|
powered by Google |
Subuh
baru menjelang, ketika aku memaksa mataku membuka dan menyeret langkahku menuju
kamar mandi. Seketika dinginnya air wudhu menyegarkan mataku. Sebelum
mendirikan sholat subuh, aku mengguncang lembut tubuh Ary sahabatku,
“Ry…bangun, sholat dulu, ntar dilanjut lagi tidurnya”. Hmmm…guncangan yang tak
berarti, karena kulihat Ary justru merapatkan selimutnya. Wajar sih, setelah
seminggu mengikuti kegiatan pengkaderan kampus, malam tadi mungkin merupakan
tidur ternyenyak kami.
Maka, kuguncang lagi tubuhnya dengan lebih
keras “Ry…bangun gih, aku gak nanggung ah kalu kamu kesiangan sholat subuh…”.
“Mmmm…ya…ya…lima
menit lagi Sya, aku dah bangun kok Cuma masih pusing” ujarnya pelan.
“Mba
Syaza…Mba Syaza…tolong mba, cepetan” jerit histeris Upi memutus untaian zikir
pagiku, segera kubuka mukena dan kusambar jilbabku sebelum berlari keluar
dengan perasaan campur aduk, terlebih ketika aku tak lagi melihat Ary di
peraduannya.
“Astagfirullah….”
Mataku membelalak ngeri melihat ceceran darah yang berasal dari kamar mandi, bergegas
kubantu Upi dan Nugi teman sekostku
yang tengah berusaha menggotong tubuh Ary. Setengah mati
aku berjuang menahan lututku yang lemas dan perasaan mual yang tiba-tiba
menghinggapiku, kusambar handuk kecil yang bergelantungan di jemuran tak jauh
dari tempatku berdiri. Segera kutekankan handuk itu pada luka di kepala Ary,
“Gi…tolong telp taxi sekarang, kita ke RS!” teriakku panik.
“Ry…bangun
Ry…” kutepuk-tepuk pipinya pelan, sama sekali tak ada reaksi. Handuk yang
kutempelkan di lukanya telah berubah warna menjadi kemerahan, “ Gi, mana
taxinya” jeritku keras.
“Mba,
telponnya gak diangkat. Mungkin masih pada tidur ini masih subuh Mba…” Suara
Nugi juga sudah bercampur tangis.
“Ya
Allah…” aku betul-betul semakin panik terlebih kulihat wajah Ary yang kian memucat.
“Pi,
jaga Ary sebentar, ajak ngomong, bacain doa, atau apa aja!”.
“
Gi telp terus taxinya ya, kalu gak bisa coba nomor lain, cari di mejaku!”
“Aku
pergi sebentar”
“Kemana
Mba…?” Upi menahanku dengan tangisnya.
“Sebentar
aja Pi, aku cari mobil ke kampus, titip Ary”
Untungnya
jarak Kostku ke kampus bisa di tempuh dalam waktu 5 menit, ditambah dengan aku
berlari semoga menit-menit itu jauh berkurang. Semalam, usai penutupan kegiatan
sebagian teman-teman memutuskan untuk tidur di basecamp kampus, merekalah
harapanku saat itu.
Hp
ku berdering nyaring “Mba cepetan, Upi takut Mba Ary gak bangun-bangun…”
“Iya,
sabar dek…banyakin zikir, tekan dulu lukanya. Nugi dah dapat Taxi?”
“Belum
mba”
“Ya
dah, tunggu ya…yang tenang…insyaallah gak ada apa-apa”
Meski
berusaha menenangkan Upi, sebenarnya hatikulah yang lebih terasa tak tenang.
Selain memikirkan keselamatan sahabatku. Aku pun memikirkan harus bagaimana
mengabarkan hal ini pada ibu Ary. Karena keberadaannya di Pengkaderan
Organisasi kampus adalah tanggung jawabku.
“Yaa
hayyu yaa Qoyyum, birahmatika Astaghitsu Ashlihlii sya’nii kullahu walaa takilnii
ila nafsii thorfata a’in…..”
Kulantunkan
doa itu berulang-ulang sembari mempercepat lariku. Dan kakiku benar-benar terasa
lemas ketika meelihat pelataran basecamp sunyi senyap, jangankan mobil, satu
motor pun tak tampak, padahal biasanya tempat ini selalu penuh dengan berbagai
kendaraan.
Ya Allah….., tak meratapi lama aku segera
berlari ke biro perjalanan yang berjarak sekitar 10 menit dari kampusku, biasanya
banyak taxi di sana. Begitu tiba, aku menggedor-gedor pos satpam, dan
berteriak-teriak tak karuan. Untunglah pak satpam yang tengah meringkuk berbungkuskan
sarung itu segera tegak berdiri dan tanggap akan maksudku. Beliau membangunkan seorang supir taxi dan
segera aku melaju menuju kostku. Alhamdulillah…..
“Pi,
aku dapat taxinya, gimana Ary?” telponku pada Upi.
