“Setiap
anak, baik lelaki maupun perempuan adalah calon pemimpin, minimal pemimpin bagi
diri mereka sendiri”
--------------------------------------------------------------------------------------------
“Subhanallah
Ummi, Amma adalah anak yang cerdas dan berjiwa pemimpin. Tanpa malu-malu Amma
maju kedepan kelas dan dengan lantang bercerita betapa Amma mengagumi sahabat
Umar bin Khattab”.
Sms yang masuk ke ponselku itu benar-benar
seperti oase di tengah tumpukan berkas pekerjaanku. Sms-sms serupa kerap kuterima
dari ustadzah di kelas RA Amma dulu.
Masih
teringat ketika Amma yang saat itu berumur 4,5 tahun. Ia pertama kali
menyatakan keinginannya untuk bersekolah. Padahal saat itu sudah masa tengah
semester. Sebelumnya Amma menolak keras untuk bersekolah. Dan memang pilihan kami
orangtuanya , kami hanya akan menyekolahkannya ketika ia benar-benar siap untuk
bersekolah.
Dan
begitulah, Abinya terpaksa berputar-putar dari satu TK ke TK lainnya yang mau
menerima murid di tengah tahun ajaran. Setelah mendatangi beberapa TK dan
mendapati penolakan , syukurlah sebuah TK yang cukup bonafit justru mau
menerima Amma dengan tangan terbuka. Dan hari itu pula Amma langsung
bersekolah. Tanpa ditemani, tanpa ditunggui. Alhamdulillah….jangan ditanya how proud my feeling is…
|
Amma (5 tahun) yang pulang pergi sendiri dengan bis sekolahnya |
Meski
masuk di tengah tahun ajaran, ternyata Amma tak ketinggalan satu hal pun. Ia cepat
bergaul dan berteman baik dengan teman-teman sekelasnya. Ia aktif bertanya dan
menjawab setiap hal di kelasnya. Alhamdulillah….lagi-lagi jangan ditanya how proud my feeling is….
Saat
tahun ajaran selanjutnya, atas permintaan Amma sendiri aku memasukkannya ke
sebuah RA berbasis alam untuk kelas tahfidz. Dengan pengajar yang selalu
memberi info-info terkini tentang perkembangan Amma di sekolah membuatku
semakin bangga terhadap putri sulungku tersebut. Saat ini Amma berusia 6 tahun
dan bersekolah di sebuh SD Negri berbasis Islam.
|
Amma (6 tahun), sekolah pun tetap Syar'i |
***
Punya
anak yang cerdas dan berjiwa pemimpin
jelas bikin bangga. Dan tentu hal tersebut tidak terbentuk dengan sendirinya.
Sangat dibutuhkan peran aktif orang tua yang merupakan pintu gerbang
pembentukan karakter dasar mereka. Tentu bukan tugas ringan dan mudah. Karena
menjadi orang tua adalah peran yang tak memiliki jalur pendidikan resmi.
Kebanyakan
orang tua hanya memiliki bekal pengalaman sebagai anak yang dulunya dididik
oleh orang tuanya, sehingga kemudian mengasuh anak-anaknya dengan pola
pendidikan “warisan” tersebut. Seharusnya, kita memperlakukan anak-anak sebagaimana kita ingin diperlakukan oleh orang tua kita dulu.
Sebagai
orang tua kita harus mampu mendeteksi kebutuhan anak dan memfasilitasinya,
bukan malah membatasi gerak dan perkembangan anak dengan berbagai larangan dan
pantangan. [1]
Belajar
dari pengalaman pribadi maupun orang lain, serta hasil berbagi kisah dengan
para orang tua lainnya. Aku menyaring beberapa hal penting yang akhirnya
kuterapkan dalam pendidikan putra putriku.
Parent
by example. Anak akan melihat perilaku kesaharian orang tuanya dan kemudian
menduplikasinya. Maka sepantasnya kita wajib menjaga konsistensi dalam segala
hal. Jika kita meminta anak untuk belajar maka tentu bukan hal sepantasnya jika
kita kemudian malah asyik menonton TV. Kita bisa mendampinginya belajar,
membaca buku atau melaksanakan kegiatan serupa. Begitu pula jika kita
berteriak-teriak menyuruh anak untuk sholat atau mengaji sementara kita sendiri
belum sholat dan jarang mengaji maka jangan harap si anak akan menurutinya.
