. Nugi dah dapat Taxi?”
“Belum mba”
“Ya dah, tunggu ya…yang tenang…insyaallah gak ada apa-apa”

Meski berusaha menenangkan Upi, sebenarnya hatikulah yang lebih terasa tak tenang. Selain memikirkan keselamatan sahabatku. Aku pun memikirkan harus bagaimana mengabarkan hal ini pada ibu Ary. Karena keberadaannya di Pengkaderan Organisasi kampus adalah tanggung jawabku.
“Yaa hayyu yaa Qoyyum, birahmatika Astaghitsu Ashlihlii sya’nii kullahu walaa takilnii ila nafsii thorfata a’in…..”
Kulantunkan doa itu berulang-ulang sembari mempercepat lariku. Dan kakiku benar-benar terasa lemas ketika meelihat pelataran basecamp sunyi senyap, jangankan mobil, satu motor pun tak tampak, padahal biasanya tempat ini selalu penuh dengan berbagai kendaraan.

 Ya Allah….., tak meratapi lama aku segera berlari ke biro perjalanan yang berjarak sekitar 10 menit dari kampusku, biasanya banyak taxi di sana. Begitu tiba, aku menggedor-gedor pos satpam, dan berteriak-teriak tak karuan. Untunglah pak satpam yang tengah meringkuk berbungkuskan sarung itu segera tegak berdiri dan tanggap akan maksudku.  Beliau membangunkan seorang supir taxi dan segera aku melaju menuju kostku. Alhamdulillah…..

“Pi, aku dapat taxinya, gimana Ary?” telponku pada Upi.
“Mba Ary mulai sadar mba, tapi ngerang-ngerang gitu, sepertinya kesakitan”
“Ok, tunggu bentar ya”

Tanpa kuperintah, supir taxi segera melajukan taxinya. Dan dengan bantuan supir taxi susah payah kami semua berhasil memapah Ary ke dalam taxi dari kamar kosku yang memang berada di lantai dua. Diiringi tatapan tanya dan tak suka dari ibu kostku kami berangkat ke RS ” Nanti saya jelaskan bu, ini kondisi darurat saya pamit dulu bu” ujarku cepat seraya mencium tangannya.

Setibanya di UGD, Ary segera mendapat penanganan serius. Kamipun sadar diri, tau tak mungkin bisa membantu kami menunggu dengan tertib di luar. Menyerahkan sesuatu pada ahlinya merupakan hal bijak yang selalu kuterapkan.

“Gi, pi, dah pada sholat belum?” kulihat mereka menggeleng serempak dengan wajah kusut masai, ya jangankan sholat, cuci muka saja mungkin mereka tak sempat.
“Gih, sholat dulu, aku tunggu Ary di sini”
“Mba, bajuku penuh darah, syah gak sholatnya?” Tanya upi masih dengan sisa air mata di pipinya.
“Dibersihkan aja Pi sebisanya, titip doa untuk Mba Ary ya” Upi mengangguk dan berlalu bersama Nugi, meninggalkanku dalam ketermanguan yang kelu. Kutimang-timang HPku, jemariku memencet sebuah Nomer yang sedetik kemudian segera kubatalkan….Hufff aku belum sanggup menelpon ibu Ary. Aku benar-benar tak bisa memaafkan diriku sendiri jika terjadi apa-apa pada Ary.

Tiba-tiba pintu ruang periksa Ary terbuka, dengan hampir terjengkang aku memburu sang Dokter “Gimana Dok? Teman saya baik-baik saja?”. Sungguh senyum dokter itu menenangkan “Sekarang sudah tak apa-apa, tapi mengingat luka itu di kepala kami akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut, dimana keluarganya?”
“Mmm..iya sebentar datang dok…” jawabku gugup, “Ok nanti bisa segera menghubungi saya…” sebelum dokter itu berlalu aku bertanya cepat “Dok, boleh saya liat Ary?"
“Tentu, tapi biarkan dia istrahat ya”

Aku sama sekali tak mengerti persoalan  medis, jadi aku percaya sepenuhnya pada perkataan dokter itu. Bersama Upi dan Nugi kami mendatangi Ary. Wajahnya tampak pucat, terlebih dengan perban putih yang membalut kepalanya dan selang infus yang bergelantungan  di tangannya.

“Ry…” ujarku pelan sembari menggenggam tangannya. Matanya terbuka pelan, dan kata-katanya sungguh membuatku terenyuh “Maaf ya Sya, aku selalu merepotkanmu” aku hanya mampu menggeleng dan tersenyum menenangkan “istirahat Ry, sebentar aku telpon Ibumu ya…”

Dengan sepenuh hati dan siap dengan segala konsekuensinya kali ini aku benar-benar menelpon Ibu Ary .
“Oh ya…gak papa, sebentar tante kesana” nada suara yang datar dan jawaban yang singkat membuatku tak mampu menyelami isi hati ibu Ary.

Setengah jam kemudian dengan di temani paman Ary, ibunya datang. Meski sudah menyiapkan diri dengan amarah seperti apapun, terlebih mengingat Ary adalah anak satu-satunya, tak dianya aku cukup gemetar ketika melihat kedatangan mereka. Berbalik dari prasangkaku semula, ketika melihatku seketika itu pula ibu Ary memelukku erat…”Maaf ya sya, lagi-lagi Ary merepotkanmu…” Duh…kata-katanya persis sekali dengan kata-kata Ary tadi, menimbulkan perasaan yang sangat tak nyaman di hatiku.