“Mba
Ary mulai sadar mba, tapi ngerang-ngerang gitu, sepertinya kesakitan”
“Ok,
tunggu bentar ya”
Tanpa
kuperintah, supir taxi segera melajukan taxinya. Dan dengan bantuan supir taxi susah
payah kami semua berhasil memapah Ary ke dalam taxi dari kamar kosku yang
memang berada di lantai dua. Diiringi tatapan tanya dan tak suka dari ibu
kostku kami berangkat ke RS ” Nanti saya jelaskan bu, ini kondisi darurat saya
pamit dulu bu” ujarku cepat seraya mencium tangannya.
Setibanya
di UGD, Ary segera mendapat penanganan serius. Kamipun sadar diri, tau tak
mungkin bisa membantu kami menunggu dengan tertib di luar. Menyerahkan sesuatu
pada ahlinya merupakan hal bijak yang selalu kuterapkan.
“Gi,
pi, dah pada sholat belum?” kulihat mereka menggeleng serempak dengan wajah
kusut masai, ya jangankan sholat, cuci muka saja mungkin mereka tak sempat.
“Gih,
sholat dulu, aku tunggu Ary di sini”
“Mba,
bajuku penuh darah, syah gak sholatnya?” Tanya upi masih dengan sisa air mata
di pipinya.
“Dibersihkan
aja Pi sebisanya, titip doa untuk Mba Ary ya” Upi mengangguk dan berlalu
bersama Nugi, meninggalkanku dalam ketermanguan yang kelu. Kutimang-timang
HPku, jemariku memencet sebuah Nomer yang sedetik kemudian segera
kubatalkan….Hufff aku belum sanggup menelpon ibu Ary. Aku benar-benar tak bisa memaafkan
diriku sendiri jika terjadi apa-apa pada Ary.
Tiba-tiba
pintu ruang periksa Ary terbuka, dengan hampir terjengkang aku memburu sang
Dokter “Gimana Dok? Teman saya baik-baik saja?”. Sungguh senyum dokter itu
menenangkan “Sekarang sudah tak apa-apa, tapi mengingat luka itu di kepala kami
akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut, dimana keluarganya?”
“Mmm..iya
sebentar datang dok…” jawabku gugup, “Ok nanti bisa segera menghubungi saya…”
sebelum dokter itu berlalu aku bertanya cepat “Dok, boleh saya liat Ary?"
“Tentu,
tapi biarkan dia istrahat ya”
Aku
sama sekali tak mengerti persoalan
medis, jadi aku percaya sepenuhnya pada perkataan dokter itu. Bersama
Upi dan Nugi kami mendatangi Ary. Wajahnya tampak pucat, terlebih dengan perban
putih yang membalut kepalanya dan selang infus yang bergelantungan di tangannya.
“Ry…”
ujarku pelan sembari menggenggam tangannya. Matanya terbuka pelan, dan
kata-katanya sungguh membuatku terenyuh “Maaf ya Sya, aku selalu merepotkanmu”
aku hanya mampu menggeleng dan tersenyum menenangkan “istirahat Ry, sebentar
aku telpon Ibumu ya…”
Dengan
sepenuh hati dan siap dengan segala konsekuensinya kali ini aku benar-benar
menelpon Ibu Ary .
“Oh
ya…gak papa, sebentar tante kesana” nada suara yang datar dan jawaban yang
singkat membuatku tak mampu menyelami isi hati ibu Ary.
Setengah
jam kemudian dengan di temani paman Ary, ibunya datang. Meski sudah menyiapkan
diri dengan amarah seperti apapun, terlebih mengingat Ary adalah anak
satu-satunya, tak dianya aku cukup gemetar ketika melihat kedatangan mereka.
Berbalik dari prasangkaku semula, ketika melihatku seketika itu pula ibu Ary
memelukku erat…”Maaf ya sya, lagi-lagi Ary merepotkanmu…” Duh…kata-katanya
persis sekali dengan kata-kata Ary tadi, menimbulkan perasaan yang sangat tak
nyaman di hatiku.
“Maaf
ya tante, syaza lalai jagain Ary…” dengan cepat aku menceritakan kronologis
kejadian subuh tadi dan juga penjelasan singkat dokter padaku. Setelahnya
barulah Ibu Ary menuju ruangan Ary. Aku memanggil Upi dan Nugi, memberikan
ruang bagi ibu dan anak tersebut. Sungguh aku tahu dibalik sikap sangat
tenangnya tersembunyi kekhawatiran yang amat dalam akan keselamatan Ary, anak
satu-satunya. Pun begitu aku menutup kamar aku melihatnya menangis dan memeluk
erat buah hatinya.
“Pi,
Gi pulang gih, pada kuliah kan?” ucapku pada dua sahabatku.
“Mba
gak pulang?” Tanya Upi singkat.
“Ntar
deh, aku mau tahu hasil pemeriksaan Ary dulu, ntar kalu ibu kost nanya pasang ekspresi
No comment aja ya…” ujarku mengeryit lucu sembari mengingat tampang ibu kostku
yang galak.
Tak
lama terdengar suara tawa Upi, di susul tawa berderai Nugi. Dengan kebingungan
aku menatap mereka. Hei...hei…kejadian ini memang cukup mengguncang, tapi
rasanya tidak mungkin membuat seseorang stress mendadak. Iya kan????
“Apaan
sih?” tanyaku penasaran. Bukannya menjawab. Nugi justru mengalihkan
pandangannya pada kaki-kaki kami. Kontan aku pun tertawa geli, ya ampun….Nugi dan Upi memakai sandal yang
berlainan kiri dan kanannya, aku??? Jangan tanyakan, aku bahkan tak memakai
alas kaki sama sekali dan parahnya kami baru menyadari hal itu sekarang.
Ditambah tampang kusut kami, dan baju bernoda darah, yah begitulah…tampang kami
sungguh kucel dan malu-maluin….hmmmfff.
***
Meskipun
Ibu Ary menyuruhku pulang dan beristrahat, aku berkeras menunggu hasil CT –scan
kepala Ary. Ary memang sudah sadar, tapi dia bahkan tidak sanggup membuka mata,
karena hal itu hanya akan membuatnya pusing dan mual yang sangat. Bagaimana aku
tak khawatir.
Pikiran
buruk segera menghampiriku, geger otakkah sahabatku??? atau apa??? Dan mengapa pemeriksaan itu lama sekali. Terlebih
ketika Ibu Ary bercerita tentang syaraf Ary. Sesuatu yang tak kumengerti, tapi
yang pasti “sesuatu” itu membuat Ary tak bisa terlalu lelah dan banyak pikiran,
hmmm syaraf…oh…syaraf…ceritamu belum berujung ternyata.
Dalam
detik-detik penuh kecemasan itulah, teman-temanku dan Ary berdatangan. Sebagian
membawakanku baju ganti , makanan dan juga sandalJ. Sungguh
kedatangan mereka membesarkan hatiku, terlebih bersama-sama kami memanjatkan
doa untuk kebaikan Ary. Berada ditengah-tengah sahabat, apapun itu membuat kita
merasa jauh lebih baik. Bahkan Ary dalam kondisinya yang masih lemah bisa
tersenyum dan menyalami mereka semua. Meski lebih banyak berbaring dan menutup
mata, aku tahu bagi Ary kehadiran teman-teman adalah hal berharga baginya,
tentu di samping kehadiran Ibu terkasihnya. Kau lihat Ry, meski tanpa ayah
ternyata kau dilimpahi banyak kasih sayang dari orang-orang di sekitarmu.
Setelah
24 jam berlalu, syukurnya Ary tidak menunjukkan penurunan kondisi, dan yang
pasti Ia tidak muntah-muntah, pusingnya pun sudah jauh berkurang.
Adapun
hasil CT-scan itu tampaknya sudah diperkirakan oleh Ibu Ary. Wajahnya tampak
tenang namun menyimak setiap kata yang terucap dari bibir Dokter. Syaraf Ary
yang memang telah mengalami “sesuatu’ bertambah parah dengan adanya benturan
baru di kepalanya. Aku tak tau apa efek jangka panjang dari hal tersebut. Yang
pasti setelah 3 hari di rawat di RS, Ary diperbolehkan pulang, dengan catatan kontrol
rutin sepekan sekali selama bulan pertama. Ibu Ary meyakinkan ku bahwa semua
baik-baik saja dan Ary pasti bisa melalui semua itu. Hanya saja beliau meminta
tolong padaku, yang tentu saja berusaha kupenuhi sekuat tenaga. Mengawasi Ary
di kampus, karena kelelahan akut pada tubuh maupun pikirannya bisa menyebabkannya
pingsan mendadak.
Hingga
tahun-tahun terakhir kuliahku di Jogja, aku sebisa mungkin menjalankan pesan
Ibu Ary untuk selalu mengawasinya selama di Kampus. Banyak hal terjadi
sehubungan dengan sakitnya Ary, dan mungkin yang terberat adalah ketika
menyangkut masalah hati. Ada suatu waktu aku benar-benar lupa akan penyakit
Ary, ketika aku tak bisa mengontrol
emosiku dengan semua sikap kekanak-kanakannya. Dan kemarahanku itu adalah hal
yang sangat kusesali kemudian, karena Ia tiba-tiba terkulai pingsan di
hadapanku.
Belajar
dari hal itu, akhirnya aku terbiasa menahan diri terhadapnya, tapi tetap
membantunya agar menjadi mandiri dan tidak menjadikan sakitnya sebagai alasan
untuk setiap hal-hal egois yang dilakukannya.
Dan
satu hal yang kugaris bawahi, dalam situasi genting dan darurat menjadi tenang
itu sangatlah susah. Tapi kita butuh ketenangan untuk bisa memikirkan langkah
terbaik dan tercepat untuk menyelesaikan setiap masalah. Termasuk ketika
menghadapi kecelakaan atau penyakit yang datang mendadak.