Berhentilah
memperlakukan anak-anak kita sebagai “anak-anak”. Mereka adalah manusia kecil yang seharusnya
sudah mulai diperkenalkan pada persoalan-persoalan kehidupan. Jangan mudah
membantu anak-anak untuk hal-hal yang sebenarnya bisa mereka lakukan sendiri.
Makan, minum, membereskan mainan, dll. Dengan selalu mengintervensi berbagai
hal dalam kehidupan si anak secara tidak sadar kita membuat anak-anak mengalami
ketergantungan terhadap pertolongan kita, yang kelak justru membentuk sikap
mental yang tidak menunjang karakter pejuang dalam hidup mereka.
Bersikap
bijak sebagai orang tua adalah penting. Kapan kita perlu membiarkan anak dan
kapan waktu yang tepat kita harus mendampinginya.
Mulailah
mengubah sudut pandang dengan berusaha menyelami apa yang anak-anak kita
rasakan dan alami di jaman mereka ini [2]. Anak-anak sekarang punya cara hidup
dan kondisi yang sudah jauh berbeda dengan cara hidup dan kondisi di waktu
kecil kita. Perubahan jaman, kemajuan teknologi, perubahan lingkungan
mempengaruhi itu semua. Maka menjadi tidak logis jika kita memaksa mereka
bersikap dan bertindak seperti sikap dan tindak tanduk kita sewaktu kecil.
Hal
terpenting dalam pembentukan karakter
seorang anak adalah Agama. Karenanya
menjadi sebuah keharusan bagi orang tua untuk menanamkan nilai-nilai agama
sedari dini. Karena dengan filter inilah anak-anak bisa tetap tumbuh tanpa
terseret arus negatif yang banyak ditawarkan perkembangan jaman.
Terkait sebagai
calon pemimpin, perlu juga membekali anak-anak kita dengan berbagai macam
keterampilan hidup. Yang meliputi:
Keterampilan
kognitif: agar anak memiliki prilaku intelijen, yaitu mengerjakan sesuatu
dengan mudah, cepat dan tepat.
Keterampilan
Emosional: agar anak terampil mengelola emosi diri dan dapat
mampu memberi respon yang tepat terhadap emosi orang lain.
Keterampilan
social: agar anak menerima dan merasa nyaman akan dirinya
sendiri, dan terampil berperilaku pro-sosial.
Keterampilan
umum:
anak terampil menolong diri sendiri, anak belajar disiplin dan menghargai milik
sendiri, anak terampil membangun motivasi diri, anak mengenal berbagai ragam
profesi kerja, serta mengenal aspek kepemimpinan.
Semua
pembelajaran keterampilan tersebut bisa dilakukan sambil bermain dengan beragam
permainan sederhana. Sebagai contoh saya biasa memainkan permainan “Aku itu
unik”.
Permainan ini sangat mudah bisa dilakukan kapan saja atau ketika
bercermin di pagi atau sore hari. Sambil merangkul atau memangku anak di depan
cermin kita bisa membangun dialog dengan anak.
“Yuk kita bandingkan, Amma mirip umi gak ya???”
“Apa ya kesamaan
kita?”
“Apa ya
perbedaan kita?”
“Coba kita
sama-sama senyum/cemberut/nyengir/dll !”
Dengan
dialog-dialog seperti itu kita membantu anak untuk menemukan ke-khas-an anak
dan membantu anak untuk merasa nyaman dan bangga terhadap dirinya sendiri.
Dilain waktu
saya sering membuat beberapa gulungan benang kusut (dari benang wol) yang
dibuat dengan beberapa tingkat kesulitan. Dan kemudian berlomba dengan anak
untuk menguraikan benang tersebut. Bisa diselingi cerita sesuai imajinasi kita.
Permainan sederhana ini terbukti melatih keuletan, kecermatan, kecepatan,
ketelitian, dan strategi untuk memecahkan masalah untuk mencapai tujuan.
Penambahan cerita dan perlombaan mengajari anak untuk menjadikan pemecahan
sebuah masalah sebagai tantangan yang menyenangkan.
Dalam dunia
anak-anak bermain merupakan hal yang serius. Maka sebagai orang tua sudah
semestinya kita menjadikan setiap proses pembelajaran dalam bentuk permainan
yang menyenangkan untuk anak-anak.
Referensi : Dahsyatnya Hipnoparenting, Agus sutiyono.
Ajarkan anak keterampilan hidup sejak
dini, Euis Sunarti, rulli Purwanti.
----------------------------------------------
Tulisan ini diikutkan dalam lomba blog "Peran ibu untuk si pemimpin kecil"