“Maaf ya tante, syaza lalai jagain Ary…” dengan cepat aku menceritakan kronologis kejadian subuh tadi dan juga penjelasan singkat dokter padaku. Setelahnya barulah Ibu Ary menuju ruangan Ary. Aku memanggil Upi dan Nugi, memberikan ruang bagi ibu dan anak tersebut. Sungguh aku tahu dibalik sikap sangat tenangnya tersembunyi kekhawatiran yang amat dalam akan keselamatan Ary, anak satu-satunya. Pun begitu aku menutup kamar aku melihatnya menangis dan memeluk erat buah hatinya.

“Pi, Gi pulang gih, pada kuliah kan?” ucapku pada dua sahabatku.
“Mba gak pulang?” Tanya Upi singkat.
“Ntar deh, aku mau tahu hasil pemeriksaan Ary dulu, ntar kalu ibu kost nanya pasang ekspresi No comment aja ya…” ujarku mengeryit lucu sembari mengingat tampang ibu kostku yang galak.

Tak lama terdengar suara tawa Upi, di susul tawa berderai Nugi. Dengan kebingungan aku menatap mereka. Hei...hei…kejadian ini memang cukup mengguncang, tapi rasanya tidak mungkin membuat seseorang stress mendadak. Iya kan????

“Apaan sih?” tanyaku penasaran. Bukannya menjawab. Nugi justru mengalihkan pandangannya pada kaki-kaki kami. Kontan aku pun tertawa geli,  ya ampun….Nugi dan Upi memakai sandal yang berlainan kiri dan kanannya, aku??? Jangan tanyakan, aku bahkan tak memakai alas kaki sama sekali dan parahnya kami baru menyadari hal itu sekarang. Ditambah tampang kusut kami, dan baju bernoda darah, yah begitulah…tampang kami sungguh kucel dan malu-maluin….hmmmfff.
***
Meskipun Ibu Ary menyuruhku pulang dan beristrahat, aku berkeras menunggu hasil CT –scan kepala Ary. Ary memang sudah sadar, tapi dia bahkan tidak sanggup membuka mata, karena hal itu hanya akan membuatnya pusing dan mual yang sangat. Bagaimana aku tak khawatir.

Pikiran buruk segera menghampiriku, geger otakkah sahabatku??? atau apa??? Dan  mengapa pemeriksaan itu lama sekali. Terlebih ketika Ibu Ary bercerita tentang syaraf Ary. Sesuatu yang tak kumengerti, tapi yang pasti “sesuatu” itu membuat Ary tak bisa terlalu lelah dan banyak pikiran, hmmm syaraf…oh…syaraf…ceritamu belum berujung ternyata.

Dalam detik-detik penuh kecemasan itulah, teman-temanku dan Ary berdatangan. Sebagian membawakanku baju ganti , makanan dan juga sandalJ. Sungguh kedatangan mereka membesarkan hatiku, terlebih bersama-sama kami memanjatkan doa untuk kebaikan Ary. Berada ditengah-tengah sahabat, apapun itu membuat kita merasa jauh lebih baik. Bahkan Ary dalam kondisinya yang masih lemah bisa tersenyum dan menyalami mereka semua. Meski lebih banyak berbaring dan menutup mata, aku tahu bagi Ary kehadiran teman-teman adalah hal berharga baginya, tentu di samping kehadiran Ibu terkasihnya. Kau lihat Ry, meski tanpa ayah ternyata kau dilimpahi banyak kasih sayang dari orang-orang di sekitarmu.

Setelah 24 jam berlalu, syukurnya Ary tidak menunjukkan penurunan kondisi, dan yang pasti Ia tidak muntah-muntah, pusingnya pun sudah jauh berkurang.

Adapun hasil CT-scan itu tampaknya sudah diperkirakan oleh Ibu Ary. Wajahnya tampak tenang namun menyimak setiap kata yang terucap dari bibir Dokter. Syaraf Ary yang memang telah mengalami “sesuatu’ bertambah parah dengan adanya benturan baru di kepalanya. Aku tak tau apa efek jangka panjang dari hal tersebut. Yang pasti setelah 3 hari di rawat di RS, Ary diperbolehkan pulang, dengan catatan kontrol rutin sepekan sekali selama bulan pertama. Ibu Ary meyakinkan ku bahwa semua baik-baik saja dan Ary pasti bisa melalui semua itu. Hanya saja beliau meminta tolong padaku, yang tentu saja berusaha kupenuhi sekuat tenaga. Mengawasi Ary di kampus, karena kelelahan akut pada tubuh maupun pikirannya bisa menyebabkannya pingsan mendadak.

Hingga tahun-tahun terakhir kuliahku di Jogja, aku sebisa mungkin menjalankan pesan Ibu Ary untuk selalu mengawasinya selama di Kampus. Banyak hal terjadi sehubungan dengan sakitnya Ary, dan mungkin yang terberat adalah ketika menyangkut masalah hati. Ada suatu waktu aku benar-benar lupa akan penyakit Ary, ketika aku tak bisa  mengontrol emosiku dengan semua sikap kekanak-kanakannya. Dan kemarahanku itu adalah hal yang sangat kusesali kemudian, karena Ia tiba-tiba terkulai pingsan di hadapanku.

Belajar dari hal itu, akhirnya aku terbiasa menahan diri terhadapnya, tapi tetap membantunya agar menjadi mandiri dan tidak menjadikan sakitnya sebagai alasan untuk setiap hal-hal egois yang dilakukannya.

Dan satu hal yang kugaris bawahi, dalam situasi genting dan darurat menjadi tenang itu sangatlah susah. Tapi kita butuh ketenangan untuk bisa memikirkan langkah terbaik dan tercepat untuk menyelesaikan setiap masalah. Termasuk ketika menghadapi kecelakaan atau penyakit yang datang mendadak.

- Copyright © Sara's Talk - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -